ENERGYWORLD – Imbas revisi PP 23 Tahun 2010 yang terus molor mulai tampak di salah satu tambang batu bara raksasa, PT Tanito Harum. Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara ini disebut-sebut sudah memberhentikan hingga 300 karyawan akibat setop operasi.
Hal ini diungkap oleh Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif. Ia menuturkan ketidakpastian nasib Tanito Harum telah memberikan beberapa dampak.
Sejumlah stok batu bara milik Tanito Harum sudah mulai terbakar, dan penghentian operasi Tanito telah menyebabkan terjadinya PHK bagi 300 pegawai Tanito.“Tambang batubara Tanito mulai tergenang air,” sebut Irwandi dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, kekhawatiran bisa timbul jika PKP2B lain mengalami nasib serupa. Ia mencontohkan, apabila PT Arutmin Indonesia yang habis masa kontrak pada 2020 dan PT Kaltim Prima Coal pada 2021 juga terkatung-katung nasibnya maka akan memberikan dampak pada industri batu bara, karena total produksi keduanya mencapai 100 juta ton.
“Saat ini sedang terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara UU seperti saat ini. Semua ini jalan keluarnya lewat diskresi Presiden,” ujar Irwandi.
“Menurut saya tidak cukup hanya dengan UU Minerba 4/2009 tapi harus dilihat dari turunannya. Jika berlanjut dengan ketentuan luas lahan maka ada kemungkinan penurunan produksi atau sudah tidak bisa berprdouksi melihat jumlah kebutuhan lahan produksi dan lahan penunjang,” pungkasnya.
Adapun, sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono memastikan, kejadian yang dialami Tanito Harum tersebut tidak mengganggu iklim investasi di sektor minerba.
“Tidak (ganggu investasi), mudah-mudahan tetap sejuk,” ujar Bambang saat dijumpai di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Lebih lanjut, ia pun meyakinkan, hal tersebut juga tidak akan mengganggu produksi batu bara nasional, karena masih banyak IUP yang berproduksi.
“Penerimaan negara juga tidak terganggu,” tegasnya.