ENERGYWORLDINDONESIA – Sudah berselang 5 hari setelah tutup tahun 2019 SKKMigas ternyata belum juga merilis secara resmi hasil lifting migas nasional tahun 2019, padahal selama ini SKKMigas lazimnya paling lambat setiap tanggal 2 Januari secara resmi telah mengeluarkan rilisnya, maka bisa jadi ditunda rilis kepublik saat ini disebabkan lifiting migas jauh dari target APBN 2019, yaitu 2 juta barel setara minyak perhari ( BOPD ), yaitu terdiri dari lifting minyak sebesar 775.000 BOPD dan gas 7.000 juta kaki kubik perhari ( MMSCFD).
Menurut bocoran yang ada, ternyata lifiting migas pada akhir Desember 2019 hanya mencapai 88,63 % dari target APBN dengan rincian lifting minyak 735,219 BOPD dan gas 5934 MMSCFD, artinya kinerja SKKMigas sangat patut dipertanyakan kemampuannya.
Meskipun Waka SKKMigas Fatar Yani Abdurahman harus turun ke Dumai Riau pada 28 Desember 2019 yang katanya untuk memastikan lifting migas nasional bisa mencapai target pada akhir tahun 2019, faktanya bisa jadi kegiatan itu sia sia alias buang uang negara saja, selain katanya SKKMigas sekarang punya sistem digital yang bisa memonitor dari hari ke hari operasi seluruh lapangan KKKS secara “real time” Integrated Operation Center”, karena kerja bawah permukaan itu tidak bisa diselesaikan dengan tinjauan menjelang keperluan, tetapi merupakan hasil kerja serius terkonsepsi sejak 2 dan 3 tahun sebelumnya dan fokus setiap saat memantau dan cepat memberikan solusi ketika terjadi ada masalah dalam operasionalnya .
Mengingat komsumsi BBM nasional saat ini sdh mencapai 1,6 juta sd 1,7 juta barel perhari, pada saat bersamaan ancaman penurunan produksi secara alamiah (decline) dari lapangan lapangan yang sudah tua, dan selain Chevron yang berhasil mengenjot produksi dengan metoda EOR, belum ada kegiatan mengenjot produksi dengan metoda Enhanced Oil Recovery ( EOR ) yang berhasil signifikan dilakukan oleh Pertamina dibeberapa lapangan migasnya, maka sudah dapat dipastikan pada tahun 2020 import minyak mentah dan BBM akan semakin besar, tentu berakibat bisa semakin meningkatkan defisi transaksi berjalan dalam necara keuangan negara pada tahun 2020 dan tahun berikutnya.
Meskipun digembar gemborkan program B30 akan mulai beroperasi mulai 1 januari 2020 oleh pemerintah bisa banyak menghemat sampai 112 triliun rupiah setiap tahunnya juga patut dipertanyakan kebenarannya, darimana dasar perhitungannya, karena sejak program B 20 saja berjalan, malah menurut keterangan direktur Keuangan Pertamina Pahala N Masury pada pada 27 Agustus 2019 di Media Liputan 6 ( terlampir) bahwa Pertamina sudah kelebihan produksi solar sejak bulan Mei 2019, dan kelebihan produksi solarnya diupayakan untuk di eksport, kalaupun benar keterangan direksi Pertamina itu benar, maka pertanyaan berikutnya adalah dengan kualitas rendah solar kilang Pertamina maka negara mana yang mau membelinya ?, kalaupun terjual tentu dengan harga jauh dibawah harga pasar, lagi lagi jual rugi.
Selain itu konsumsi Biodiesel B20 atau B30 hanya sekitar 15 % dari total konsumsi BBM nasional setiap harinya, sehingga tidak mempengaruhi banyak untuk menekan defisit transaksi berjalan, kerena Pertamina juga kelebihan produksi solarnya.
Maka dari fakta fakta tersebut diatas, seharusnya Pemerintah lebih fokus memperbaiki kinerja sektor hulu, yaitu membenahi sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Migas KESDM dan SKKMigas sebagai ujung tombak maju mundur kinerja disektor hulu yang mampu meningkatkan lifiting migas, bukan sibuk membicarakan kenapa kilang minyak belum terbangun sampai sekarang, sampai dituding ada mafia dibelakangnya yang suka import terus, tentu publik balik bertanya koq bisa negara kalah dengan mafia ?, atau jangan jangan mafia itu ada dilingkaran kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Disisi lain, kalaulah proyek RDMP ( Refinery Develoment Masterplan Projek ) 5 kilang Pertamina dan membangun kilang baru ( Grass Root Refinery ) berhasil bisa dibangun dengan kapasitas 1,5 juta BOPD, tentu pertanyaan dengan kemampuan produksi minyak nasional yang semakin mengkawatirkan, yaitu perolehan minyak bagian negara dan Pertamina hanya sekitar 550.000 BOPD dari total produksi nasional, maka untuk menambal defisitnya dengan terpaksa harus melakukan import juga.
Oleh karena itu adanya ungkapan optimis beberapa pejabat SKKMigas diberbagai media bahwa dalam beberapa tahun kedepan mereka optimis bisa mencapai target produksi 1 juta barel perhari pada tahun 2022, maka diduga janji itu bisa terkesan hanya memberi angin sorga kepada Presiden, atau dengan kata lain mereka melakukan pembohongan publik.
Keraguan diatas berdasarkan lima tahun terakhir ini belum ada satupun kegiatan ekplorasi yang dilakukan oleh KKKS berhasil menemukan cadangan yang cukul besar, minimal cadangan seperti dilapangan Banyu Urip blok Cepu.Apalagi sejak diberlakukan konsep “Gross split” untuk menganti konsep Cost Recovery, hampir sering kita dengar tender wilayah kerja migas yang rutin dilaksanakan oleh Ditjen Migas sepi peminatnya, hanya sedikit ada angin segar setelah dikatakan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif akan membuat kebijakan baru kepada KKKS boleh bebas menentukan apakah mau ikut skema Gross Split atau Cost Recovery, katanya hanya tinggal tunggu waktu perubahan Peraturan Pemerintah nmr 53 tahun 2017 yang akan dilakukan segera.
Karena target produksi 1 juta barel itu sudah lama dibuat regulasinya oleh Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2012 semasa Pemerintahan SBY, dan INPRES itu dibuat pada saat prokduksi minyak kita masih dikisaran 940.000 BOPD pada tahun 2012, akan tetapi faktanya produksinya bukannya meningkat, malah hari ini kita menyaksikan kasat mata semakin menurun sudah mencapai 713.000 BOPD, ironis memang.
Oleh karena itu, kalau Presiden Jokowi memang serius mau mengurangi import minyak, maka sebelum terlambat, segeralah evaluasi semua pejabat Migas di Ditjen Migas dan SKKMigas, bila perlu dan katanya Ahok itu hebat, mengapa bukan dia saja segera angkat sebagai Kepala SKKMigas.
Terakhir, segera tugasi penegak hukum untuk pelototi semua tender tender di KKKS yang bernilai diatas USD 20 juta, karena nilai tersebut meskipun semua pekerjaan ditenderkan oleh KKKS, akan tetapi penentapan pemenangnya harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari petinggi SKKMigas, nah disinilah celah permainannya.
Jangan pernah lupa, ada kasus besar di SKKMigas yaitu korupsi kondensat TPPI senilai 37 triliun mangkrak 5 tahun dan sudah P21 sejak Januari 2018 oleh Kejaksaan Agung, tetapi entah mengapa berkasnya belum dilimpahkan dari Bareskrim ke Kejaksaan Agung.
Jakarta 5 Januari 2020
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman