Oleh Ahmad Daryoko
Koordinator Indonesia Infrastructure Watch.
Tiba2 meledaklah kemarahan Prof. Ir. Soedjana Syaphei (mantan Rektor ITB, selaku moderator Seminar ), memotong pembicaraan saya selaku pembicara terakhir setelah Fahmi Mochtar (Dirut PLN saat itu), Eddie Widdiono ( Ketua DEN, mantan DIRUT PLN ) dan seorang pejabat ESDM , ” hei mas Daryoko, anda ini dari dulu kok ngotot terus tolak ‘Unbundling’ . Anda harus tahu PLN/Pemerintah tdk punya uang lagi untuk bangun pembangkit, sementara kebutuhan sdh sangat mendesak. Sehingga pembangkit harus diserahkan ke swasta (IPP) , ritail pun biar swasta saja yg urus ! Ya terpaksa harus ‘unbundling’ ! Kalau anda nolak terus, yaa apa saran anda kpd Pemerintah agar tetap survive ? Jangan asal nolak dong ! “.
Pertanyaan tersebut spontan saya jawab, “Begini Prof , saran saya patung Garuda ini ( sambil saya tunjuk patung Garuda PS yg nempel di tembok, didepan persis pembicara duduk, di Aula Timur ITB ) diganti saja dng lambang lain , kalau Pemerintah merasa kewalahan dalam menopang ketenagalistrikan dengan Konstitusi yang ada dan Dasar Negara Panca Sila !”
Tiba2 seorang Mahasiswa yg duduk ditengah tengah massa seminar berdiri dan berteriak ” diganti lambang apa Bang ?”, saya jawab singkat “ganti saja dengan gambar burung emprit atau cocak rowo !”. Spontan tertawa meledak para peserta seminar diseluruh ruangan , di susul kegaduhan. Krn ada seorang Mahasiswa menegur saya dengan keras dan minta saya turun dari podium pembicara. Dan moderator pun sibuk menenangkan massa. Para petinggi PLN pun ber sms ke saya agar hati2 bicara didepan kaum intelektual. ITB bukan pasar, tegas mereka di sms itu.
Yang saya ingat beberapa bulan kemudian setelah Seminar di ITB itu ,di syahkanlah UU No 30/2009 ttg Ketenagalistrikan yg baru menggantikan UU No 20/2002 yg dibatalkan MK sebelumnya.
Memang ITB dan UI paling getol memanggil saya untuk bicara di Seminar maupun diskusi panel , apalagi setelah SP PLN berhasil membatalkan UU Ketenagalistrikan sampai dua kali.
Indikasinya, dua Perguruan tinggi ini menjadi “tenaga ahli” DPR RI dalam menyiapkan Konsep UU Ketenagalistrikan. Sehingga sikap mereka adalah mendukung Kebijakan Pemerintah di Sektor Ketenagalistrikan yang liberal itu.
Yg aneh di ITB, terjadi dua kubu baik yg mendukung maupun menolak kebijakan tersebut, sehingga saya sampai lima kali diundang ITB.
Indikasi bahwa mereka diminta menjadi Tenaga Ahli DPR RI terlihat saat Tim ITB dibawah Prof. Sujana Shapei, Tim UI dibawah pimpinan Dekan Fak Teknik UI Prof. Dr. Reynaldi Dalimi, dan SP PLN dibawah Sekjen Ahmad Daryoko, di undang secara bersamaan untuk mengikuti RDPU yg diadakan oleh Komisi VII yg dipimpin Irwan Prayitno (sekarang Gubernur Sumbar).
Saat RDPU terlihat jelas ITB dan UI mendukung tanpa “reserve” konsep UU Kelistrikan yang Liberal itu. Sementara kami dari SP PLN bertitik tolak dari “legal standing”baik sebagai konsumen listrik, maupun sebagai karyawan PLN yang terancam hak konstitusinya bila UU Ketenagalistrikan diberlakukan,menolak konsep UU Ketenagalistrikan yg baru tersebut , dan mempertahankan UU Ketenagalistrikan yang lama yaitu UU No 15/ tahun 1985 dimana tidak ada Unbundling karena peran swasta hanya sebagai sub kontraktor nya PLN.
Perlu diketahui dalam konsep UU Kelistrikan yg baru tersebut akan terjadi Liberalisasi kelistrikan , sehingga pasal 33 ayat (2) UUD 1945 “Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara ” akan terancam eksistensinya akibat program “Unbundling” yang liberal itu.
Liberalisasi Ketenagalistrikan ini akan memunculkan “multy transfer pricing cost” yg menjadikan listrik mahal.
Untuk selanjutnya dalam sidang Judicial Review thd UU No 20/2002 maupun UU No 30/2009 ttg Ketenagalistrikan , SP PLN mengajukan Ahli dari UI,ITB,ITS dan Prof. David Hall dari Green Which University (UK) yg membawa contoh2 kejadian di LN yg menerapkan Unbundling System maupun yg tetap “vertically integrated System”.
Dan akhirnya MK membatalkan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan secara total. Dan membatalkan Pasal2 Unbundling nya pada UU No 30/2009 penggantinya.
Bandung 1 Januari 2020.