Home Ekbiz Corporate Mengapa Jakarta Selalu Banjir?

Mengapa Jakarta Selalu Banjir?

978
0

OLEH Dr. Andang Bachtiar

Ada berbagai pertanyaan masyarakat tentang kondisi subsurface (bawah permukaan tanah kota Jakarta), kondisi gerakan tanah dan kegempaan di wilayah yang menjadi ibukota republik ini. Jawabannya, teluk Jakarta adalah tinggian tektonik yang membuat lempeng tanah di wilayah ini turun terus menerus.

Setidaknya, demikian pendapat pakar Geologi DR. Andang Bachtiar. Pendapat  itu dikemukakan oleh mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia itu dalam Focused Group Discussion tentang Peluang dan Tantangan Ruang Bawah Tanah DKI Jakarta, 20 Desember 2012 lalu, di Hotel Milineum Jakarta.

Acara diskusi itu diikuti oleh puluhan pakar bidang geologi, geofisika, geoteknik, geodesi, geodinamik, konstruksi, hidrology dan kegempaan.

Sebut saja diantaranya:  Prof Jan Sopaheluwakan (LIPI),  Prof Hasanuddin Z. Abidin (ITB), Prof. Herman Moechtar (Badan Geologi), Dr. Asrurifak mewakili Prof Masyhur Irsyam (ITB), Dr. Agus Handoyo (ITB),  Dr. Agus Guntoro (Trisakti), Dr. Danny Hilman (LIPI), Irm Ali Djambak MT (Trisakti), Ir. Wahyu Budi (Badan Geologi), Dr. Imam Sadisun (ITB), Dr. Widjojo Prakoso (UI), Dr. Firdaus Ali (UI), Prof Robert Delinom (LIPI), Ir. Rovicky D.P MSi (IAGI), perwakilan dari Kimpraswil, BMKG dan BIG-Bakosurtanal.

Pada kesempatan tersebut, ada beberapa poin penting yang dipaparkan Adang Bachtiar. Beberapa diantaranya  cukup mengejutkan karena di luar pengetahuan yang selama ini dipahami masyarakat. Diterangkan Adang, Jakarta atau lebih tepatnya Teluk Jakarta  adalah kota yang didiami sebagai daerah Tinggian Tektonik.  “Tidak pernah terjadi intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah tertekan di Jakarta, apalagi sampai di bawah Monas.”

Yang terjadi, sambung Adang, justru malah sebaliknya. Banyak air tawar keluar (discharged) sebagai mata air di pantai dan Teluk Jakarta.  “Kandungan air agak payau di air tanah dalam adalah karena percampuran dengan air perasan dari lempung-lempung pengapit di atas dan di bawah akwifer karena proses kompaksi biasa, bukan karena intrusi air laut,” terang Adang.

Adang bilang, data isotop juga menunjang kesimpulan tersebut. Di pinggiran laut seperti di Muara Baru sampai ke Ancol, tentu saja, air tanah bebas dangkal dan air permukaan dipengaruhi oleh pasang surut air laut di sana.

Lebih jauh mantan Ketua IAGI ini menerangkan, sebenarnya sejak 2002 hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) telah menyosialisasikan hasil temuan ini. Kata Adang, hasil isotop dan pemetaan sifat kimia air tanah seluruh daerah DKI Jakarta selama 10 tahun terakhir, makin menguatkan kesimpulan tersebut.

Kurangnya sosialisasi tentang hal ini ke masyarakat sehingga informasi tersebut tidak tersampaikan dengan baik. “Sementara sebagian birokrasi dan masyarakat menganggap hal ini tidak memiliki konsekuensi apa-apa ke depan,” ujar Adang.

Pada  lapisan yang di-dating sebagai Mid-Holocene atau berumur geologi  sekitar 4-5 ribu tahun yang lalu, garis pantai mundur sampai di selatan Monas yang menyebabkan diendapkannya lapisan sedimen laut dengan air asin di dalamnya. Kalau kasusnya seperti itu maka memang air di dalam akwifer tersebut sudah asin dari asalnya, dan sering disebut juga sebagi connate water. Kedalaman lapisan-lapisan tersebut lebih dari 300-400 meter-an di daerah Jakarta Pusat dan makin mendangkal ke selatan.

Dijelaskan Adang,  Teluk Jakarta adalah tinggian lokal. Sementara dari pantai teluk Jakarta ke arah darat ke selatannya adalah berposisi rendahannya yaitu “West Ciputat Low.” Oleh karena itu, meskipun ada 13 sungai mengalir membawa sedimen ke arah Teluk Jakarta,  tetapi di teluk Jakarta tidak terbentuk delta.

Karena itu, sedimen-sedimen yang dibawa sungai-sungai itu sebagian besarnya diendapkan di rendahan Ciputat Barat, yaitu di daratan Jakarta yang secara geomorfologi disebut sebagai “Dataran Banjir Jakarta”. Maka, ketika masuk ke Teluk Jakarta sungai-sungai itu hanya menyisakan suspensi halus dan arus sungai yang lemah. “Ini menjawab pertanyaan, mengapa ada dataran banjir Jakarta,” terang Adang.

Lebih jauh Adang menjelaskan, rencana pembangunan sea-wall di Teluk Jakarta seharusnya memperhitungkan konstelasi tektonik sedimentasi tersebut. Sea-wall harus dibangun di blok yang selalu naik yang mungkin terletak menjorok ke dalam teluk. “Bukan di lokasi pantai yang sekarang. Kalau posisinya tidak tepat maka dalam jangka panjang (>50 tahun) sea-wall itu juga akan terus tenggelam.”

Demikian juga dengan reklamasi (pengurugan) Teluk Jakarta. Seyogyanya memperhitungkan garis batas tinggian dan rendahan tersebut. Kalau posisi area yang diurug ada di selatan garis batas, maka reklamasi akan ambles terus. “Hasil survei GPS Prof Hasanuddin dari ITB juga menunjukkan penurunan maksimum di bagian selatan daerah Muara Baru sampai ke Ancol. Kebijakan reklamasi harus dimodifikasi, dikawal dengan mendelineasi daerah-daerah yang akan sia-sia saja kalau direklamasi,” ujar Adang.

Pada bagian lain, Adang juga menyingung tentang potensi gempa tektonik di Jakarta. Ia menjelaskan, Kepulauan  Seribu sebagai kelurusan utara dari tinggian Ciputat-Tangerang selalu bergerak naik secara tektonik. “Teras-teras  terumbu yang berkembang di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu itu adalah buktinya,” terang dia.

Demikian juga daerah sepanjang garis imajiner Ciputat-Ujung Teluk Naga. Adang menyebut, daerah tersebut adalah tektonik yang selalu naik. Teras-teras sungai di sepanjang aliran Sungai Cisadane membuktikan gerak tektonik naik tersebut. Adanya slicken side, offset, pergeseran di sedimen-sedimen pleistosen

Hal ini membuktikan patahan-patahan Jakarta bisa aktif sewaktu-waktu dalam masa kwarter ini. “Ini menjawab bahwa Jakarta memiliki patahan yang bisa aktif sewaktu-waktu. Jadi bukan hanya ancaman dari Selat sunda dan sesar sekitar Jakarta saja yang menjadi potensi rusaknya Jakarta akibat gempa,” ujar dia.

Adang menyarankan, sebagai tindakan preventif mitigasi bencana gempa bumi dengan adanya indikasi-indikasi patahan aktif tersebut. Adang menyebut, saat ini sedang diusahakan untuk membuat mikrozonasi gempa di Jakarta sampai ke level 4 yaitu skala 1:25.000. Dengan demikian, bangunan-bangunan yang didirikan di DKI Jakarta nantinya bisa mengacu pada peta mikrozonasi tersebut untuk desain dan konstruksinya sehinga ramah gempa.

Lantas, bagaimanakah masa depan Ibukota negara ini? Kata Adang, merujuk pada konstelasi tektonik Tersier dan Kwarter yang ada, secara geologi teknik masa depan DKI adalah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang merupakan daerah tinggian yang lebih aman daripada dataran banjir Jakarta yang selalu turun. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.