ENERGYWORLD.CO.ID – Akhirnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memenuhi panggilan KPK dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 dengan tersangka mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Jonan tiba di gedung KPK sekitar pukul 08.45 WIB dengan didampingi sejumlah stafnya. Ia mengenakan kemeja abu-abu tua dan celana cokelat muda sambil membawa map namun tidak berkata apapun kepada wartawan terkait pemeriksaannya tersebut.
Iniah kali pertama Jonan memenuhi panggilan KPK setelah sebelumnya sudah empat kali tidak menghadiri panggilan yaitu pada 13 Mei, 15 Mei, 20 Mei, dan 27 Mei 2019.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, KPK menerima surat yang ditandatangani oleh Plh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM yang menerangkan bahwa Ignasius Jonan pada 20 dan 27 Mei 2019 tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena agenda ke Amerika Serikat dan Jepang belum selesai. KPK juga sudah menahan Sofyan Basir pada Senin (27/5/2019) seusai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka sekitar 4 jam. Sofyan diduga membantu bekas anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemilik saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo mendapatkan kontrak kerja sama proyek senilai 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Sofyan hadir dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh Eni Maulani Saragih, Johannes Kotjo dan pihak lainnya untuk memasukkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) PT PLN.
Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), Sofyan diduga telah menunjuk Johannes Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1 karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Sehingga PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2×300 MW masuk dalam RUPTL PLN. Setelah itu, diduga Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar “Power Purchase Agreement” (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.
Terkait perkara ini, sudah ada 3 orang yang dijatuhi hukuman yaitu mantan Menteri Sosial yang juga mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan. Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu juga telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan bos PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga memberikan suap kepada Eni Maulani Saragih sejumlah Rp5 miliar. (lihat grafik)
KPK juga memeriksa Menteri Jonan sebagai Saksi untuk 2 Kasus Dugaan suap untuk PLTU Riau 1 dan KPK meminta keterangan Ignasius Jonan terkait dugaan suap dalam proyek PLTU Riau 1 dan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
KPK mengendus adanya potensi pelanggaran hukum yang dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan ketika secara diam diam memperpanjang operasi PKP2B milik PT Tanito Harum pada 11 Januari 2019. Berdasarkan surat nomor 07.K/30/MEM/2019 yang berisi perpanjangan selama 20 tahun dan perubahan status dari izin Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara ( PKP2B ) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus ( IUPK), perpanjangan dipaksakan Jonan setelah RPP ke 6 tak kunjung ditanda tangani Presiden ( media CNBC 20/5/2019).
Dengan kode surat “MEM” bukan ” DJB”, maka surat keputusan itu sepertinya dibuat dan ditanda tangani oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan, lazimnya soal keputusan perpanjangan blok migas dan tambang mineral dan batubara adalah wewenang penuh Menteri, Dirjen sebatas membuat kajian tehnis, pertimbangan dan saran saja.
Surat tersebut diterbitkan menjelang empat hari berakhirnya PKP2B PT Tanito Harum, yaitu pada 15 Januari 2019 atau batas waktu berakhirnya kontrak. Kontrak Tanito Harum adalah salah satu dari 7 izin tambang perusahaan kakap generasi pertama PKP2B yang akan berakhir izinnya. Perlu diketahui, awalnya semua lahan PKP2B adalah milik BUMN PT Bukit Asam, dan oleh kebijakan pemerintah saat itu pada tahun 1997 oleh Menteri ESDM IB Sujana atas dasar Keputusan Presiden dirubah pengelolanya kepada swasta. Dengan diperpanjangnya PT Tanito Harum menjadi IUPK, maka tanpa masuknya KPK disinyalir diikuti ole PT Arutmin Indonesia ( 70.153 ha) pada 20 November 2020, PT Kaltim Prima Coal ( 90.938 ha) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama ( 46.063 ha ) pada 2 April 2022, PT Adaro Indonesia ( 34.940 ha) pada 30 September 2022, PT Kideco Jaya Agung ( 50, 921 ha) pada 13 Maret 2023 dan terakhir milik PT Berau Coal seluas 118.400 ha pada tgl 26 April 2025. Semua skenario dibuat dengan asumsi Presiden Jokowi bersedia menanda tangani Revisi RPP ke 6 di awal tahun 2019.
TEMUAN KPK ATAS MASALAH PERPANJANGAN PKP2B, PERLU DAN PATUT DI APRESIASI SERTA DIDUKUNG PENUH OLEH SEMUA PIHAK AGAR MAMPU MEMBONGKAR DUGAAN KONGKALIKONG YANG SANGAT BERPOTENSI MERUGIKAN NEGARA OLEH PEMILIK TAMBANG DENGAN OKNUM PEJABAT DILINGKUNGAN KESDM, YANG SEMESTINYA MERUPAKAN RAHASIA UMUM.
Dari seluruh PKP2B, semuanya telah menjadi Perusahaan Terbuka (tbk) atau telah listed di bursa efek. Dengan telah menjadi perusahaan terbuka, justru semestinya SK Perpanjangan Menteri ESDM justru menjadi bagian keterbukaan publik. Tapi anehnya, KPK mengakui kesulitan mendapatkan surat tersebut. Setelah dua kali pertemuan dengan Dirjen Minerba, baru dokumen surat tersebut diberikan.
Ironisnya, KPK menilai mekanisme perpanjangan kontrak 20 tahun yang terlanjur diberikan oleh Menteri ESDM tidak sesuai regulasi yang ada, karena didalam UU Minerba nomor 4 tahun 2009 tegas disebutkan hak pengelolaan semua tambang batubara PKP2B yang berakhir waktunya, atas dasar UU secara prioritas harus terkebih dahulu ditawarkan kepada BUMN dengan batasan luasan maksimal IUPK Operasi Produksi 15.000 ha. Baru kalau BUMN menolak, maka proses yang ada harus melalui mekanisme tender, sehingga tidak bisa dengan mudahnya diperpanjang begitu saja. |RHE/ATA-EWINDO