ENERGYWORLD.CO.ID – Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan dituntut 15 tahun bui. Duh kasian, padahal awalnya Karen adalah perempuan yang moncer karirnya. Saat itu bahkan Karen lolos dalam jerat kasus SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidier enam bulan kurungan.
Dalam lanjutan sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jaksa menyatakan Karen terbukti melakukan korupsi investasi perusahaan di blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia.
“Menuntut, majelis hakim menyatakan terdakwa Karen Agustiawan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar jaksa dalam, Jumat (24/5).
Selain pidana penjara, Karen juga dituntut membayar uang pengganti Rp284 miliar. Jaksa mengatakan, uang pengganti itu harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak mencukupi, harta bendanya akan disita dan dilelang.
“Apabila harta yang disita tidak mencukupi membayar uang pengganti, maka terdakwa dipidana penjara selama lima tahun,” kata jaksa.
Dalam pertimbangannya, jaksa menyebut Karen telah melanggar prosedur investasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara mencapai Rp568 miliar. Karen juga dinilai telah merusak tata kelola perusahaan.
“Terdakwa juga tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi,” ucap jaksa.
“Kalau kita secara teknis pengeboran eksplorasi di-challange oleh pihak-pihak yang tidak mengerti ini jadi preseden buruk. Saya merasa 25 kali sidang dihadirkan saksi dari Pertamina maupun eksternal tidak mengubah dakwaan awal hingga fakta persidangan,” ungkap Karen Agustiawan.
Ia pun mengaku akan memberikan pembelaan dalam paparan detail dalam sidang 29 Mei 2019 nanti.
“Mungkin saya harus memberikan paparan 29 Mei detail apa terkait fakta persidangan kalau perlu diputar lagi persidangannya supaya menjadi barang bukti, bahwa persidangan seperti ini,” tambah Karen Agustiawan.
Apalagi menurut Karen Agustiawan, salah satu saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yaitu Komisaris Pertamina saat akusisi dilakukan, Gita Wirjawan, tidak mengetahui cara melakukan akusisi migas.
“Coba komisaris belajar mengenai arti akusisi, akusisi itu adalah proses dimulai ‘bidding’ sampai penandatangan SPA (sales purchasing agreement) jadi tidak ada akusisi stop di ‘bidding’. Ini yang mengatakan seperti itu adalah pihak-pihak yang tidak pernah punya pengalaman akusisi migas. Mungkin akusisi PT bisa tapi akusisi migas tidak seperti itu. Kalau sudah dibilang akusisi itu dari awal, dari ‘data room’ sampai tanda tangan SPA, jadi tidak ada stop di tengah jalan,” jelas Karen Agustiawan.
Ia menilai dalam surat tuntutan jaksa masih banyak yang tidak sesuai fakta persidangan seperti ketiadaan persetujuan komisaris, tidak ada ‘due dilligence’ dalam sales purchase agreement (SPA) yang sudah terpatahkan dalam persidangan.
“Semua risiko sudah dimitigasi Pertamina sehingga tidak ada kami lakukan sesuatu di luar prosedur. Sudah ada SK no 10, akuisisi hulu dalam negeri dan luar negeri kewenangannya di direktur hulu dan ditandatangani seluruh direksi jadi saya juga bingung kewenangan apa yang saya langgar? Masalah teknis tidak melakukan ‘due dilligence’, lah sudah ada surat saya ke komisaris terkait cadangan,” tegas Karen Agustiawan.
Jaksa menilai Karen Agustiawan selaku Direktur Hulu PT Pertamina periode 2008-2009 dan Dirut PT Prtamina periode 2009-2014 bersama-sama dengan Direktur Keuangan PT Pertamina Ferederick ST Siahaan, Manager Merger dan Akusisi PT Pertamina 2008-2010 Bayu Kristanto dan Legal Consul and Compliance Genades Panjaitan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Karen Agustiawan dan kawan-kawan dinilai telah memutuskan untuk melakukan investasi ‘participating interest’ di blok BMG Australia tanpa adanya ‘due dilligence’ dan analisa risiko yang ditindaklanjuti dengan penandatangan Sale Purchase Agreement (SPA) tanpa adanya persetujuan bagian legal dan Dewan Komisaris PT Pertamina sehingga memperkaya diri sendiri atau orang lain yaitu ROC Oil Company (ROC) Limited Australia dan merugikan keuangan negara sebesar Rp 568,066 miliar.
Penandatanganan SPA dilakukan pada 27 Mei 2009 oleh Ferederick ST Siahaan mewakili PT Pertamina dan Bruce Clement serta Anthony Neilson mewakili Anzon Australia Pty Ltd disaksikan David Ryan dan Bagus Setiardja mewakili PHE.
Setelah SPA ditandatangani, Dewan Komisaris mengirimkan memorandum berisi kekecewaan karena SPA ditandatangani tanpa persetujuan Dewan Komisaris sehingga melanggar anggaran dasar Pertamina serta meminta agar direksi tidak meneruskan rencana transaksinya.
Namun Karen Agustiawan dalam tuntutan disebut tidak menghiraukan Dewan Komisaris dan tetap melanjutkan PI di blok BMG sekaligus meminta maaf bila proses permohonan persetujuan dari direksi ke Dewan Komisaris ada miskomunikasi.
Pembayaran dilakukan secara bertahap yaitu pada 22 Juni 2009 sebesar 3 juta dolar AS, pada 18 Agustus 2009 sebesar 28.492.851 dolar AS dan pada 6 Oktober 2009 sebesar 1.994.280 dolar AS.
Sejak 20 Agustus 2010, ROC selaku operator di blok BMG menghentikan produksi dengan alasan lapangan itu tidak ekonomis lagi sehingga sejak pembelian sampai penghentian produksi Pertamina tidak memperoleh keuntungan secara ekonomis.
Meski ROC sudah berhenti beroperasi di Blok BMG namun PHE tetap wajib membayar kewajiban biaya operasional (cash call) sampai 2012 yaitu 35.189.996 dolar Australia.
Investasi di blok BMG itu pun sudah tidak ada nilainya karena manajemen PT PHE Australia sudah melakukan penurunan nilai sebesar 66.298.933 (nilai penuh) atau setara Rp 568,066 miliar karena adanya penurunan jumlah cadangan pada proyek tersebut.
Nilai Rp 568,066 miliar merupakan akumulasi nilai yang tercatat dalam aset yaitu nilai pembelian, nilai ‘cash call’ dan aset ‘retirement obligation’.
Selanjutnya pada 26 Agustus 2013, Pertamina menarik diri dari blok BMG untuk menghindari kerugian lebih lanjut. Untuk lengkapnya baca MAJALAH ENERGYWORLD TERBARU.
(DBS-RHE/EWINDO)