Oleh : Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST
Saat ini sesuai media on line makin banyak konsumen PLN yg mengeluhkan lonjakan tagihan listriknya. Bahkan mereka menggeruduk kantor PLN Depok ( Tribunnews.com 5 Juni 2020 ).
Alasan PLN persis yg disampaikan DIRUT ketika talkshow tgl 3 Juni 2020 siang di TV CNBC Indonesia, yaitu adanya Covid 19 dan adanya akumulasi tagihan sebelumnya yg belum tercatat.
Alasan2 teknis semacam itu syah syah saja dan logis. Tetapi DIRUT PLN dalam paparan yg hampir 1,5 jam tsb tidak menyinggung sedikitpun perubahan System ketenagalistrikan yg terjadi mulai awal 2020 di Jawa-Bali. Yaitu bahwa kelistrikan sudah tidak dibawah kendali PLN lagi tetapi sdh dibawah System Multi Buyer and Multi Seller ( MBMS ) atau mekanisme pasar bebas kelistrikan.
Bukti sdh terjadinya MBMS itu antara lain :
1). Adanya undangan rapat tgl 5 Mei 2020 dari Ditjend Ketenagalistrikan – ESDM ( dibawah ini ) yg menjelaskan bahwa saat ini jaringan Transmisi dan Distribusi Jawa-Bali sudah di sewa oleh pembangkit2 swasta IPP(Asing dan Aseng) dan ritail ( oknum mantan DIRUT PLN dan TW ). Dan PLN hanya menjadi penjaga Tower dan kabel2 transmisi dan distribusi saja.
2). Menteri BUMN telah instruksikan PLN untk tidak kelola pembangkit lagi ( Tempo 14 Des 2019, General Assembly di Richcarlton 26 Januari 2020, Jawa Pos 16 Mei 2020). Sehingga saat ini pembangkit Jawa-Bali “mangkrak” 15.000 MW ( seharga Rp 150 triliun).
3). Dari kondisi butir 1) dan 2) diatas maka tarip listrik bukan menjadi otoritas Negara lagi spt biasanya (DPR dan Kemen ESDM, dan dilaksanakan PLN ). Tetapi sepenuhnya sdh menjadi kewenangan Kartel IPP dan Ritail itu.
4). Kemungkinan besar Kartel swasta itu tidak hanya menyewa instalasi Transmisi dan Distribusi PLN Jawa-Bali, tetapi juga “menyewa” kantor2 nya sekaligus “isi” nya yaitu peralatan kantor sekaligus karyawan PLN nya. Mengingat saat era oknum DIRUT PLN yg menjual ritail ke Perusahannya dan TW saat itu, ybs juga mengeluarkan SK penugasan seluruh karyawan PLN ke sebuah Anak Perusahaan PLN ( bagian teknik dan administrasi keuangan ) yg diperkirakan untuk mengantisipasi “privatisasi” PLN spt terjadi saat ini.
5). Sehingga proses bisnis saat ini sudah dibawah otoritas perusahaan IPP dan Ritail tsb. Sedang pelaksana teknis (operasional jaringan, administrasi penagihan pelanggan dst ) dilakukan oleh karyawan Anak Perusahaan Ex Karyawan PLN dan Outsourcing.
6). Biaya operasional semuanya ditanggung oleh Kartel IPP dan Ritail Aseng dan Asing itu. Sehingga semua biaya overhead operasional System yg biasanya ditanggung PLN akhirnya harus ditanggung Kartel swasta itu ! Dengan cara menaikkan tarip listrik !
7). Ciri khas perusahaan swasta adalah “Kapitalisme”. Dng pengeluaran sekecil mungkin di usahakan mengeruk pendapatan se besar mungkin !
8). Sbg pengalaman Empiris ( contoh di Philipina ), setelah perusahaan listrik NAPOCOR di “tendang” dan digantikan oleh Perusahaan2 China Jepang, AS,Korea dll maka tarip listrik naik 4 x lipat . Begitu juga di Indonesia ! Kalau tidak dilawan !