ENERGYWORLDINDONESIA – Terhadap 3 alasan utama Pertamina kepada Ombudsman sebagai penyebab harga BBM tidak turun adalah jauh dari kebenarannya, bahkan terkesan menyesatkan.
Maka tidak seharusnya juga tuan Laode Ida atas nama Ombudsman ikut berkomentar seperti LSM, karena atas dasar pemahaman sepihak saja, yakni hanya sepihak dari Pertamina, sehingga bisa menimbulkan pertanyaan publik Ombudsman ini mewakili kepentingan rakyat Indonesia atau kepentingan badan usaha Pertamina?
Malah seharusnya Ombudsman sesuai fungsinya bertindak dan bersikap mewakili kepentingan umum daripada sebuah badan usaha, yaitu serius menelisik apakah telah terjadi maladministrasi dilakukan oleh Pertamina, Shell, Total, AKR dan Vivo dalam menerapkan harga jual BBM umumnya itu telah melanggar peraturan perundang-undang yang berlaku, sehingga rakyat sudah dirugikan.
Apalagi terhadap ketiga alasan yang dikemukan Pertamina itu, hanya yang benar adalah kalau harga BBM diturunkan, maka Pertamina akan terancam kolaps, itu bisa terjadi lebih disebabkan karena proses bisnisnya dari hulu ke hilir telah dikelola selama ini secara tidak efisien, bukan karena harga minyak murah.
Karena kita sebagai negara net importir harusnya dengan harga minyak dunia murah merupakan berkah bagi rakyat Indonesia yang lagi kesulitan daya belinya akibat covid 19, bukan malah jadi perdebatan kenapa harga BBM tidak turun turun.
Sebagai contohnya investasi Pertamina dihulu, seperti membeli PI ( Participacing interest) beberapa blok migas diluar negeri penuh dengan dugaan mark up, bahkan ada blok yang telah dibeli, namun belum setetespun minyak pun bisa dinikmati Pertamina sampai saat ini, padahal sejak tahun 2016 hingga saat ini Pertamina telah mengeluarkan uang sekitar Euro 1 miliar untuk akuisisi dan capex serta opex.
Begitu juga sama dengan soal pembelian PI dari Conoco Philips blok migas di Aljazair yang dugaan mark up cukup kental. Termasuk Pi di perusahaan Murphy Malaysia.
Selain itu, ternyata rerata biaya pokok produksi semua sumur minyak Pertamina berkisar sekitar USD 26 per barel, sehingga ketika harga minyak dunia sdh berada dibawah USD 30 per barel, tentu akan mengancam kondisi keuangan Pertamina secara keseluruhan, sehingga kalau harga minyak murah itu berlangsung lama, maka Pertamina akan berpontensi kolaps adalah sebuah keniscayaan.
Hal tersebut diperparah oleh kinerja kilang Pertamina yang sudah tua dan efisien, sehingga biaya pokok produksi BBM nya menjadi mahal.
Kemudian, ternyata sampai proses pembelian minyak mentah, BBM dan LPG oleh ISC Pertamina belum transparan juga, sehingga masih membuka lobang adanya praktek kongkalikong, pada dasarnya tak seindah yang diucapkan oleh direksinya dan komisaris utamanya Ahok di media.
Sehingga semakin sempurnalah harga dasar produk BBM Pertamina menjadi mahal telah disumbang oleh berbagai proses dari hulu sampai kehilirnya yang tak efisien.
Pertanyaannya adalah, apakah wajar kalau sekitar 250 juta rakyat Indonesia bersedia terus membeli mahal BBM Pertamina, karena telah melanggar aturan yang dibuat oleh Pemerintah sendiri.
Sehubungan katanya minyak milik Pertamina yang ada sekarang dijual, adalah hasil dibeli selagi harga minyak masih mahal adalah pernyataan yang menyesatkan, karena cadangan BBM nasional kita hanya bisa bertahan 21 hari, artinya kalaupun dibeli mahal ketika itu, maka tentu minyak itu sudah habis terpakai pada akhir maret, meskipun alasan beli di waktu masih mahal itu juga menyesatkan, karena dalam sistem transaksi dunia jual beli minyak, tidak seperti beli rokok diwarung yang dibayar ketika rokok itu diambil sesuai harga saat itu.