ENERGYWORLDINDONESIA – Aduh kami terhentak kaget adanya tagar #TaikLuPertamina pada Ahad, 3 Mei 2020 dan menjadi trending topic linimasa Twitter. Ini mengerikan sekelas nasional oil company dibegitukan oleh ramainya para netizen. Kalau dirunut mungkin karena pasalnya soal harga minyak dunia yang anjlok super anjlok. Tapi Pertamina malah belum juga menurunkan harganya di pasaran, beda dengan negara tetangga kita Malaysia yang langsung menurunkan.
Eh..alih-alih berdalih Pertamina malah bikin blunder kasih diskon, begitu Boss Pertamina dalam video Conferencenya. Menurut Boss Pertamina itu kasih diskon 30 persen, ayo nimbun. Ah ini jug ajakan bukan bahasa kelas pejabat tinggi. Nimbun yang di lontarkan Nicke Widyawati orang nomor 1 di BUMN Migas ini sunggu aneh. Ia tak pakai diksi cerdas. Narasi yang dia buat dengan kata nimbun adalah sebuah diksi yang busuk. Nimbun adalah kata yang dilarang dalam elemen apapun, karena bahasa itu adalah rakus dan sangat tamak. Eh malah ini dibuat ajakan. Ini makin Absurd. Cukup sampai disini? Tidak juga, blunder makin meluas, karena bahasa Dirut Pertamina dan VP Corporate Pertamina, Fajriah Usman beda lagi. Nicke bilang discount untuk 2000 (dan kini sudah direvisi tidak lagi hanya 2000 pembeli) sedangkan Fajriah bilang cash back….mana yang benar informasi itu. Sementara publik sudah mengunyah kabar yang sudah terlanjur beredar.
Kami coba cek apa sih perbedaan, diskon atau dahulu dikenal sebagai rabat yang artinya adalah potongan harga. Seorang konsumen dapat membeli suatu produk barang atau jasa dengan harga yang lebih murah dari harga yang sebenarnya karena harganya sudah dipotong. Dan promo diskon ini biasanya diberikan dalam batas waktu tertentu, misalnya 1 bulan, 1 minggu, 1 hari, bahkan ada diskon yang batas waktunya hanya 1 jam atau hanya beberapa menit, ini bisa jadi pemicu konsumen untuk melakukan pembelian dalam jumlah yang banyak karena menganggap yang dilakukannya adalah bentuk dari berhemat. Jadi, hati-hati dengan diskon, diskon tidak selalu baik karena bisa membuat kita untuk membeli banyak hal yang sebenarnya belum atau bahkan tidak dibutuhkan.
Misalnya, ada penawaran jika membeli dua dapat diskon 50%, sedangkan jika membeli satu hanya dapat 30%, pembeli akan menganggap membeli dua lebih hemat daripada hanya membeli satu.
Perbedaan Cashback dengan Diskon
Terlepas dari apakah promosi yang ditawarkan adalah cashback atau diskon, ada baiknya mengetahui beberapa perbedaan serta syarat dan ketentuan yang berlaku untuk menghindari terjadinya kerugian. Yang jadi perbedaan utama Cashback biasanya memberikan keuntungan melalui kredit yang dapat dipakai untuk melakukan pembelanjaan berikutnya. Sedangkan diskon memberikan keuntungan yang didapat dalam bentuk potongan pembayaran langsung, dan konsumen dapat melakukan pembayaran dengan harga yang sudah dipotong. Untuk lengkapnya silakan kami tak mau memberikan pelajaran berenang pada itik. Klik saja https://cashbac.com/blog/perbedaan-cashback-dengan-diskon/ pastinya akan lebih dalam paham.
Kembali ke soal tagar #TaikLuPertamina kami jadi bertanya ini untuk siapa? Untuk Direksi dan jajarannya atau untuk holding Pertamina? Tagar #TaikLuPertamina di twitter mencapak 11.4K Tweets, ini luar biasa.
Pengamat Energi dari CERI Yusri Usman mengomentari soal ini, “Hendaknya Presiden Jokowi harus ambil sikap Reformasi Pertamina,” ujarnya. Tapi pertanyaannya kenapa semua harus ke Presiden urusan begini. Bukankah ada menteri ESDM dan BUMN yang mengayomi Pertamina ini?
“Ya…hampir 75 tahun Indonesia Merdeka tak pernah terjadi BUMN kebanggaan kita (PERTAMINA) dikasih tagar #TaikLuPertamina ini satu preseden buruk,”kata Yusri Usman.
Bagi kami ada apa ini? Apakah robohnya korporasi Indonesia Pertamina karena Tagar #TaikLuPertamina mulai mengkhawtirkan?
Meneg BUMN Erick Tohir harus bersikap mengevaluasi kinerja Direksi Pertamina, karena tingkat kepercayaan publik sudah pada titik nadir terhadap Pertamina. “Karena ketidak mampuannya Direksi dalam menghadapi badai ini arah Pertamina makin tak tentu arah,” kata Yusri lagi.
Memang soal pernyataan naik turun BBM Pertamina (pemerintah/BUMN) menjadi sorotan kuat di mata rakyat. Meski yang sebenarnya ESDM (Pemerintah) ini juga adalah yang mengatur regulasi. Jadi memang hendaknya langkah bermain argumen cashback atau diskon janganlah dipermainkan dalam kondisi saat ini. Kan itu hanya semacan janji manis yang bikin miris rakyat. Karena diskon yang kenyataannya hanya jebakan dan bukan untuk rakyat biasa konsumsi BBMnya, kelas Pertamax dan Dex Series yang diberikan adalah beda ruang. Jadi pilihan promo itu harusnya bukan di saat ada wabah pandemi covid-19 ini. Bagusnya yang saat-saat promo yang elegan saja. Dan tak perlu Dirut juga yang umumkan Diskon kelas promo marketing ini, cukup Humas saja.
Kelas Dirut mending berpikir langkah ketahanan nasional energi kedepan, dan siap-siap nih ada 7 Blok migas yang tahun ini habis kontrak, mungkin ini lebih baik dibahas Pertamina dengan MenESDM, SKK Migas karena bukankah Blok Migas yang mau habis dan akan habis jika tidak diperpanjang dengan otomatis akan kembali ke NOC, National Oil Company yang dalam hal ini Indonesia adalah Pertamina. Nah loh…
1. | 2020 | Blok South Jambi B | Conoco Phillips | Jambi |
2. | 2020 | Blok Selat Malaka | Kondur Petroleum | Selat Malaka |
3. | 2020 | Blok Brantas | Lapindo | Jawa Timur |
4. | 2020 | Blok Salawati | JOB Pertamina-Petrochina | Papua |
5. | 2020 | Blok Kepala Burung A | Petrochina Int’l Bermuda | Papua |
6. | 2020 | Blok Sengkang | Energy Equity | |
7. | 2020 | Blok Makassar Strait | Chevron Indonesia Company | Selat Makassar |
Sumber: Pertamina dan BP Migas
Kami juga coba sampaikan kisah yang lebih baik bahwa Pertamina punya sejarah kuat loh atas semua yang ada untuk membangun bangsa dengan kekuatan energinya. Misalnya data riset kami menyebutkan sebagai berikut:
SEJARAH: PERTAMINA KUAT
Bagaimana nasib blok-blok migas yang kini banyak dikuasai asing dan akan segera berakhir masa kontraknya, kepada siapa nantinya blok-blok itu diserahkan?
Bila membaca gelagat pernyataan dari para pejabat pemerintahan Jokowi, blok-blok migas tersebut bisa jadi akan diserahkan ke PT Pertamina (Persero). Tanda-tandanya bisa dilihat pada penandatanganan Blok yang sudah-sudah, lalu kami sampaikna ada 7 Blok yang tahun ini habis sedang yang lain sudah mulai jalan, misalnya Blok Mahakam jadi cucu perusahaan menjadi Pertamina Hulu Mahakam (PHM), selanjutkan dijelaskan dibawa secara lengkap.
Tanda-tanda lain bahwa blok-blok migas tersebut akan diserahkan ke Pertamina, juga bisa ditilik dari pernyataan dan dukungan para pejabat pemerintah di era Jokowi.
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana waktu itu mengusulkan agar hak pelimpahan ke Pertamina tersebut dimasukkan dalam Peraturan Menteri ESDM tentang perpanjangan kontrak blok migas.
Dengan memiliki Participating Interest (PI), maka Pertamina bisa terlibat langsung dalam pengelolaan blok-blok migas yang selama ini dipegang oleh perusahaan migas asing. Dengan demikian, Pertamina diharapkan memperoleh transfer teknologi dan pengetahuan dari perusahaan-perusahaan migas internasional. “Di Cina saja, BUMN mendapatkan PI up to 50 persen,” kata Gde, saat itu 10 Februari 2015.
Usulan serupa disampaikan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) kepada Menteri ESDM. Alfi Rusfin, Ketua IATMI, mengatakan pemerintah harus memberikan hak prioritas atau right of first refusal (ROFR) kepada Pertamina atas setiap wilayah kerja migas yang kontraknya akan berakhir.
Dengan demikian, Pertamina memiliki kewenangan untuk melakukan uji tuntas wilayah kerja migas paling lambat lima tahun sebelum kontrak berakhir. Kemudian, Pertamina juga dilibatkan dalam pengelolaan wilayah kerja pada masa transisi paling lambat enam bulan sebelum kontrak berakhir.
Pertamina selama ini memang memperoleh hak prioritas untuk mendapatkan wilayah kerja migas. Namun, hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 itu hanya memberikan hak dalam wilayah kerja migas yang baru, bukan yang diperpanjang. Tak tanggung-tanggung, bahkan Pemerintah tengah menyiapkan peraturan menteri (permen) untuk mengatur blok-blok migas yang segera habis masa kontraknya di mana PT Pertamina (Persero) menjadi prioritas utama sebagai pengelola blok-blok tersebut.
Waktu masih Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja pernah mengatakan dalam waktu dekat Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said (waktu itu) akan mendatangani peraturan menteri yang mengatur kontrak-kontrak tersebut.
“Kontrak yang sudah habis itu, apakah mau diperpanjang atau dikemanakan, itu jadi prioritas negara,” ujar Wiratmadja, Jumat, 6 Februari 2015 lalu.
Dalam permen tersebut, kata Wiratmaja, Pertamina akan diprioritaskan untuk mengelola blok migas yang habis masa kontraknya. “Karena Pertamina seratus persen milik negara,” ujar Wiratmadja.
Ketua Tim Pengendali Kinerja Kementerian ESDM, Widyawan Prawira Atmaja menambahkan, pemerintah memiliki semangat agar kontrak WK migas yang habis diserahkan kepada Pertamina. Namun semuanya memerlukan kajian secara komprehensif.
Wawan panggilan dari Widyawan menambahkan, bila Pertamina memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola Blok yang masa kontraknya habis, pemerintah siap memberikan. “Yang penting prinsipnya Pertamina minta kami kasih,” ujarnya.
Dukungan juga datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress), Marwan Batubara yang paling getol atas Blok Mahakam bahwa sudah selayaknya blok-blok migas yang akan berakhir masa kontraknya dikembalikan ke negara sesuai aturan yang berlaku. Blok-blok migas tersebut, harus diserahkan kepada PT Pertamina, sebagai wakil pemerintah. Sebelum ke tangan Pertamina, mereka berpendapat pemerintah terlebih dulu mengambil alih, baru kemudian diserahkan ke Pertamina.
“Kemampuan anak negeri tidak perlu dipertanyakan lagi, karena itu peralihan status tidak menjadi masalah bagi mereka,” jelas Marwan.
Berbekal keberhasilan kelola Blok Offshore saat Pertamina mendapatkan hak operatorship untuk Blok Offshore North West Java (ONWJ) pada 2009.
Setelah lima tahun berjalan, blok di Pantai Utara Jawa Barat tersebut mencatatkan peningkatan produksi hingga 74%. Dimana produksi migas dari 23,1 MBOPD pada 2009, meningkat menjadi 40,3 MBOPD. Demikian halnya dengan pengelolaan Blok West Madura Offshore (WMO) yang diambil alih Pertamina dari Kodeco pada 2011. Dalam kurun waktu empat tahun, Pertamina mampu meningkatkan produksi sebesar 48%, yakni dari 13,7 MBOPD pada 2011 menjadi 20,3 MBOPD.
Marwan Batubara menilai pengalihan pengelolaan blok migas ke Pertamina bisa menjadi jalan menuju kedaulatan energi bangsa. “Harus dikembalikan ke negara, jangan dikuasai asing lagi,” katanya.
Sedang Widyawan mengatakan mekanisme pembagian hak blok yang berada di Kalimantan Timur itu akan diserahkan sepenuhnya ke Pertamina. Sementara kontrak pengelolaan atau production sharing contract PSC yang diberikan ke Pertamina akan berlangsung selama 20 tahun.
“Hal ini sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujar Widyawan.
Blok Mahakam adalah ladang emas hitam yang menjadi rebutan. Maklum, meski sudah disedot selama puluhan tahun, saat ini potensinya masih sangat besar.
Di Blok Mahakam, saat ini tersimpan cadangan gas sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik, blok Mahakam berpotensi meraup pendapatan kotor US$ 187 miliar atau sekitar Rp 1.700 triliun. Hanya cadangan migas di Blok Natuna yang mampu mengalahkan cadangan migas di Blok Mahakam.
Blok Mahakam merupakan penghasil gas kedua terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Angka ini setara dengan 300.000 barrel minyak per hari. Ladang minyak terbesar Indonesia adalah lapangan gas milik Chevron di Blok Rokan, Riau, dan Siak, Papua. Ladang minyak ini memproduksi 320.000 barrel per hari.
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation pada 31 Maret 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.
Gendutnya cadangan migas di Blok Mahakam, menyebabkan banyak pihak seperti berebut ingin mengelola. Tak terkecuali operator lama, yakni Total dan Inpex. Selain manajemen Total dan Inpex yang terus mendesak kontraknya diperpanjang, pemerintahan asing asal kedua perusahaan tersebut juga tak kalah gencar campur tangan agar pemerintah Indonesia tetap memperpanjang keduanya.
Perdana Menteri Prancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke Jakarta Juli 2011.
Di luar itu Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan (menteri ESDM ketika itu) Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012.
Tak cukup sampai di situ, Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius kembali menemui Menteri Jero Wacik pada 2 Agustus 2013 lalu. Kedatangan utusan Perancis yang kesekian kali itu kembali mempertanyakan status Blok Mahakam.
Desakan inilah yang menjadi penyebab perpanjangan kontrak Blok Mahakam menjadi tarik ulur dan berlarut-larut.
BILA DITELUSURI LEBIH JAUH, BLOK MAHAKAM DAN BLOK-BLOK MIGAS STRATEGIS DI INDONESIA SUDAH PULUHAN TAHUN DIKUASAI ASING. MEMANG ADALAH HAL WAJAR BILA PEMERINTAH INDONESIA SAAT INI MEMUTUS KONTRAK PENGELOLAAN. TERLEBIH, PADA SAAT AWAL KONTRAK BLOK MAHAKAM DITEKEN PADA 1967, ADA DEAL-DEAL KHUSUS ANTARA SOEHARTO, SEBAGAI PENGUASA BARU INDONESIA, DENGAN GERBONG GLOBALISASI EKONOMI YANG DIPIMPIN AMERIKA SERIKAT DAN PARA SEKUTUNYA.
Di masa awal orde Baru ke permukaan, Soeharto memang membuka pintu lebar-lebar bagi banyak perusahaan-perusahaan besar asing untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia secara besar-besaran. Blok Mahakam hanya salah satu contoh. Di luar itu, masih banyak kontrak-kontrak migas dan pertambangan yang juga merugikan bangsa Indonesia, seperti Freeport, Exxon, Newmont, Shell dan lain-lain. Sejak itulah para pejabat rejim militer Orde Baru telah menjadikan Indonesia sebagai klien (langganan) kepentingan AS.
Akibat hampir semua sektor migas dan tambang dikuasai asing sejak Soeharto jadi presiden, Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel, dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo, menyebut Indonesia adalah korban globalisasi.
Tentakel asing terus berlangsung hingga saat ini. Untuk sektor minyak saja, 67% lahan minyak dikuasai asing, 21% kerja sama dengan perusahaan asing dan sisanya untuk perusahaan nasional. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional, dan sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Meski ada alibi, Pemerintah melalui Dirjen Migas Kementrian ESDM menargetkan porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50% pada 2025, saat ini porsi operator nasional hanya 25%, sementara 75% dikuasai asing.
Saat ini, PT Pertamina hanya memiliki 6 unit kilang minyak yang besar di Indonesia, selebihnya dikuasai oleh pihak Asing. “Dari empat miliar barel cadangan minyak nasional, Pertamina hanya memiliki 500 juta barel. Bandingkan dengan Malaysia yang penduduknya 20 juta jiwa tapi aset cadangan minyak Petronas delapan miliar barel. Lalu Arab saudi yang berpenduduk 22 juta jiwa tapi Aramco Saudi Arabia memiliki aset cadangan minyak sebesar 265 miliar barel. Lalu ada Venezuela yang penduduknya 6 juta jiwa namun memiliki aset cadangan minyak sebesar 296 miliar barel,” jelas Marwan.
PT Pertamina 6 kilang minyak
Saat ini, perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia sangat bejibun. Antara lain Chevron (Amerika Serikat / AS), CNOOC (China), Chonoco Phillips (AS), ENI (Italia), KUFPEC (Kuwait), Exxon Mobil (AS), Premiere oil, Marathon Oil, Huskyenergy, Talisman, Amerada Hess, Anadarko, BP Indonesia, Asia Energi, Citic Seram Energy, Fairfield Indonesia, Hess, Inparol Pte Ltd, Inpex Corp, Japan Petroleum. Di luar itu, masih ada TOTAL E&P Indonesie, Petro China, Kondur Petroleum, Kodeco Energy, Korea National oil Corp, Kalrez Petroleum, Lundin BV, Nation Petroleum, Petronas Carigali, Pearl Energy, Permintracer Petroleum, Santos Pty, Sanyen, dan Oil 7 Gas.
Sebagai gambaran betapa merajalelanya asing di Indonesia, juga terpaparkan di sektor tambang mineral. Misalnya, ada PT Freeport Indonesia, dengan penguasaan Freeport McMorRan Copper & Gold Corp. sebesar 81,28% di dalamnya. Freeport mengeruk tambang emas dan tembaga di Papua sejak 1967, dengan Indonesia hanya mendapat kurang dari 1% dari apa yang dihasilkan Freeport mengeruk bumi Papua.
Perusahaan asing dan kerja sama lainnya yang merogoh cadangan batubara dan mineral Indonesia antara lain; PT Newmont Nusa Tenggara (PT Newmont Mining Corp menguasai 80% perusahaan), PT INCO (kepemilikan asing; Vale Canada Limited 58,73 % dan Sumitomo Mining Co. Ltd 20,09 %), PT Indo Tambang Raya Megah Tbk (Banpu Public Company Ltd menguasai 73,22 %), PT Singlurus Indonesia (Lanna Resources Public Co Ltd menguasai 65 %), PT Lanna Harita Indonesia (Lanna Resources Public Co Ltd menguasai 55 %), PT Bahari Cakrawala Sebuku (Straits Resources Ltd menguasai 100%).
Gurita tentakel asing inilah yang membuat sejumlah kalangan gusar. Ketika hampir semua negara-negara lain di luar negeri menjadi sektor energi dan pangan sebagai ujung pangkal dan agenda utama kedaulatan bangsa, justru Indonesia malah menggadaikan kekayaan dan sumber daya alamnya kepada pihak asing. Ini tercermin dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia. Contoh konkritnya Blok Mahakam.
Pertamina berambisi
Adanya peluang pengelolaan dan dukungan banyak pihak inilah yang turut menjadi pendorong Pertamina pede untuk segera mengambil alih Blok Mahakam dan blok-blok migas lain yang kontraknya akan segera berakhir.
Waktu Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, pernah menegaskan Pertamina minatnya mengakuisisi blok-blok migas tersebut. Akuisisi blok-blok migas akan menjadi salah satu terobosan Pertamina untuk mencapai target Nomor 1 di Asia pada 2025. Selain dengan akuisisi, terobosan lainnya dengan cara peningkatan kapasitas kilang minyak, dan efisiensi di berbagai sektor.
“Framework kita dalam jangka menengah dan panjang, berlandaskan pada tiga filosofi, pertama perusahaan energi, di mana apapun yang bisa diolah dan menghasilkan energi, Pertamina harus tampil, mengelola energi tersebut dan menghasilakan produk terbaik dan menjualnya dengan biaya yang efisien,” kata Dwi.
Dwi mengatakan, filosofi kedua, kebijakan subsidi, di mana pemerintah secara bertahap akan mengurangi subsidi. Pertamina harus dapat bersaing dengan pasar terutama pesaing, bagaimana bisa unggul dan tetap kompetitif.
“Filosofi ketiga, membangun sinergi, bagaimana Pertamina harus bisa bersinergi baik dengan anak perusahaan, BUMN lain dan swasta nasional lainnya,” ucapnya.
Dwi yakin, bila berhasil menjalankan ketiga filosofi tersebut, pada 2025 Pertamina bisa menjadi perusahaan kelas dunia. “Di 2025 harus menjadi energy champion (juara) di Asia,” tegas Dwi.
Salah satu cara untuk mencapai cita-cita tersebut, kata Dwi, adalah dengan aktif mengakusisi blok minyak yang sudah habis kontraknya, khususnya blok minyak yang dalam 5 tahun ke depan habis masa kontraknya.
“Seperti Blok Mahakam, dengan akusisi ladang migas di Kalimantan tersebut, kontribusi Pertamina ke negara terhadap produksi nasional mencapai 40%, saat ini baru 23%. Padahal NOC lainnya, seperti Petronas, menyumbang 50% produksi minyak nasional Malaysia,” ungkap Dwi.
Dwi menambahkan, merebut hak kelola Blok Mahakam jadi prioritas utama Pertamina. Tidak hanya Blok Mahakam, Pertamina juga berambisi menjadi operator di blok-blok migas yang habis masa kontraknya. Alasannya, pengelolaan blok migas tersebut membantu Pertamina memperbesar porsi bisnis hulu Pertamina yang saat ini masih rendah atau hanya 23 persen.
“Kita berharap pemerintah akan memberikan dorongan atau kepercayaan untuk Pertamina mengambil berbagai sumur yang mau habis masa kontraknya,” ujar Dwi.
Akhir Februari 2015 kemarin, Pertamina bahkan dikabarkan telah merampungkan proposal pengembangan Blok Mahakam. Proposal ini berisi pengembangan Blok Mahakam pasca kontrak Total EP Indonesie habis di 2017. Nmaun sayang Dwi sudah tidka di pertamina lagi. Dan semoga impian itu bisa diwujudkan.
Waktu itu bahwa Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, dirinya telah mendapatkan laporan dari Pertamina terkait proposal Blok Mahakam yang sudah final dan akan dibahas bersamaan dengan skema yang sudah dibuat oleh pemerintah.
Setelah menerima proposal pengembangan dari Pertamina, menurut Sudirman, akan ada pertemuan terkait pengambilalihan Blok Mahakam dengan Kementreian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto memang sempat menyatakan Pertamina berniat untuk mengambil 100 persen pengelolaan blok tersebut. Dan untuk merealisasikan rencana tersebut, dia memperkirakan Pertamina membutuhkan dana hingga US$ 1 miliar atau sekitar Rp 12,6 triliun.
Optimisme dalam mengelola blok-blok seperti Blok Mahakam, Siak, Rokan, dan lainnya juga ditunjukan oleh segenap jajaran PT Pertamina. “SDM yang jelas kita sudah siap, baik secara kualitas maupun kuantitas, di onshore maupun di offshore. Sebagai ilustrasi, saat ini SDM PHE WMO offshore, PHE ONWJ offshore, dan PHE Tuban onshore sudah mulai menambah produksi minyaknya,” ujar Sugeng Haryanto, Juru bicara Pertamia Hulu Energi sebelumnya.
Sedang Dody Prambodo, Direktur Operasi Pertamina EP juga tampak optimistis. “Secara teknologi eksplorasi kita nggak ada masalah, teknologi untuk pengelolaan migas kan bisa dibeli. Kemudian pendanaan, jangan lupa untuk fuel production itu kan kita investasi, dan pada saat yang sama kita sudah menerima hasilnya, saya rasa ini sesuatu yang bankable, coba tanyakan konsorsium perbankan nasional, mereka kan dari pada menyalurkan kredit konsumerisme lebih baik untuk investasikan ke industri migas, menambah nilai tambah ekonomi,” papar Dody.
Pertamina mampu?
Bagi beberapa orang yang paham betul jeroan Pertamina, perusahaan tersebut belumlah sekuat yang dibayangkan. Diantara kelompok ini adalah pejabat, mantan pejabat, juga mantan petinggi Pertamina sendiri. Mereka paham betul sebatas mana kemampuan Pertamina.
Jusuf Kalla termasuk satu diantaranya. Dia mengingatkan, Pertamina jangan membabi buta mengelola blok-blok migas yang akan berakhir kontraknya. Bila terlalu bernafsu tanpa pertimbangan matang, justru impor minyak nanti bisa makin tinggi dan membuat subsidi energi juga makin besar.
“Kalau kita membabi buta, mengambil semua tapi tidak dikerjakan, nanti impor minyak malah semakin tinggi, subsidinya juga makin tinggi. Ini penting untuk introspeksi kita semua, jangan nanti jadi bumerang,” ujar Jusuf Kalla, di seminar “Penguasaan Negara atas Blok-blok Migas Habis Masa Kontrak” di DPR, sebelum ia dilantik menjadi Wakil Presiden mendampingi Jokowi.
Menurut JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, memang mengedepankan nasionalisme dalam pengelolaan blok migas itu penting. Namun di sisi lain, Pertamina juga harus terus mempersiapkan diri untuk mengelola seluruh blok migas di Tanah Air mengingat modal Pertamina juga tidak sekuat perusahaan migas asing seperti Shell, Total, Chevron, dan sebagainya.
JK mencontohkan, kini setelah Pertamina sudah dipersilakan masuk di Blok East Natuna (dulu Natuna D-Alpha) di Kepulauan Riau, tetap saja Pertamina belum juga memulai kegiatan eksplorasi di sana.
Padahal, pemerintah telah secara resmi menunjuk Pertamina sebagai pengelola Blok East Natuna melalui Surat Menteri ESDM No.3588/11/MEM/2008 tertanggal 2 Juni 2008 tentang Status Gas Natuna D-Alpha, yang sebelumnya blok itu dikelola Exxon. Kontrak Exxon di blok itu sudah diputuskan oleh pemerintah pada 2005.
Suara meragukan juga datang Mantan Direktur Utama Pertamina, Ari Sumarno. Untuk mengelola Blok Mahakam saja, kata Ari, saat ini Pertamina masih belum mampu. Butuh penguasaan teknologi, kebijakan, serta kepemimpinan yang kuat untuk mengelola blok migas dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan cadangan gas tersisa 27 triliun cubic feet (tcf) tersebut. Dan, Pertamina belum mampu untuk itu.
“Karena tanpa penguasaan yang kuat maka nasionalisme hanya retorika belaka,” kata Ari. Melihat kemampuan Pertamina, imbuhnya, jangan hanya dilihat dari sisi kemampuannya dalam meningkatkan produksi saja. Sebagai oil company harus dilihat seberapa besar Pertamina telah menguasai cadangan migas.
“Ini hal prinsip yang harus terbukti terdapat pada perusahaan minyak manapun di dunia tidak terkecuali bagi Pertamina,” kata Ari.
Dari sisi keuangan, mampukah Pertamina merealisasikan ambisinya? Mari kita hitung.
Kita tahu setiap tahun Pertamina membukukan laba di bawah Rp 30 triliun. Tahun 2012 mencetak laba Rp25,89 triliun atau sekitar US$2,76 miliar. Jumlah ini naik sekitar 14,7% dari pendapatan tahun 2011 yang sebesar US$ 2,398 miliar.
Tahun 2013 Pertamina menargetkan laba sekitar US$ 3,05 miliar atau sekitar Rp 33,5 triliun. Sementara tahun 2014 Pertamina memasang target laba bersih sebesar US$ 3,44 miliar (Rp 37,8 triliun) yang akan diperoleh dari pertumbuhan agresif semua lini dari hulu hingga hilir. Pertamina juga menargetkan pertumbuhan aset konsolidasi sebesar US$ 52,6 miliar atau naik sekitar 13% dari tahun ini.
Laba itu masih harus disetorkan ke negara sebesar 2/3 dari total keuntungan. Jelas, angka ini tidak sebanding dengan rencana-rencana besar Pertamina.
Sementara dari sisi kewajiban, utang Pertamina sudah menggunung. Ikhtisar laporan keuangan Pertamina 2012 menunjukan, rasio utang terhadap modal (Debt to Equity Ratio / DER), pada tahun 2012 sudah mencapai 67,05%. Jumlah DER 2012 ini naik dari 2011 yang sebesar 55,15%, 42,43% (2010), 27,25% (2009), dan 15,45% (2008).
Pada 2012, rasio utang jangka pendek Pertamina terhadap modal (Short Term to Equity Ratio) mencapai 27%, naik dari periode 2011 yang sebesar 24,18%, 18,5% (2010), 10,39% (2009), dan 8,35% (2008).
Utang Pertamina akan bertambah besar, mengingat pembiayaan ekspansi ke luar negeri untuk akuisisi-akuisisi ini akan menggunakan utang kembali melalui penerbitan surat utang global (Global Bonds). Pada Mei 2013, BUMN ini menjual global bonds senilai US$ 3,25 miliar atau setara Rp 30,8 triliun. Obligasi diterbitkan dalam dua seri, dengan masing-masing bernilai US$ 1,625 miliar.
Bila tak dihitung cermat, hal ini akan menimbulkan beban besar bagi Pertamina, yang berujung pada cashflow yang tidak sehat. Menurut Ari, Pertamina harus bisa mengukur diri. Jangan sampai, niat besar dibuntuti dengan beban yang makin besar yang tidak efisien.
Boleh saja Pertamina mengejar ketinggalan dari kompetitor sekaligus mantan murid: Petronas. Namun, tetap harus diukur dengan kemampuan yang memadai. Dari sisi keuangan, Pertamina juga masih kalah jauh dibanding Petronas, BUMN migas milik Negeri Jiran Malaysia. Petronas pernah belajar jadi perusahaan minyak nasional (Nasional Oil Company/NOC) dari PT Pertamina (Persero). Tapi kini, Petronas mampu menjadi perusahaan migas raksasa dengan memberikan kontribusi sangat besar kepada pemerintahnya.
Pada tahun 2012, Petronas mampu menyetor dana ke Pemerintah Malaysia hingga Rp 190 Triliun, jauh lebih tinggi daripada sumbangan Pertamina ke pemerintah Indonesia Rp 7,7 triliun. Pada 2012, total laba Pertamina sekitar 25,89 triliun. Sumbangan Petronas itu setara 40% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Malaysia. Bandingkan dengan setoran Pertamina yang hanya 1,6% dari total APBN Indonesia.
Dari sisi kinerja, pada periode 2012 Pertamina jauh ketinggalan dibanding perusahaan sejenis di negara lain. Pada periode tersebut, BUMN migas Malaysia, Petronas, mencatatkan kenaikan pendapatan hingga 700% alias tujuh kali lipat dibanding 2011. Angka yang sama ditorehkan Petrobras, raksasa energi Brasil yang juga mencatatkan kenaikan pendapatan hingga tujuh kali lipat.
Kemampuan Pertamina memang sepintas bisa dilihat dari penguasaan dan produksi migasnya. Saat ini, Pertamina menguasai 47% ladang migas Indonesia. Namun, hasilnya belum optimal lantaran masih banyak lapangan migas yang nganggur. Akibatnya, produksi migas Pertamina hanya menduduki posisi nomor 3 di bawah Total E&P Indonesie dan Chevron Pacific Indonesia.
Sesuai estimasi lifting migas pemerintah, Total E&P Indonesie dengan wilayah kerja Mahakam dan Tengah menjadi produsen terbesar dengan produksi 382,2 ribu barel setara minyak per hari. Lalu Chevron Pacific Indonesia di wilayah kerja Rokan dan Siak dengan estimasi produksi migas 335 ribu barel setara minyak per hari. Sementara Pertamina EP dengan wilayah kerja seluruh Indonesia estimasi produksi migas sebesar 290,3 ribu barel setara minyak per hari.
Untuk mengembangkan blok-blok migas lepas pantai (offshore) di Indonesia, menurut estimasi setidaknya butuh total dana US$ 20 miliar atau mendekati Rp 200 triliun. Menurut laporan keuangan Pertamina, total aset Pertamina hingga 2012 sebesar US$ 40,88 miliar, atau sekitar Rp 388,36 triliun pada kurs Rp 9.500 per US$.
Jadi, untuk mengembangkan blok-blok migas baru di Indonesia saja membutuhkan modal separuh dari aset Pertamina. Kemampuan belanja modal dan investasi Pertamina juga sangat minim. Pertamina hanya menganggarkan belanja modal US$ 10 miliar untuk investasi 5-10 tahun ke depan, bandingkan dengan Petronas dengan belanja modal US$ 96 miliar.
Pada tahun 2012, menurut laporan keuangan, investasi jangka panjang Pertamina untuk keperluan pengembangan blok-blok migas baru hanya sebanyak US$ 103,413 juta, atau sekitar Rp 984,4 miliar alias tidak ada Rp 1 triliun. Kecil sekali.
Padahal, saat ini Indonesia memiliki 138 cekungan minyak. Dari jumlah tersebut, baru 38 cekungan yang sudah dieksplorasi. Sembilan puluhnya belum dieksplorasi. Potensinya masih sangat besar, namun jumlah pastinya belum bisa dipastikan.
Akibat masih dominannya unsur ketidakpastian dalam eksplorasi, risikonya sangat besar. Investasi gendut bisa saja menguap tak berbekas. Sebagai gambaran, total kerugian dana eksplorasi minyak yang menguap sekitar US$ 2 miliar dalam dua tahun terakhir. Itu sebabnya, unsur kehati-hatian dan unsur spekulasi dalam eksplorasi minyak sangat beda tipis.
Jangankan Pertamina, dana APBN yang saat ini berkisar Rp 1.400 triliun hingga Rp 1.500 triliun saja, belum sanggup untuk membiayai pengembangan blok-blok migas baru. Jadi, intinya Pertamina butuh kapital besar. Kedua, teknologinya itu sangat advanced, ketiga risikonya sangat besar.
Dari sisi utang, Pertamina punya kewajiban yang besar. Secara makro, data terakhir sampai dengan bulan Agustus 2014 menunjukkan porsi utang luar negeri swasta adalah 53,78% dari total utang luar negeri di Indonesia. Sementara utang luar negeri pemerintah hanya 43,43% dan Bank Indonesia 2,79%. Dan ini yang cukup mencengangkan, lebih dari 80% utang luar negeri swasta dilakukan oleh kelompok non-bank. PLN dan Pertamina menjadi BUMN peminjam terbesar dalam utang luar negeri tersebut.
Posisi utang luar negeri swasta yang lebih besar daripada utang luar negeri pemerintah sejak tahun 2012 sampai dengan update terakhir Agustus 2014 ini, sama seperti porsi utang ketika terjadi krisis tahun 1998. Saat itu, posisi utang luar negeri swasta dibandingkan dengan utang luar negeri pemerintah pada tahun 1997 dan 1998 masing-masing perbandingannya adalah 60:40 dan 55:45.
Dalam laporan keuangan per Juni 2014, disebutkan utang Pertamina melonjak 21,15% menjadi US$8,68 miliar, dari sebelumnya US$7,185 miliar. Aset Pertamina hingga 30 Juni 2014 mencapai US$51,91 miliar, naik dari sebelumnya US$49,34 miliar.
Total liabilitas Pertamina hingga paruh pertama tahun ini mencapai US$34,18 miliar, naik dari sebelumnya sebesar US$32,05 miliar. Sedangkan ekuitas tercatat mencapai US$17,72 miliar dari sebelumnya US$17,28 miliar.
Dengan kata lain, sebetulnya keuangan Pertamina sangat seret. Ini diakui sendiri oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Dana yang dimiliki PT Pertamina (Persero) terbatas untuk investasi dan pengembangan usaha. Karena itu Pertamina meminta pemerintah membayar utang untuk meningkatkan keuangan perseroan.
Dwi memaparkan, dampak dari seretnya keuangan tentu saja mengganggu rencana investasi dan rencana pengembangan usaha milik perseroan.
“Di cash-nya agak seret, nafasnya juga ngos-ngosan. Dengan posisi global bond yang kita punyai, memang kita hadapi tekanan di sana,” ujar Dwi dalam sebuah sambutannya pada acara Refining Day di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta.
Dengan posisi keuangan yang sulit, bos anyar Pertamina itu menagih utang pemerintah sebesar Rp 46 triliun dari penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang belum dibayar.
Itu sebabnya, dari relung hati terdalam, sebetulnya pemerintah tak salah bila masih ada keraguan terhadap Pertamina. Pemerintah pesimis Pertamina bakal mampu mengelola blok Mahakam jika Pertamina tidak menggandeng Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lain. Pasalnya, dari kesiapan dana maupun teknis, Pertamina dinilai tidak akan mampu mengelola 100 persen Blok Mahakam.
Mengenai kemungkinan pengelolaan 100% oleh Pertamina, Pelaksana Tugas Dirjen Migas Naryanto Wagimin justru meragukan hal itu. Dirinya tidak terlalu yakin, pasalnya Blok Mahakam masih membutuhkan investasi yang sangat besar dari pihak asing.
Di tingkat pejabat teknis semacam Naryanto, keraguan bisa saja muncul. Namun, di tingkat pengambilan keputusan pusat di tangan Jokowi, tetap akan ada muatan politis. Angin bisa berubah kapan saja. Bukankah sudah bukan rahasia lagi bila para pejabat kita mudah masuk angin? Apapun itu, keputusan final ada di genggaman Jokowi.
Nah saran kami Pertamina fokus saja dan yakinkan publik agar perusahaan plat merah ini kuat, bukannya mau mengalahkan Petronas dan Pertamina ingin masuk Fortune 500. Jadi kelas Dirut itu memang harusnya lobby dunia energy dan jaga reputasi, bukan urus soal diskon dan hal remeh temeh.
Agar yang seperti ini tak terjadi lagi, maksudanya tagar #TaiLuPertamina maka, hindarilah dugaan skandal tingkat kadal yang mainkan akal-akal cash back itu. Dan saat ini kita harusnya tunggu dan kawal apa sih langkahnya saat harga mintak dunia anjlok, jangan sampai dunia energi kita keteteran dan malu dipublik lokal maupun dunia. Tabik!***
AENDRA, HERMANA, SUN, RNZ, RI dan WD (TIM & DATA ENERGY WORLD INDONESIA)
https://mobile.twitter.com/donadam68/status/1256857770885709824