Tagihan listrik PLN melonjak: Kisah tukang las di Malang yang tagihannya melonjak hingga Rp20 juta, hingga isu ‘kenaikan tarif diam-diam’
Lonjakan tagihan listrik yang dialami sebagian anggota masyarakat di Indonesia memunculkan pertanyaan tentang keterbukaan dan kemampuan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mensosialisasikan kebijakan.
Sejak awal Juni lalu, sejumlah konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tagihan listriknya melonjak dan bahkan ada yang naik hingga melebihi 100%.
Di kota Malang, Jawa Timur, seorang pengusaha las mengaku tagihan listriknya naik menjadi Rp20 jutaan, padahal bulan-bulan sebelumnya berkisar dua jutaan.
Belakangan PLN menyebut kasus ini akibat kerusakan alat kapasitor milik konsumen.
Ada pula sejumlah konsumen yang mengeklaim ada kesalahan pada PLN dalam penghitungan pemakaian listriknya, karena lonjakannya yang dianggap tidak wajar.
Dalam sepekan ini, pimpinan PLN dipaksa bekerja keras untuk menjawab berbagai keluhan, termasuk mengklarifikasi isu bahwa lonjakan tagihan itu lantaran pemerintah secara diam-diam menaikkan tarif listrik atau hal ini merupakan bagian dari strategi subsidi silang.
PLN menyebut kebanyakan kasus lonjakan tagihan listrik karena kenaikan volume penggunaan oleh konsumen di tengah pandemi Covid-19 dan kebijakan PSBB.
Kebijakan pembatasan sosial, menurut PLN, juga membuat petugas PLN yang mencatat meteran tidak menjalankan fungsinya, sehingga PLN secara mendadak memutuskan melakukan penghitungan secara rata-rata dalam tiga bulan, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan.
Berikut tujuh hal yang patut Anda ketahui seputar lonjakan tagihan listrik dan berbagai pertanyaan yang mengiringinya;
Apa yang terjadi pada ‘tukang las di Malang’ yang tagihan listriknya melonjak Rp20 jutaan?
“Entah, pakai apa kami untuk melunasinya?” Teguh Wuryanto, pengusaha UMKM yang bergerak di bidang las di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, saat mengetahui tagihan listriknya melonjak sekitar Rp20 jutaan pada April lalu.
Teguh menganggap lonjakan itu tidak wajar, karena tagihan pada bulan-bulan sebelumnya sekitar dua juta rupiah.
Dia sempat menanyakan hal itu ke kantor PLN setempat, namun dia diminta melunasinya.
Sempat disegel lantaran tak mau melunasi, Teguh kemudian mengeluarkan uneg-unegnya di Facebooknya, Rabu (03/06), dan mendapat tanggapan yang luas.
Berbagai media lalu melaporkan apa yang dialami tukang las di Malang ini, dan secara bergelombang sejumlah konsumen PLN yang mengaku mengalami lonjakan tagihan listrik lalu bersuara.
Apa tanggapan PLN atas keluhan tukang las di kota Malang
Dalam klarifikasi tertulisnya, Rabu (10/06), PLN UP3 Malang mengatakan, bahwa pihaknya telah melakukan konfirmasi terhadap Teguh Wuryanto, pelanggan PLN yang mengaku lonjakan tagihan “tidak wajar”.
Berdasarkan data PLN, lonjakan tagihan tersebut tidak ada hubungannya dengan perhitungan rata-rata tiga bulan untuk rekening April dan Mei, yang berakibat pada naiknya tagihan listrik di mayoritas pelanggan rumah tangga.
PLN UP3 Malang mengaku telah memeriksa dan hasil konfirmasi dengan pelanggan, diketahui bahwa peralatan kapasitor milik pelanggan tidak berfungsi sama-sekali dan mengakibatkan pemakaian listrik melonjak tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.
“PLN telah membantu melakukan pengecekan peralatan dan instalasi pelanggan, agar hal ini tidak terjadi di kemudian hari,” kata manager PLN UP3 Malang, Mohammad Eryan Saputra, seperti tercantum dalam situs resmi PLN Distribusi Jawa Timur, 10 Juni 2020.
Disebutkan bahwa Teguh Wuryanto bersedia menyelesaikan tagihan rekening yang naik dikarenakan kejadian tersebut.
“Dan PLN bersedia membantu dengan memberikan keringanan pembayaran dengan cicilan.”
Di tempat terpisah, Kamis (11/06), dalam diskusi daring yang difasilitasi YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril mengatakan, penggunaan listrik untuk kegiatan industri las milik Teguh memiliki apa yang disebutnya sebagai “kapasitor”.
“Kapasitor itu digunakan untuk mengkompensasi supaya untuk memenuhi tarif KPRH untuk industri. Itu selisih yang harus dibayar kompensasinya, karena PLN menanggung beban. Itu ada harganya.”
Menurutnya, alat kompensasinya (milik pelanggan) rusak dan pemiliknya tidak menyadari alat tersebut rusak. “Dan alat ukur PLN sudah benar.”
Mengapa tukang las di Malangmau melunasi tagihan?
Dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (11/06), Teguh Wuryanto mengaku dia akhirnya mau membayar tagihan listrik yang membengkak sedemikian besar sampai sekitar Rp20 juta karena “usaha saya bengkel UMKM, saya sangat membutuhkan listrik – listrik adalah bahan baku saya”.
Dan lagi pula, “hanya PLN yang menyediakan listrik nasional,” tulisnya dalam pesan Whatsapp yang diterima BBC News Indonesia, Kamis sore.
“Jika saya membeli genset, harga genset dengan kapasitas di atas 23KVA yang bekas saja, harganya 40 jutaan, lebih mahal dari tagihan PLN saya [yang harus saya bayar], dan beli genset tidak bisa mencicil,” jelas Teguh.
“Belum lagi masalah bahan bakar dan perawatannya.”
Dia juga mengakui solusi cicilan yang ditawarkan PLN merupakan paling sederhana dan singkat, sehingga saya bisa cepat bekerja lagi secara normal.
“Saya tidak boleh egois memikirkan diri saya sendiri, saya juga harus memikirkan anak buah saya yang menjadi tanggung jawab saya,” ungkapnya.
Dalam keterangannya, Teguh menjelaskan alasannya “berkeluh kesah” di Facebook yang kemudian viral.
“Saya hanya ingin mengedukasi PLN agar kinerjanya lebih baik dan sempurna.”
Teguh kemudian mengimbau kepada PLN agar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pelanggannya terkait penggantian meteran digital.
Alasannya, “tidak semua pelanggan mengerti tentang listrik”.
Kisah konsumen PLN di Jakarta: ‘Kenaikan Rp600.000 itu dari mana?’
Tidak lama setelah pemberitaan tentang ‘tagihan listrik tukang las di Malang’ yang meloncak, sejumlah konsumen PLN lainnya mengaku mengalami yang sama, termasuk di Depok yang diwarnai protes beberapa konsumen yang mendatangi kantor PLN setenpat.
Di Jakarta, seorang pelanggan PLN bernama Kartika, dalam diskusi daring yang difasilitasi YLKI, Kamis (10/06), mengaku pada Senin, 15 Juni lalu, dia mengadu ke PLN di wilayah Marunda, Jakarta, terkait tagihan listriknya yang melonjak dalam dua bulan terakhir.
“Saya ditanya harga per KWH, adalah Rp1.352. Saya mendapat angka pada 299. Ketika 299 dikalikan dengan tarif listrik yang dinfo yaitu 1.352, maka akan ada hasil Rp400 ribuan,” ungkap Kartika.
“Tapi tagihan kami mencapai Rp560.000. Untuk dua bulan, tagihan kami naik menjadi Rp1,560,000.
“Kalau dihitung berdasarkan data yang diberikan PLN, dari bulan April, itu dihitung rata-rata. Stand sebelumnya 6056, dan untuk Mei, di 7038, dan otomatis ketika kita hitung per KWH, itu hanya Rp1,1 juta.
“Jadi kenaikan Rp600.000 itu dari mana? … saya ingin bicara dengan data saja,” ujar Kartika, melalui diskusi daring, Kamis (11/06).
Dia mengaku kesulitan saat menanyakan hal itu kepada pihak PLN di dekat kediamannya. “Saya dihadapkan security. Dibilang tidak ada pelayanan, dan diminta hubungi telpon 123, tapi responsnya lama,” akunya.
Atas keluhan ini, YLKI meminta PLN di Marunda untuk menindaklanjuti tentang ‘versi perhitungan’ yang berbeda antara konsumen dan PLN.
Adapun Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril, Kamis (11/06), berjanji akan menindaklanjuti keluhan konsumen bernama Kartika tersebut.
Apa tanggapan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)?
Pimpinan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengharapkan konsumen yang alami lonjakan tagihan listrik segera mengklarifikasi ke PLN.
“Kalau mengalami lonjakan 50-200%, kami sarankan cepat melapor ke call center PLN atau media sosial,” kata Tulus dalam konferensi video, Kamis (11/06).
“Jangan biarkan tagihan melonjak tanpa diklarifikasi,” katanya.
Apabila klarifikasi itu dilakukan, lanjutnya, masalah lonjakan itu bisa segera ditangani PLN.
Namun menurutnya, YLKI banyak menerima keluhan konsumen yang mengalami kesulitan ketika ingin melaporkan kasusnya melalui call center 123 atau akses lainnya.
“Ini menunjukkan kanal pengaduan yang ada belum optimal untuk mewadahi pengaduan konsumen,” katanya.
Tulus lebih lanjut meminta PLN melakukan sosialisasi dan membuka lebih luas layanan pengaduan kepada konsumen yang mengalami lonjakan tagihan itu.
Dengan demikian, menurutnya, konsumen dapat memahami persoalan dan latar belakang penyebabnya, dan mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Mengapa ada lonjakan tagihan listrik? Berikut jawaban PLN
PLN menjelaskan ada tiga hal yang menyebabkan tagihan listrik melonjak di tengah pandemi Covid-19, yaitu kebijakan bekerja di rumah, ramadan dan kebijakan pencatatan rata-rata meteran.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril mengatakan, selain faktor Ramadan, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat masyarakat lebih banyak bekerja di rumah, sehingga banyak mengkomsumsi listrik.
“Bulan Maret akhir, tepatnya minggu tiga dan empat, mulai berlaku PSBB, dan ada rekomendasi stay at home,” kata Bob Saril dalam diskusi daring, Kamis (11/06).
“Dengan pola ini, banyak pelanggan membawa alat kerja ke rumah yang sebagian besar membutuhkan peralatan listrik,” tambahnya.
Dari asumsi inilah, menurutnya, lonjakan kenaikan tagihan itu “murni disebabkan oleh pemakaian akibat covid-19”.
Lantaran PSBB pula, PLN menghentikan aktivitas pencatatan oleh petugasnya ke setiap rumah pelanggan pascabayar agar tidak berisiko terpapar, katanya.
“Kita memutuskan pencatat meter kita tidak mencatat ke rumah-rumah,” kata Bob.
Karena PLN tidak melakukan pencatatan pemakaian pada tagihan April dan Mei, menurut Bob, mereka memutuskan kebijakan “penghitungan rata-rata selama tiga bulan”.
“Jadi apa penyebab kenaikan tagihan tarif? Ya, karena kenaikan pemakaian. Nah, kenapa seolah-olah melonjak tinggi, karena itu tadi, kita menghitungnya rata-rata tiga bulan,” paparnya.
Apa pengertian penghitungan ‘rata-rata tiga bulan sebelumnya’?
Lebih lanjut Bob Sahril mengatakan, tagihan tarif listrik naik beberapa bulan terakhir karena adanya pengalihan (carry over) biaya lebih yang seharusnya dibayar konsumen.
Karena petugas PLN tidak bisa melakukan pencatatan meter ke rumah pelangga, maka tagihan April dan Mei, mereka menggunakan mekanisme pencatatan rata-rata tiga bulan sebelumnya.
“Kita melakukan rata-rata pembacaan tiga bulan ke belakang untuk dapat angka stand meter pada Maret untuk tagihan April. Jadi kita minta rata-ratanya Desember, Januari dan Februari,” kata Bob.
Dia mencontohkan, rata-rata penggunaan listrik pada Desember-Januari-Februari 100 kWh, tetapi karena ada kebijakan kerja dari rumah (work from home, WFH) pada Maret, maka konsumsi listrik naik diasumsikan menjadi 120 kWh.
“Tapi PLN menghitungnya masih berdasarkan rata-rata konsumsi yakni 100 kWh, kelebihan 20 kWh-nya belum dihitung”.
Ditambah konsumsi listrik di bulan April yang tanpa disadari membengkak, karena satu bulan WFH, demikian dicontohkan Bobo, maka menjadi 140 kWh.
Namun PLN juga masih menghitungnya berdasarkan rata-rata yakni 100 kWh. “Berarti ada lebih 60 kWh yang belum dihitung,” ujarnya.
“Nah, di bulan Mei ini, PLN mulai mencatat meteran ke rumah pelanggan, misalnya konsumsi listrik pelanggan di bulan Mei 140 kWh ditambah carry over (pengalihan) yang belum terhitung 60 kWh.
“Maka pelanggan harus membayar tagihan dengan pemakaian 200 kWh sehingga lonjakan tagihan 200% tidak terhindarkan.
“Sehingga kalau kita lihat mulai rekening April ke Juni dari sebelumnya bayar 100 ini jadi 200. Dikalikan tarifnya kenaikannya 200%. Inilah yang terjadi pada masyarakat,” papar Bob.
Apakah PLN berhak mengeluarkan kebijakan penghitungan rata-rata tiga bulan?
Dalam diskusi daring yang difasilitasi YLKI, seorang wartawan menanyakan apakah keputusan PLN mengeluarkan kebijakan penghitungan rata-rata tiga bulan itu sudah dikonsultasikan pemerintah dan apa dasar hukumnya.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril mengatakan hal itu “tidak ada aturannya”.
“Ini adalah pola bisnis biasa antara PLN dan pelanggan,’ kata Bob.
Menurutnya, kalau ada aturan yang mengaturnya, maka PLN “harus konsultasikan” dengan pemerintah.
Ditanya apa dasar hukumnya sehingga PLN memutuskan penghitungan rata-rata tiga bulan, Bob mengatakan dasar hukumnya adalah kebijakan PSBB terkait covid-19.
“Kalau tidak menuruti saran pemerintah, waduh cilaka,” katanya.
Wartawan juga bertanya mengapa PLN memakai waktu tiga bulan untuk penghitungan rata-rata, tidak enam atau setahun, misalnya.
“Kita lihat the best practice di dunia. Kalau memang tidak ada aturan, kita lihat di dunia seperti apa. Itu kebenaran umum,” ujarnya.
“Di luar negeri, tetangga kita, di mana-mana, seperti itu. Maka itu yang kita ambil. Itu rata-rata tiga bulan,” tambah Bob.
Bob mengakui putusan ini mendadak: “Covid-19 itu tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, dan keputusannya itu sangat singkat sekali, karena kita mengikuti pemerintah supaya stay at home.”
Bagaimana respons PLN dan pemerintah atas isu ‘kenaikan tarif listrik’ dan ‘subsidi silang’?
Pimpinan YLKI Tulus Abadi, dalam diskusi daring, meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklarifikasi isu bahwa lonjakan tagihan itu lantaran pemerintah secara diam-diam menaikkan tarif listrik atau hal ini merupakan bagian dari strategi subsidi silang.
Direktur Bisnis dan Usaha Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra Wahyudi, mengatakan tidak ada manipulasi tagihan listrik dan tidak ada subsidi silang seperti yang ramai diisukan.
Dia juga menegaskan, adanya kasus-kasus lonjakan tagihan listrik, bukan lantaran pemerintah menaikkan tarif listrik secara diam-diam.
Menurutnya, tarif dasar listrik tidak mengalami penyesuaian sejak 2017.
“Fakta tarif listrik tetap, sudah jelas, tidak ada manipulasi pemakaian, tidak ada subsidi silang,” kata Hendra Wahyudi dalam diskusi daring.
Mengapa PLN dikritik karena menempatkan konsumen mampu memahami mekanisme penghitungan tarif?
Dalam bagian lain diskusi daring pada Kamis, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril meminta agar konsumen bersikap proaktif dalam menghitung pemakaian listriknya.
“Kita harap para pelanggan mencatat sendiri dan mengirim lewat WA sendiri setiap tanggal 24 dan 27, dan nantinya ada konfirmasi (dari PLN),” kata Bob.
Hal ini perlu dilakukan konsumen sehingga dapat meminimalisir kemungkinan ada kesalahpahaman dalam proses penghitungan meteran.
“Nah, meteran itu ada di rumah peklanggan, artinya transaksi bisa dilihat langsung oleh pelanggan, bisa dihitung atau difoto, lalu dikalikan 30, nanti dicocokkan dengan sistem penghitungan PLN,” katanya.
Bob menekankan hal itu setelah ada klaim dari sebagian pelanggan yang menganggap ada kesalahan penghitungan pada pihaknya.
“Artinya mudah menghitung tenaga listrik, tidak ada yang tidak transparan. Harga tarif jelas dan sudah dipublikasikan, ada angka meteran, dan dirumah dan bukan di PLN,” jelasnya.
Apakah masyarakat bisa mengetahui ‘proses bisnis’ di internal PLN?
Indah Sukmaningsih, mantan ketua YLKI dan konsumen PLN, mengatakan tidak semua konsumen memiliki pemahaman yang sama tentang penghitungan tarif.
Menurutnya, PLN tidak memahami gambaran konsumen yang diminta menghitung sendiri angka-angka di dalam meteran.
Indah menganggap tidak semua konsumen memahaminya.
“Masya Allah, itu kan setingkat Pak Tulus (ketua YLKI), lah jutaan (konsumen PLN) lainnya enggak tahu. Jadi berapa lama dibutuhkan pengumuman-pengumuman seperti itu,” kata Indah.
Lalu dia bertanya, “Jika terjadi perbedaan antara pengukuran konsumen dan PLN, siapa yang diakui?”
Indah juga menanyakan bagaimana PLN menindaklanjuti pengaduan konsumen terkait lonjakan tagihan listrik.
“Apakah YLKI boleh melihat proses bisnisnya? Seperti apa? Jadi, enggak selalu salah konsumen,” ujarnya.
Indah juga menanyakan apa yang disebut product knowledge, seperti apa itu pengertian per KWH dll. “Itu kan konsumsi untuk Pak Tulus. Rakyat, yang menjadi konsumen PLN, tidak seperti Pak Tulus semua.”
Menilik beberapa kasus yang dialami konsumen yang ditolak petugas keamanan di kantor PLN, Indah menganggap hal itu seharusnya dianggap sebagai instrospeksi bagi PLN.
“Jadi, apakah saya diizinkan untuk melihat pengaduan-pengaduan masyarakat konsumen, bagaimana PLN menganalisa komplain masyarakat,”
“Supaya ketahuan, apakah proses bisnisnya benar, mau mengumumkan covid-19, mendadak sudah berlaku.”
Tentang proses bisnis PLN, Bob mempersilakan konsumen untuk mengeceknya langsung, tapi hal itu harus diawali semacam perjanjian terlebih dahulu, karena tidak semua informasi milik PLN bisa diungkap ke publik.
“Mana yang terbuka, dan mana informasi yang tertutup, sudah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi,” ujarnya.
Perihal kasus-kasus keluhan konsumen yang mengaku “hanya diterima” satpam PLN, Bob mengatakan kemungkinan itu terjadi di luar jam kerja. Namun pihaknya sudah membuka posko yang jam kerjanya lebih luas.
Dia juga menyebut keluhan bisa melalui nomor telepon 123 atau melalui media sosial.
Menjawab tentang bagaimana cara menghitung penggunaan listrik, Bob mengatakan yang paling tepat adalah yang tertera pada meteran di rumah masing-masing konsumen.
“Kalau ada dispute, Ibu punya data, dan PLN punya data, mari kita lihat meternya. Tidak ada yang lain, karena meter transaksi itu yang dijadikan acuan untuk melihat volume pemakaian,” kata Bob. Sumber BBC