ENERGYWORLD.CO.ID – Ini 9 poin Pelaporan Kasus Perpanjangan Kontrak Blok Corridor kepada ConocoPhillips ke KPK
Dengan ini kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut;
1. Sesuai Siaran Pers Nomor 463.Pers 04/SJI2019 tertanggal 22 Juli 2019, dikatakan Menteri ESDM Ignasius Jonan telah menandatangani Surat Keputusan (SK) No.128 K/10/MEM/2019 tentang Perpanjangan dan Penetapan Ketentuan-Ketentuan Pokok Kontrak Kerja Sama (KKS) pada Wilayah Kerja (WK) Corridor, Sumatera Selatan. Maka dengan SK tersebut mengakibatkan Pertamina sebagai BUMN migas nasional akan kehilangan kesempatan mengelola Blok Corridor secara penuh, 100% sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945.
2. Kontrak awal Blok Corridor ditandatangani pada 21 Desember 1983 dengan tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yaitu ConocoPhillips (54%), Talisman (36%) dan Pertamina (10%). Kontrak blok migas tersebut akan berakhir pada 19 Desember 2023. Dengan perpanjangan kontrak sesuai SKNo.128 K/10/MEM/2019, Menteri ESDM menetapkan komposisi pemilikan saham berubah menjadi ConocoPhilips 46%, Pertamina 30%, dan Repsol 24%.
3.Dalam jumpa pers di Jakarta Senin (22/7/2019) Menteri ESDM menyatakan pemberian perpanjangan pengelolaan Blok Corridor selama 20 tahun hingga 2043 didasari antara lain oleh pertimbangan signature bonus sebesar US$ 250 juta dan komitmen kerja pasti sebesar US$ 250 juta. Blok Corridor disebutkan akan menggunakan skema bagi hasil kotor (gross split). Kontrak bagi hasil akan menerapkan skema gross split, maka KKKS memperoleh jatah 48,5% untuk minyak dan 53,5% untuk gas.
4.Blok Corridor merupakan blok gas terbesar ketiga di Indonesia setelah Blok Tangguh dan Blok Mahakam. Sampai akhir Juni 2019, realisasi lifting gas dari Blok Corridor tercatat sebesar 827 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Dengan keputusan Menteri ESDM yang pro-asing tersebut, maka posisi operator Blok Corridor akan tetap di berada di tangan asing, yaitu ConocoPhillips, baru akan proses transisi ke Pertamina dimulai pada tahun 2026.
5.Adapun perpanjangan operator Conoco Philpis berdasarkan SK Menteri ESDM nomor 128 K/10/MEN/2019 berpayungkan hukum atas Permen ESDM nmr 23 tahun 2018 yang inkonstitusional, karena telah dibatalkan oleh Makamah Agung pada tanggal 29 November 2018 dengan nomor putusan 69 P/HUM/2018 setelah digugat oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu ( FSPPB).
6. Seharusnya dengan dibatalkannya Permen ESDM nmr 23 tahun 2018 oleh Makamah Agung, maka semua kebijakan Menteri ESDM mengacu pada Permen ESDM nomor 15 tahun 2015, sejalan dengan putusan Makamah Konstitusi nomor 36 / PUU – X/ 2012 yang menyatakan bahwa Wilayah Kerja ( WK) migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan oleh negara, meskipun bisa ada pintu bagi Pertamina berbagi resiko boleh melakukan share down tidak lebih 39% setelah memberikan PI 10% kepada Perusahaan Daerah tempat keberadaan potensi migas.
7. Pada sekitar bulan Agustus 2017 entah apa dasar pertimbangan yang terkesan tidak lazim telah merevisi harga jual gas dari Blok Corridor ini dari awalnya USD 2,6 per MMBTU menjadi USD 3,5 per MMBTU kepada BUMN PT PGN Tbk, padahal hanya 5 tahun kemudian kontrak pengelolaan blok Coridor ini akan berakhir kontraknya, sehingga kebijakan itu sangat menguntungkan Conoco Philips dan Repsol yang menguasai 90% sahamnya.
8. Selain itu, muncul keanehan baru malah Menteri ESDM menerbitkan Permen ESDM nmr 28 tahun 2018 dan Permen ESDM nmr 03 tahun 2019 yang bertentangan dengan keputusan Makamah Konstitusi dan Makamah Agung serta UU Energi nomor nomor 30 tahun 2007 ditegaskan pada Pasal 4 bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional, maka sumber daya energi nasional berupa energi fosil, energi panas bumi dan hidro skala besar serta energi nuklir harus dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan kepentingan perusahaan asing.
9.kami memahami bahwa semua keputusan penting dan strategis soal perpanjangan blok migas, blok tambang mineral dan batubara dalam skala besar meskipun disetujui dan diputus oleh Menteri ESDM tetapi lazimnya setelah mendapat persetujuan oleh Presiden.
Sehubungan dengan kebijakan Menteri ESDM di atas, kami sangat berharap kepada Presiden Jokowi untuk segera membatalkan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Corridor kepada ConocoPhillips, karena keputusan perpanjangan kontrak bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional, serta melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kami menduga motif kelahiran Permen ESDM Nomor :23/2018 (termasuk Permen ESDM No.28/2018 dan No.03/2019) menyimpan misteri kemungkinan terjadinya korupsi dan perburuan rente melalui penunjukan langsung kontraktor KKS eksisting untuk melanjutkan pengelolaan suatu WK migas. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan produksi migas di Blok Corridor akan stabil jika ditemukan tambahan cadangan. Saat ini, cadangan gas terbukti di blok ini tercatat sebanyak 4 triliun kaki kubik (TCF). “Mungkin sampai 2043, itu tinggal beberapa TCF. Kalau dikalkulasikan sampai 2026, kemungkinan tinggal 2 TCF”, kata Dwi (Jakarta, 22/7/2019).
Jika diasumsikan cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$ 8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US 24 – US$ 30 miliar atau sekitar Rp 336 – Rp 420 triliun, pada kurs Rp 14.000 per US$. Padahal, umumnya biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas berkisar antara 10% hingga 15% nilai cadangan terbukti. Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100% cadangan Blok Corridor seharusnya adalah (10% – 15%) x US (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar!
Ternyata KESDM telah “membiarkan” kontraktor-kontrator asing yang akan menguasai 70% saham Blok Corridor (30% akan dikuasai Pertamina) cukup membayar 70% x US 250 juta = US$ 175 juta dalam bentuk signature bonus. Tentu saja pembayaran ini sangat murah! Kontraktor asing tersebut seperti mendapat durian runtuh! Namun kesediaan KESDM “bermurah hati” kepada kontraktor-kontraktor asing tersebut patut dipertanyakan dan diusut tuntas. Kami yakin KESDM bukan tidak paham tentang praktek-praktek yang berlaku umum di dunia migas dalam pelaksanaan akuisisi terhadap blok migas yang telah dioperasikan.
Sebagai pengingat bagi yang ingin menggunakan akal dan berfikir, Indonesia harus membayar US$ 3,85 miliar kepada Freeport McMorant pada 2018 untuk mengakuisisi 42% saham. Pembayaran yang tinggi tersebut terutama didasarkan pada cadangan emas dan tembaga yang masih sangat besar, dan “diakui oleh Pemerintah sesuai klaim” Freeport McMoran hingga 2041. Barang berharga milik bangsa sendiri “bersedia dibayar sangat mahal oleh pemerintah” agar dapat dikelola oleh BUMN. Lantas, mengapa untuk Blok Corrridor, yang tidak memiliki masalah legal dan kisruh kontrak yang rumit seperti pada kontrak Freeport, tidak dapat dikuasai dengan mudah oleh BUMN bangsa sendiri, malah oleh KESDM diperpanjang untuk dikelola asing dengan harga sangat murah pula?.
Hal-hal di atas menunjukkan seperti apa kinerja dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Bukan saja tidak mendukung dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negara sendiri seperti pada Blok Corridor, pemerintah pun malah terus memberi peluang kepada swasta dan asing untuk mengambil hak-hak dan porsi bisnis milik BUMN. BUMN telah menjadi korban kebijakan populis dalam program-program subsidi energi, BBM satu harga, bio energi, dll. Untuk dapat mengelola Blok Rokan pada 2021, pemerintah telah memaksa Pertamina membayar Rp 11 triliun pada 2018. Padahal penguasaan Blok Rokan tersebut adalah hak konstitusional Pertamina, tanpa harus membayar bonus.
Memperhatikan berbagai anomali kebijakan di atas, guna mencegah terjadinya kerugian negara dan potensi KKN, kami mencermati bahwa DPR Komisi VII ternyata terkesaj tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, terkhusus DPR tidak memprotes perpanjangan kontrak Blok Corridor. Selain itu, kami juga berharapan besar agar KPK segera melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak terkait atas kemungkinan adanya pelanggaran hukum, potensi KKN dan kerugian negara dalam kebijakan tersebut.
Seperti diketahui, karena adanya surat KPK kepada Presiden Jokowi, Kementerian ESDM telah membatalkan perpanjangan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) yang semula diberikan kepada PT Tanito Harum pada Januari 2019. KPK melakukan hal tersebut karena kebijakan Menteri ESDM Jonan melanggar UU Minerba No.4/2009.
Pada kasus Blok Corridor yang terjadi adalah pelanggaran konstitusi dan UU, serta juga adanya potensi kerugian keuangan negara dan penurunan ketahanan energi nasional. Karena itu, kami meminta agar KPK bersikap sama, yakni konsisten melakukan penegakan hukum dan mencegah terdinya KKN dalam kasus Blok Corridor.
Sebelum terlambat, kami kembali mengingatkan agar Presiden Jokowi segera membatalkan perpanjangan pengelolaan Blok Corridor kepada asing. Untuk itu, kami memninta agar KPK terlibat aktif melakukan penyelidikan kasus Blok Corridor tersebut, termasuk meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan SK Menteri ESDM No.128 K/10/MEM/2019, dan menyerahkan 100% saham Blok Corridor kepada Pertamina.
Hormat Kami,
Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan SDA (KRKSDA):
1. Dr. Marwan Batubara, (IRESS)
2. Yusri Usman (CERI)
3. Dr. Ahmad Redy SH, MH (KJI)
4. Dr. Lukman Malanuang (PSP2D)
4. Bisman Bakhtiar SH, MH, MM (PUSHEP)
|RNZ/ATA