ENERGYWORLD – Ada yang tersisa di acara Dialog Silaturahmi bertemakan “Kawal Pertamina Menuju Energi Unggul Untuk Indonesia Maju” dalam rangka memperingati HUT Ke-19 eSPeKaPe (Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina) pada hari Rabu, 12 Februari lalu di Gedong Joang 45 Jl. Menteng Raya No 31 Jakarta Pusat, tutur Pandiri dan Kahumas eSPeKaPe Teddy Syamsuri dalam rilisnya kepada pers (16/2/2020). Oleh karena ada makalah dari mantan Direktur Utama PT Badak LNG Ir. Wahyudi Suhartono sebagai salah satu narasumber yang hadir bersama-sama mantan Dirjen EBT Kementerian ESDM DR. Kardaya Warnika, Kahumas FSPPB Capt Marcel dan Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi, yang dipandang perlu untuk menjadi masukan pada Pemerintahan Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) di periode keduanya.
Makalah founder Serikat Pekerja Pertamina berjudul “Dilema Kilang Minyak” yang merupakan hasil pemikiran akademis Wahyudi Suhartono dan bersifat kritis terhadap Pemerintahan Presiden Jokowi pada konteks Pemerintah selaku pemegang saham seratus persen di PT Pertamina (Persero), yang berarti maju mundurnya BUMN sektor minyak dan gas bumi (migas) satu-satunya di republik ini terletak pada kebijakan dan eksekusi Presiden Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan.
Makalah kritis Wahyudi Suhartono diawali dengan catatan sejarah adanya tekanan dolar Amerika Serikat (US$) terkait harga minyak mentah (crude oil) dunia memberikan dampak yang berat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya volatilitas harga minyak tidak bisa diprediksi, dan siklus dari volatilitas eratic, magnitude dan frekwensinya tidak beraturan.
Dengan demikian ujar Wahyudi Suhartono, disarankan kepada Pemerintahan Presiden Jokowi dalam Kabinet Indonesia Maju, harus merumuskan kebijakan yang bisa meredam volatilitas harga minyak yang tidak bisa diprediksi.
“Tanpa ada usaha yang terpadu dan terencana dengan baik, benar dan tepat. Maka sepanjang perjalanan republik ini ke depannya akan terus di dera tekanan dari dua hal karena siklus dari volatilitasnya eratic, serta magnitude dan frekwensinya tidak beraturan itu. Maka Pemerintah diminta memperhatikan salah satu urutan kejadian harga minyak dunia”, kata Wahyudi Suhartono.
Tercatat harga minyak dunia tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 ketika harga minyak dunia melonjak ke US$ 144 perbarel, kemudian turun ke US$ 40 perbarel dalam hitungan mingguan. Tapi dalam beberapa bulan kemudian bergerak naik ke US$ 70 perbarel, dan akhirnya bertengger di US$ 120 perbarel.
Menurut Wahyudi Suhartono yang alumnus Univeritas Trisakti, tidak ada satu text book pun yang dapat menjelaskan phenomena fkuktuasi harga minyak dunia bisa terjadi dan terulang lagi pada tahun 2015. Sehingga secara gradual terjadi perubahan fundamental dalam bisnis crude oil dari spot market menjadi future market atau financial derivative. Bagaimanapun dunia akan menghadapi situasi yang sangat kompleks ketika harga minyak dunia tidak bisa dikontrol. Pasalnya mekanisme fundamental dari pasar tak valid dengan dinamika yang terjadi.
Menurut Wahyudi Suhartono, virtual volume dari future trading jauh lebih besar dari pshycical marketnya berkisar 27 kali lebih besar. Tercatat pada tahun 2014 transaksi yang menjadi pshycical market adalah 23,4 juta barel. Sementara dalam financial market tercatat 623 juta barel.
“Begitu sensitifnya volatilitas crude oil hanya karena tensi geo politik terutama yang bergejolak di Timur Tengah. Lalu, adanya upaya untuk menghentikan proyek renewable dan shale baik minyak maupun gas. Oleh karena normatif supply and demand serta future market yang mempengaruhi”, ungkap Wahyudi Suhartono.
Guncangan yang terjadi pada future market menurut Wahyudi Suhartono, akan memberikan resonansi yang berlipat ganda terhadap physical market karena virtual volume yang 27 kali lebih besar dibanding physical market.
Dengan demikian menurut Wahyudi Suhartono, Indonesia harus melakukan mitigasi terhadap tekanan harga crude oil yang akan mempengaruhi secara signifikan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sehingga disarankan kepada Pemerintahan Presiden Jokowi, bahwa langkah pertama yang paling fundamental adalah memproduksi liqued fuel dengan memaksimalkan sumber daya non-oil dalam negeri. Seperti Gas To Liqued (GTL), Coal To Liqued (CTL) dan Bio Fuel, yang harus fokus pada nilai strategis kebijakan memaksimalkan sumber daya non-oil dan jangan sampai terjebak pada urusan keekonomian.
Malaysia tutur Wahyudi Suhartono, telah membangun kilang GTL tahun 1993 dengan kapasitas 12,500 barel per hari (bph). Justifikasi pembangunan kilang tersebut adalah berdasarkan pada komparasi keekonomian antara buat kilang LNG atau GTL. Sedangkan di Afrika Selatan tahun 1955 membangun CTL plant karena crude oil di embargo sebagai akibat dari politik apartheid dan mengembangkannya lebih lanjut pada tahun 1970-an oleh karena harga minyak mentah dunia yang tinggi 30 persen liqued fuel dalam negerinya yang di supply oleh CTL plant.
“Maka sudah saatnya Indonesia membangun GTL dan CTL. Sebab global coal reserves mempunyai potensi selama 135 tahun, jauh lebih besar dibanding oil and gas”, beber Wahyudi Suhartono.
Indonesia memiliki cadangan batubara yang berpotensi menghasilkan liquid fuel 120.000 bph selama 547 tahun. Apabila dialokasikan 10 persen saja, ungkap Wahyudi Suhartono, cadangan batubara Indonesia akan dapat menghasilkan liquid fuel 240.000 bph selama kurang lebih 30 tahun.
“Sebab itu kebijakan Presiden Jokowi untuk membangun kilang minyak sampai marah-marah karena progresnya jauh dibawah harapan. Sebenarnya tidak akan memberikan solusi terhadap ketergantungan energi karena crude oil bagaimanapun harus diimpor. Artinya, bukan solusi jika hanya fokus membangun kilang minyak, malah bisa jadi menjadi dilema”, pungkas mantan Dirut PT Badak LNG Ir. Wahyudi Suhartono sesuai makalah hasil tulisan akademisnya. |ATA