ENERGYWORLD.CO.ID – Dalam sebuah acara The 10th Anniversary of Adaro IPO di Ritz Carlton beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan kesediaannya datang ke acara yang dihelat CEO Adaro Energy, Garibaldi Thohir, lantaran PT Adaro Indonesia menjadi penyumbang pajak terbesar di Indonesia. Ini merupakan kabar gembira tentunya. Tapi kenapa Global Witness dalam laporannya menyebut Adaro memindahkan laba ke jaringan perusahaannya di Singapura, Coaltrade Services International dimana tujuannya menghindari kewajiban membayar pajak yang telah dilakukan sejak 2009 hingga 2017.
Adaro diduga telah mengatur sedemikian rupa sehingga mereka bisa membayar pajak USD125 juta atau setara Rp 1,75 triliun (kurs Rp14.000) lebih rendah daripada yang seharusnya dibayarkan di Indonesia. Dengan memindahkan sejumlah besar uang melalui suaka pajak, Adaro berhasil mengurangi tagihan pajaknya di Indonesia. Laporan itu menyebutkan pemasukan pajak RI berkurang hampir USD 14 juta setiap tahunnya.
Dalam laporannya juga disebutkan bahwa Adaro Energy, salah satu perusahaan batu bara terbesar Indonesia, telah memindahkan sejumlah laba yang didapatkan dari batu bara yang ditambang di Indonesia ke jaringan perusahaan luar negerinya. Ini menimbulkan pertanyaan apakah jaringan ini dibentuk untuk membantu Adaro untuk menghindari atau memperkecil nilai pajaknya di Indonesia.
Laporan Global Witness: Jaringan Perusahaan Luar Negeri Adaro, mengungkapkan bahwa sejak 2009 sampai 2017, Adaro melalui salah satu anak perusahaanya di Singapura, Coaltrade Services International, telah mengatur sedemikian rupa sehingga mereka bisa membayar pajak 125 juta dolar lebih rendah daripada yang seharusnya dibayarkan di Indonesia. Dengan memindahkan sejumlah besar uang melalui suaka pajak, Adaro berhasil mengurangi tagihan pajaknya di Indonesia yang berarti mengurangi pemasukan bagi pemerintah Indonesia sebesar hampir 14 juta dolar AS setiap tahunnya yang sekiranya bisa digunakan untuk kepentingan umum.
Laporan keuangan Coaltrade’s menunjukkan bahwa Adaro telah membayar total 42.2 juta dolar AS untuk pajak di Singapura antara Tahun 2009 dan 2017 (Inkusif) atas laba sebelum pajak sebesar 416.8 juta dolar AS, pada tingkat pajak rata-rata tahunan sebesar 10.7 persen. Keuntungan ini termasuk penjualan dan pemasaran batu bara terutama dari anak perusahaan Adaro yang ada di Indonesia, serta dari pihak ketiga. Global Witness menghitung berapa besar pajak yang seharusnya bisa dibayarkan di Indonesia atas estimasi keuntungan Coaltrade yang berasal dari penjualan dan pemasaran batu bara yang berasal dari anak perusahaan Adaro yang berada di Indonesia, dengan tingkat pajak rata-rata tahunan yang dibayarkan Adaro atas keuntungan di Indonesia dalam periode waktu yang sama, yaitu 50.8 persen. Pada saat laporan ini disusun, laporan keuangan Coaltrade terbaru yang tersedia adalah laporan tahun 2017.
Namun dikutip dari laman wartaekonomi.co.id Garibaldi Thohir menyanggah laporan tersebut. Ia menegaskan Ditjen Pajak adalah otoritas yang paling mengetahui benar tidaknya laporan Global Witness tersebut.
“Yang bisa menentukan apakah kita melakukan hal tersebut adalah Ditjen Pajak. Negara kita tidak boleh dijajah oleh bangsa lain dan dengan opini-opini institusi lain, karena yang paling tahu adalah otoritas pajak Indonesia,” kata Boy Thohir sapaan akrab Garibaldi yang juga kakak kandung Erick Thohir.
Ia menegaskan Adaro sebagai perusahaan publik menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Adaro senantiasa patuh terhadap aturan yang berlaku, termasuk aturan perpajakan.
Selama bertahun-tahun Adaro terpilih sebagai salah satu wajib pajak yang menerima apresiasi dan penghargaan atas kontribusinya terhadap penerimaan negara, patuh terhadap peraturan perpajakan serta responsif. Sebagai perusahaan nasional, Adaro berkomitmen untuk berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia melalui pembayaran pajak dan royalti.
Manajemen Adaro Energy pun buka suara terkait hal tersebut. Perseroan menjelaskan bahwa Coaltrade Services International Pte.Ltd merupakan salah satu perusahaan grup Adaro yang berbasis di Singapura untuk memasarkan batubara Adaro di pasar internasional (ekspor).
“Kantor pemasaran internasional, Coaltrade Services International Pte.Ltd berperan penting untuk memperluas pasar internasional dengan tetap berpegangan pada ketentuan Harga Patokan Batubara (HPB) serta aturan perpajakan dan royalti yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia,” kata Head of Coporate PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira, dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (4/7/2019) dalam rilisnya.
Menurutnya, informasi yang berkaitan dengan transaksi afiliasi dengan Coaltrade Services International Pte.Ltd serta pembayaran pajak dan royalti sudah diungkapkan di dalam laporan keuangan perusahaan, yang dapat dilihat di situs resmi perusahaan (www.adaro.com) dan regulator (www.idx.co.id).
“Perusahaan berkomitmen untuk berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia melalui pembayaran pajak dan royalti. Tahun 2018 Adaro telah memberikan kontribusi kepada negara senilai total US$ 721 juta (US$ 378 juta dalam bentuk royalti dan US$ 343 juta dalam bentuk pajak),” ucapnya.
Claudia Elliot, Communications Advisor Global Witness yang sempat dihubungi EnergyWorldIndonesia melalui saluran elektronik 9 Juli 2019, mengatakan bahwa Global Witness melakukan penyelidikan tentang Adaro merupakan laporan ketiga dalam industri batubara Indonesia. Sebelumnya Berau Coal dan Toba Bara Sejahtra.
“Kami menemukan berbagai jenis masalah keuangan dengan ketiga Perusahaan itu,”jelasnya.
Dua lainnya tidak memiliki pola yang sama pengurangan pajak potensial seperti Adaro. Namun, ketiganya memang melibatkan pola penggunaan perusahaan pajak untuk memindahkan uang dari industri batubara Indonesia atau kepemilikan perusahaan lepas pantai dengan cara yang sulit untuk melacak.
“Adaro masih sangat terlibat dalam industri batubara. Ini telah memperluas operasi pertambangan batubara dalam beberapa tahun terakhir dengan mengakuisisi tujuh situs di Kalimantan Tengah. Ini juga merupakan mitra usaha patungan dalam pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara terbesar di Indonesia (Batang di Jawa Tengah),”paparnya.
Dikataknyanya bahwa saat ini swasta dan bank milik pemerintah di seluruh dunia yang bergerak menjauh dari industri batubara dengan menyetujui kebijakan untuk menghentikan penyediaan pembiayaan kepada perusahaan batubara seperti Adaro.
Menurut Global Witness tidak tahu apakah Adaro akan berbagi manfaat dari tambang melalui pajak. Namun menjadi pertanyaan Adaro mengapa itu terstruktur sendiri sehingga anak perusahaan yang memiliki tambang di Australia yang berbasis di wilayah hukum pajak yang rendah dari Malaysia?
Nah apakah ini pola baru? Kita lihat nanti.
|ATA/EWINDO