Tak berselang hitung hari setelah Sekretariat Negara mengembalikan RPP Minerba ke 6 pada Kementerian ESDM, dan pengembalian itu atas permintaan KPK kepada Presiden, karena dianggap menyimpang dari regulasi yang ada, termasuk pemberian IUPK terhadap PT Tanito Harum adalah sebuah pelanggaran terhadap UU Minerba, tetapi anehnya mendadak malah Kementerian ESDM mengajukan revisi UU Minerba ke DPR RI pada 8 Juli 2019.
Padahal sebelumnya sekitar bulan April 2018 Menteri ESDM Ignatius Jonan telah mengatakan diberbagai media tidak perlu cepat cepat merevisi UU Minerba nmr 4 tahun 2009, adapun alasannya saat itu menurut Jonan masih belum 10 tahun sejak diundangkan, maka tak ada urgensinya UU Minerba tersebut untuk direvisi, sehingga kalau melihat sikap dan perbuatan pejabat KESDM selama ini terkesan tersandera oleh konglomerat batubara dan berpotensi upaya menjerumuskan Presiden, mengingat sikap Presiden Jokowi sangat berbeda dalam menentukan kebijakan disektor minerba, contohnya divestasi saham PT Freeport Indonesia sangat ngotot sampai dengan segala cara agar kita dapat menguasai saham 51% PT Inalum terpaksa mencari pinjaman sebesar USD 3.85 miliar, namun ironisnya saat ini ada potensi tambang batubara ex lahan PN Batubara secara gratis dapat diperoleh oleh BUMN Tambang tetapi Pemerintah terkesan mengabaikannya, dan selain itu dari sisi potensi penerimaan negaranya jauh lebih besar dari tambang Freeport, adapun nilai potensi pendapatan bersih bisa mencapai USD 2.5 miliar setiap tahunnya bagi BUMN tambang, tetapi anehnya oleh pembantunya Presiden dibuat dengan segala upaya untuk tetap bisa dikelola oleh konglomerat swasta.
Oleh karena itu sekarang timbul pertanyaaan publik apakah upaya tergesa gesa saat ini yg telah dilakukan oleh KESDM hanya untuk kepentingan menyelamatkan 7 pemilik PKP2B agar dapat diperpanjang izinnya dalam bentuk IUPK atau betul untuk kepentingan ketahanan energi nasional, karena tidak ada satu kalimatpun didalam UU Minerba dan PKP2B ada kewajiban bagi Pemerintah untuk memperpanjangnya.
Namun kalau benar upaya revisi UU Minerba dikatakan untuk kepentingan nasional, seharusnya sejak awal terhadap lahan tambang PKP2B generasi pertama oleh KESDM sudah menunjuk BUMN Tambang untuk menjadi pelaksananya sesuai ketentuan UU Minerba dipasal 74, dan pentingnya kebijakan itu agar terhindar kekosongan kendali tambang dari kerusakan yg berdampak terhadap lingkungan yang akan terjadi dan pemutusan hubungan kerja seluruh karyawan yang sudah lama bekerja diperusahaan PKP2B tersebut.
Karena soal pengalihan operasi sebuah lapangan migas dan tambang selama ini merupakan hal yang biasa dan sudah banyak contohnya bisa berjalan dengan baik tanpa perlu melakukan pemutusan hubungan kerja bagi karyawannya maupun potensi rusaknya lokasi tambang akibat tidak ada yang bertanggung jawab mengelolanya bisa menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Seharusnya KESDM berkomitmen tinggi dalam menjalan kebijakannya sesuai UU Minerba dengan memberikan semua lahan PKP2B generasi pertama yang akan berakhir izinya kepada BUMN tambang untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang dengan menjadi energi primer batubara sebagai penyangga kebutuhan PLTU milik PLN dan swasta yang diperkirakan mencapai 180 juta metrik ton pertahun pada tahun 2024.
Sebaiknya KPK mengawal ketat proses revisi UU Minerba ini di DPR, apalagi menjelang berakhirnya masa DPR periode 2014 – 2019 sangat rawan terjadi praktek kongkalikong dengan pemilik PKP2B dan oknum pejabat KESDM.
Mengingat negara kita hanya mempunyai sisa cadangan batubara sekitar hanya 2% dari total cadangan dunia, maka kini tibalah saatnya adanya semangat dari Pemerintahan Jokowi harus berani menentukan sikap pro ketahanan energi nasional dengan segera menugaskan BUMN Tambang sebagai operatornya, karena dalam sisa potensi cadangan batubara kita ibarat “kereta terakhir” dan momen ini tak kan terulang lagi dikemudian hari, salah menentukan kebijkan hari ini, maka anak cucu kita harus menderita panjang dikemudian hari.
Medan 14 Juli 2019
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman