ENERGYWORLDINDOENSIA — Mantan Direktur Utama PT PLN Persero, Sofyan Basir, dituntut lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan dinyatakan turut membantu terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap, meski tak menerima hasilnya.
Merujuk keterangan ahli hukum Abdul Fickar Hadjar, jaksa mengatakan orang yang membantu perbuatan tindak pidana korupsi tak harus mendapatkan hasil.
Kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, Sofyan Basir dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/10/2019). Mantan Dirut PLN tersebut dituntut hukuman 5 tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider tiga bulan penjara.
Tokoh yang perjalanan kariernya sebagai berikut ini adalah Direktur Utama PLN sejak 2014 hingga 2019, dan Mantan Dirut BRI Direktur Utama BRI sejak tanggal 17 Mei 2005 dan terpilih kembali untuk periode jabatan kedua pada tanggal 20 Mei 2010. Sebelum bergabung dengan BRI, menjabat sebagai Direktur Utama Bank Bukopin.
Berdasarkan fakta persidangan, jaksa mengatakan peran Sofyan dalam kasus ini sangat inti. Ditambah keterangan Kotjo saat di persidangan yang mengatakan tanpa adanya bantuan Sofyan, kesepakatan PLTU Riau-1 tak akan selesai.
Jaksa juga menilai Sofyan mengetahui akan ada pemberian uang oleh Kotjo terhadap Eni dan Idrus. Sehingga, cukup diyakinkan adanya uang pemulus terhadap pembahasan proyek listrik bagian dari program 35 ribu megawatt ini.
“Setelah membantu Eni menerima imbalan 4,75 miliar,” ucap jaksa.
Sofyan sebagai Dirut PLN saat itu disebut memfasilitasi bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, dan bekas Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dari segala pembahasan percepatan ataupun kesepakatan pelaksanaan proyek PLTU Riau-1.
Ada Setnov
Proyek listrik itu direncanakan dikerjakan oleh Blackgold Natural Resources, perusahaan Johannes Budisutrisno Kotjo. Kotjo mengeluh proposalnya untuk mengerjakan proyek kelistrikan di Riau tak kunjung mendapat respons dari PLN.
Kotjo kemudian menemui Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar. Ia menyampaikan kendalanya kepada Novanto.
Terpidana korupsi e-KTP itu memerintahkan Eni Maulani Saragih, sebagai politikus Golkar, membantu dan mengawal permasalahan Kotjo. Sebagai mitra BUMN, Eni kemudian meminta waktu Sofyan agar bertemu dengan Kotjo. Sofyan berkenan. Eni dan Kotjo pun menemui mantan Direktur Utama PT BRI Tbk di kantornya.
Pertemuan yang melibatkan Sofyan, Eni, Idrus, dan Kotjo cukup intens. Hingga akhirnya Kotjo mendapat proyek tersebut, meski beberapa prosedur dilangkahi oleh Sofyan Basir sebagai mitra.
Sofyan terlebih dahulu melakukan penandatanganan surat persetujuan proyek tersebut meski materi dari surat itu belum dibahas lebih lanjut dengan jajaran direksi lainnya di PLN.
Atas kasus ini Sofyan dituntut telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Jika kita runut sejak 13 juli 2018 yang lalu ketika KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eni M Saragih (EMS) wakil ketua komisi VII DPRRI dari fraksi Golkar yang telah menerima suap Rp 500 juta dari Johanes B Soekoco (JS) sebagai CEO Blackgold Natural Resources Ltd dirumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham mantan sekjen partai Golkar saat itu.
Dari Keterangan tersangka EMS sebagai saksi di sumpah dibawah kitab suci terhadap terdakwa JS di sidang pengadian Tipikor jakarta pada kamis 11/10/2018, EMS secara tegas mengatakan bahwa bagian komisi 2,5 % dari nilai total proyek PLTU Riau 1 sekitar USD 900 juta , yaitu USD 22,5 juta akan dibagi 3 sama rata supaya adil, diduga yang akan diterima direksi PLN yang terkait PLTU Riau 1 bisa jadi sekitar USD 7, 5. Semua keterangan EMS tersebut tidak dibantah oleh JS.
ARTINYA DARI FAKTA PERSIDANGAN ITU TELAH MENAMBAHKAN KEKUATAN KEYAKINAN PEMBUKTIAN BAGI PENYIDIK KPK UNTUK MENETAPKAN STATUS HUKUM SOFYAN BASYIR (SB) DAN KAWAN KAWAN DALAM PERKARA TERSEBUT, APAKAH TETAP SEBAGAI SAKSI ATAU TERSANGKA?
Harus dipahami secara hukum acara, keterangan EMS dibawah sumpah ayat suci lebih mempunyai kekuatan hukum pembuktian lebih tinggi daripada keterangan EMS sewaktu di BAP penyidik, dan kalau EMS berbohong dibawah sumpah maka akan berakibat majelis hakim bisa memberatkan hukumannya. Bahkan saksi yang disumpah apabila berbohong dalam memberikan keterangan di persidangan bisa ditingkatkan statusnya menjadi tersangka oleh majelis hakim.
Ternyata EMS telah mengembalikan semua uang yang dia terima sekitar Rp 2.25 miliar kepada KPK sebagai bentuk kesungguhan dia untuk memperoleh status JC (justice colaborator), sehingga keterangan dia dipersidangan dianggap mempunyai nilai kebenarannya tinggi oleh majelis hakim dan jaksa penuntut dari KPK, maka pesan EMS kepada elit-elit partai Golkar untuk mengembalikan utuh total yang diterima dari JS bukan Rp 700 juta untuk kegiatan Munaslub Partai Golkar awal Desember 2017 yang mengantarkan Airlangga Hartato sebagai ketua umum telah menjadi pesan sangat serius dari EMS, bisa jadi pesan itu telah membuat elit-elit partai Golkar yang pernah menerima uang haram itu menjadi sulit tidur nyenyak, selain ancaman elektoral dalam pileg dan pilpers 2019 terhadap kader Golkar adalah sebuah keniscayaan.
Apalagi SB sudah mengaku dan dikutip diberbagai media, ada 9 pertemuan dengan para tersangka dan terdakwa suap ini maupun pihak yang masih saksi statusnya, terkhusus pertemuan pertama SB dengan Setya Novanto telah mengatakan “kalau PLTGU Jawa 3 yang di minta sudah ada kandidatnya, kalau mau PLTU Riau 1 saja masih kosong kandidatnya”, dan kemudian penyidik KPK telah menyita banyak dokumen sebagai tambahan alat bukti dan rekaman CCTV serta sadapan pembicaraan antar pihak yang terkait, baik dirumah SB maupun di kantor PLN dan tempat pertemuan lainnya seperti di hotel Fairmount dan BRI Prime Lounge.
Sehingga semakin jelas mosaik rangkaian peristiwa kejahatan korupsi yang dilakukan bersama sama sejak awal sampai dengan terbukti tertangkap tangan menerima suap Rp 500 juta, kalau KPK tidak juga cepat menetapkan status hukum direksi PLN terkait kasus tersebut, maka publik semakin mencurigai bahwa sangat kuat intervensi pihak pihak elit kekuasaan terhadap oknum oknum di elit KPK untuk menutup kasus ini berpotensi menyentuh direksi PLN, karena bisa jadi kalau hal ini tidak dicegah, akan memberikan efek domino atau membuka kotak pandora lebih besar terhadap proyek proyek pembangkit listrik lainnya didalam proyek 35.000 MW diduga diatur seperti PLTU Riau 1.
Nicke Widyawati Hilang dalam Dakwaan KPK
Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman pernah menyampaikan bahwa nama Direktur Pertamina yang dulu Direktur pengadaan PLN Nicke Widyawati bahwa, Nama Nicke Widyawati hilang dalam dakwaan Jaksa penuntut KPK dianggap aneh dan menimbulkan tanda tanya besar, ada apa? Hal tersebut terungkap ketika majelis hakim Tipikor membaca dakwaan terhadap terdakwa Johanes Budi Soekoco dalam kasus suap PLTU Riau 1 pada sidang awal pada hari Kamis 4/10/2019 di PN Tipikor Jakarta.
Didalam dakwaan lengkap dibacakan majelis hakim disebutkan bahwa dari sembilan pertemuan sejak awal 2016 antara Dirut PLN Sofyan Basyir dengan berbagai pihak terkait, termasuk dengan Setya Novanto dan lain nya , Johanes Seokoco dan Eni Saragih dari komisi VII DPR fraksi Golkar serta Idrus Marham mantan Mensos / mantan sekjen partai Golkar , namun anehnya tidak satupun dalam pertemuan itu menyebutkan adanya kehadiran Nicke Widyawati sebagai direktur Perencanaan Strategis 1 yang membawahi divisi RUPTL ( Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik ) tahun 2016 – 2024, malah nama Supangkat Iwan Santoso sebagai Direktur Perencaan Strategis 2 yang membawahi Divisi IPP ( Independent Power Producer ) disebut sebut hadir dan aktif berdiskusi.
Padahal baik menurut keterangan Sofyan Basyir , Eny Saragih diberbagai kesempatan dikutip media selalu menyebut adanya kehadiran Nicke W dalam membahas PLTU Riau 1 dan pembangkit lainnya dlm pertemuan didalam dan luar negeri , bahkan bisa jadi dari bukti lainnya, contoh seperti rekaman CCTV diberbagai tempat dan bukti rekaman sadapan pembicaraan bila ada.
Apalagi kalau dirunut dari sejak awalnya pendekatan Johanes Soekoco sebagai CEO Blackgold Natural Resources ke Setnov diawal tahun 2016 adalah berkeinginan mengambil proyek PLTU Jawa 3 , namun karena sudah ada “jagoannya “, maka Setnov telah menugasi Eni Saragih mengawal untuk memuluskan niat tersebut dengan membuka komunikasi intensif dgn direksi PLN , khususnya dgn Dirutnya Sofyan Basyir dan direksi terkait.
Ternyata pada proses penyidikan terungkap adanya aliran dana sebesar Rp 4 ,7 miliar sudah diterima oleh Eni Saragih dkk , dari janji kepada Setnov USD 6 juta dan Idrus Marham USD 1.5 juta , bahkan senilai Rp 700 juta sdh dikembalikan ke KPK oleh Wasekjen Golkar Sarmuji dan Eni Saragih Rp 500 juta , malah sempat disebut sebut sebagian dana tersebut diduga digunakan untuk Munaslub partai Golkar pada awal desember 2017 yang telah mengantarkan Airlangga Hartato sebagai ketua umum.
Selain itu harus dipahami bahwa setiap nominasi proyek pembangkit itu bisa masuk dalam RUPTL untuk bisa dilaksanakan dengan skema EPC ( Engineering Procurement Contraction) atau IPP penetapannya adalah kewenangan divisi RUPTL dibawah tanggung jawab Direktur Perencaan Strategis 1 , sesuai bagan organisasi PT PLN yang kemudian pelaksananaan proyeknya berpayungkan Peraturan Presiden nmr 4 thn 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan .
Sehingga tak salah sebagian publik merasa aneh dan tanda tanya besar apakah ada upaya pihak pihak tertentu yang punya kekuatan besar telah bisa mengintervensi KPK agar nama Nicke W hilang dalam dakwaan para terdakwa yang sudah disidangkan dan terdakwa lain nya yang akan disidangkan.
Oleh karena itu dakwaan terhadap Eni Saragih dan Idrus Marham menjadi menarik diamati , apakah nama Nicke W akan disebut atau hilang sama sekali peranan nya.
Akankah kasus PLTU Riau 1 bisa membuka kotak pandora korupsi proyek listrik 35.000 MW secara tuntas?
TIM REDAKSI: RHE/ATA