ENERGYWORLD.CO.ID – Dengan telah ditetapkan nilai ICP (Indonesia Crude Price) adalah USD 20,66 perbarel oleh Keputusan Menteri ESDM nomor 95 K/12/MEN/2020 pada 8 Mei 2020, maka itulah menjadi patokan dasar perhitungan kontrak migas di Indonesia. ICP digunakan untuk menghitung pendapatan dan perhitungan pengembalian investasi, biaya operasi dan over head kontraktor atau cost recovery. Pada umumnya di kontrak PSC para pihak seperti SKK Migas dan KKKS berbagi minyak atau inkind.
Beberapa KKKS ( Kontraktor Kontrak Kerja Sama ) seperti Chevron, British Petroleum, Exxon Mobil, Petrocina, Medco dan Pertamina dan lainya berbagi hasil dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas.
Namun penetapan angka ICP kita juga masih dianggap kontroversial oleh banyak pihak, karena ditetapkan selain mengacu ke harga dated brent, tetapi tidak memperhitungkan bahwa Pertamina memiliki kilang yg merupakan pembeli terbesar dan terdekat crude oil yang diproduksikan di Indonesia.
Merupakan suatu kejanggalan, ICP atau OSP ( Official Seling Price) Indonesia ditetapkan dengan mengacu pasar Eropa dengan crude referensi yg diproduksikan di Norwegia. Karena penetapan OSP bukan hanya sekedar dari crude assay, tetapi market dan pembeli harus diperhitungkan juga.
Sehingga sampai saat ini nilai ICP yang menganut Brent ditetapkan itu lebih dianggap menguntungkan KKKS. ICP condong under value, sehingga Indonesia harus membagi jumlah minyak yang lebih besar untuk cost recovery. Bahkan dalam kondisi harga minyak seperti saat ini, maka hampir semua minyak yang diproduksikan hanya digunakan untuk membayar cost recovery. Indonesia atau SKK Migas hanya mendapatkan kurang dari 10% minyak yg diproduksikan.
Seharusnya kita tidak boleh hanya menerima bagi hasil di FTP ( First Tranche Petroleum) atau bagi hasil yang kecil atau reveneu yang tidak digunakan untuk perhitungan bayar cost recovery.
Oleh karena itu, perlu kiranya kementerian ESDM membuka kepublik tata cara penetapan ICP tersebut, agar tidak menimbulkan kecurigaan ada pihak pihak yang mengatur untuk menguntungkan segelintir pihak dan berpotensi merugikan negara.
Diketahui, bahwa rata rata biaya pokok produksi sumur sumur minyak kita di onshore dan offshore berkisar USD 30 hingga USD 35 perbarelnya, maka dengan dipatok harga ICP USD 20,66 perbarel , itu artinya setiap barel minyak yang diproduksi di Indonesia saat harga minyak lagi ambyar, maka negara tekor sekitar USD 10 hingga USD 15 perbarel, maka kalau produksi nasional kita saat ini 700.000 BOPD, maka setiap hari negara dan KKKS bisa tekor sekitar USD 70 juta setiap harinya., sehingga minyak mentah dari sumur kita tak cukup untuk menutup cost recovery.
Sehingga tidak tepat juga alasan Dirut Pertamina diberbagai media menyatakan salah satu faktor belum bisa Pertamina menurunkan harga minyaknya karena dipaksa beli minyak KKKS yang lebih mahal dari minyak import.
Memang ada kewajiban KKKS menawarkan minyak mentahnyaya ke Pertamina terlebih dahulu sebelum dieksport itu diatur oleh Permen ESDM nmr 42 tahun 2018 tentu berbasiskan hubungan bisnis to bisnis, artinya kalau harga yang dipatok KKKS itu ICP +++ ( USD 7 sd USD 12) dan harganya jauh lebih mahal dari harga minyak dipasar dunia dan Singapore, tentu tidak kewajiban bagi Pertamina harus membeli minyak mentah KKKS, kecuali milik bagian negara.
Oleh karena itu janganlah kita sering melakukan sebuah kebohongan untuk menutup kebohongan lainnya, tentu pada saatnya publik bisa mudah mengetahuinya.
Sudah saatnya Direksi Pertamina harus jujur bicara kepublik apa alasan yang paling mendasar belum menurunkan harga BBM Umum sesuai Kepmen 62 thn 2020 sudah berjalan hampir dua bulan, sementara semua negara negara Asean sudah menurunkannya beberapa kali dalam dua bulan belakangan.Jangan jangan Direksi Pertamina lagi menutup ada penyakit akut didalam proses bisnis sebelumnya, seperti akusisi blok migas diluar negeri, kontrak2 panjang LNG dan belum transparannya proses tender di ISC, karena perputaran uang Pertamina hampir 70 % di ISC ( Integrated Supply Chain) dari RKAP tahunan.
Selain itu, suatu hal yang tak lucu dan aneh Lucunya lagi, di negara kita kalau minyak mentah itu diekspor dibebaskan dari pajak, akan tetapi bisa dijual kedalam negeri malah dikenakan pajak, itulah penyebab utama mengapa banyak minyak milik KKKS di eksport selama ini, bahkan minyak Minas dan Duri yang seharusnya sangat dibutuhkan untuk kilang Pertamina, akan tetapi oleh oknum SKK Migas dieksport dan diambil oleh Kernell Oil ditahun 2009 hingga 2012. Padahal di negara lain malah melakukan hal yg terbalik dengan apa yang dilakukan negara kita, contohnya PI Pertamina di Malaysia kalau mau dibawa ke Indonesia akan dikenai pajak 5 – 10 %.
Ironinya negeriku, kesalahan dalam pengelolaan migas yang membuat derita bagi negaraku dan rakyatnya.
Jakarta 13 Mei 2020
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman