ENERGYWORLDINDONESIA – Nama JOHN ARIO KATILI (1929 – 2008) tak asing lagi dan dunia geologi Indonesia. Ia fenomena sebagai guru besar pertama Indonesia untuk ilmu geologi, yang diraih saat usia masih muda, 32 tahun (1961).
Dalam laman museum.geology.esdm.go.id JOHN ARIO KATILI dijelaskan bahwa Putra Gorontalo ini bersama tiga kawannya merupakan mahasiswa Indonesia pertama (1953) yang belajar geologi di Faculteit van Wis- en Natuurkunde Universiteit van Indonesie (FIPIA-Fakultas Ilmu Pasti Ilmu Alam) di Bandung sekarang dikenal sebagai departemen teknik geologi, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Setelah lulus sebagai sarjana geologi pada tahun 1956, Katili meneruskan belajar geologi selama setahun di Inssbruck, Austria dan meraih gelar doktor geologi di ITB pada tahun 1960. Pendidikan lainnya adalah di University of Kentucky, 1963 dan University of Los Angeles, 1969.
Selama masa aktifnya menggeluti teori ini, banyak publikasi internasional ditulis Katili yang merupakan aplikasi teori tektonik lempeng di Indonesia atas berbagai hal: geologi, bencana dan sumberdaya mineral/energi.
Makalah-makalah ilmiahnya yang terutama membahas aplikasi teori tektonik lempeng untuk Indonesia ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Geotectonics of Indonesia: a Modern View (1980).
Karier kepenulisan Katili sebenarnya sudah dimulai sangat awal, bahkan saat Katili masih menjadi seorang mahasiswa geologi tingkat awal.
Buku pertama yang ditulisnya adalah “3000 Juta Tahun Sejarah Bumi” (1953). Buku ini pada masanya menjadi bacaan pengetahuan populer favorit para remaja. Pada masa awal darma baktinya untuk pendidikan, tak lama setelah meraih predikat gurubesar, Katili pun menulis sebuah buku pengantar ilmu geologi dalam bahasa Indonesia bersama seorang dosennya di ITB, Peter Marks, bejudul “Geologi” (1963).
Ini adalah buku pengantar ilmu geologi yang sangat komprehensif, ditulis sampai setebal 855 halaman. Sampai sekarang pun, belum ada lagi buku pengantar ilmu geologi yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang menyamai apalagi melebihi tebal buku Katili dan Marks (1963) ini.
John Katili pada masanya (tahun 1970-an) terutama patut dikenang sebagai representasi ahli geologi dari Indonesia untuk dunia internasional pada saat Indonesia menjadi perhatian dunia geologi internasional untuk pembuktian teori tektonik lempeng.
Teori tektonik lempeng adalah suatu teori besar dalam geologi yang sering disebut sebagai suatu revolusi dalam geosains, yang berkembang pada akhir 1960-an dan mengkristal sebagai sebuah teori pada awal 1970-an.
Dilaman Tirto.id dibahas bahwa rentetan gempa mengguncang Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Titik pusat gempa berada di 26 km timur laut Donggala dengan kedalaman 11 km. Gempa terbesarnya tercatat punya magnitudo 7,4 SR.
Setengah jam kemudian tsunami menghantam Kota Donggala dan Palu. Berdasarkan pantauan BMKG dan informasi saksi lapangan, ketinggian tsunami mencapai 1,5 meter. Kota yang kemudian porak-poranda serta putusnya jaringan listrik dan komunikasi menimbulkan kepanikan. Kepala BMKG saat itu, Dwikorita Karnawati, menyebut pemicu gempa dan stunami adalah aktivitas tektonik Sesar Palu-Koro. Pernyataan Dwikorita dikonfirmasi oleh PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).
“Berdasarkan posisi dan kedalaman pusat gempa bumi, maka kejadian gempa bumi tersebut disebabkan oleh aktivitas sesar aktif pada zona Sesar Palu-Koro yang berarah barat laut-tenggara,” demikian pernyataan resmi PVMBG.
Gempa dan tsunami itu membuat masyarakat terkejut. Sangat sedikit orang tahu ada sesar aktif membujur dari suatu titik di dasar Laut Sulawesi hingga Teluk Bone. Sesar ini menebas bagian tengah Pulau Sulawesi sepanjang lebih dari 700 kilometer. Otoritas Kota Palu dan Sulawesi Tengah baru sadar bahwa rumah mereka berdiri di atas zona bencana. Selang beberapa waktu kemudian, usulan pemindahan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah dari Palu mulai terdengar.
Tirto.ID kemudian menyebut bahwa John Ario Katili pernah peunya usulan itu dan sudah pula terdengar pada 1980-an. Penggagasnya adalah Profesor John Ario Katili, putra Sulawesi yang juga dikenal sebagai Bapak Geologi Indonesia.
“Prof. Katili dulu pernah menyampaikan bahwa Palu tidak layak menjadi ibu kota [Provinsi Sulawesi Tengah]. Tetapi mungkin atas pertimbangan politis, rekomendasi tersebut tidak ada tindak lanjutnya,” kata Guru Besar Geologi Fakultas Teknik UGM, Prof Subagyo Pramumijoyo, sebagaimana dikutip laman Harian Jogja.
Kala itu Kota Palu sedang dikembangkan untuk menunjang statusnya sebagai ibu kota provinsi. Prof. Katili yang saat itu adalah Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Pertambangan dan Energi justru skeptis dengan proyek itu. Sebagai geolog ia paham benar bahwa Palu berada di zona tumbukan tiga lempeng tektonik. Membangun kota di sana sudah jelas berisiko karena rawan bencana.
Sejumlah kolega menyarankan Prof. Katili menyampaikan informasi ilmiah itu kepada pemerintah. Sayang sekali, ia tak digubris.
“Sulit berbicara dengan orang kuasa, tapi tidak bisa mendengar dengan baik,” kata Prof. Katili yang wafat pada 19 Juni 2008—tepat hari ini 12 tahun silam—sebagaimana dikutip Harian Jogja dari Prof. Subagyo.
John Ario Katili lahir di Gorontalo pada 9 Juni 1929. Keluarganya termasuk golongan terdidik di masa kolonial. Ayahnya, Abdullah Umar Katili, pengawas jaringan pengairan. Sementara kakeknya disebut-sebut sebagai guru bahasa Belanda pertama di seantero tanah Gorontalo.
John, demikian ia biasa disapa, akrab dengan alam sejak kecil. Pulau Unauna—tempat mukim sang paman yang terletak di tengah Teluk Tomini—adalah “taman bermain” John kecil. Koral di pesisirnya tak henti membuatnya takjub. Sebagai anak pesisir ia biasa memancing atau sekadar berperahu ke desa tetangga. Sekali waktu ia ikut pamannya berburu rusa di gunung. Masa kecil John di Pulau Unauna itu turut menentukan arah minat keilmuannya pada geologi.
“Semua yang saya lihat memang berpengaruh betul terhadap minat dan karir saya kemudian. Sebagai anak lelaki berusia lima tahun, saya selalu bertanya-tanya, ada apa di balik horison. Memang di situ ada inquisitive mind. Mungkin juga karena opa saya guru bahasa Belanda pertama di Gorontalo. Biasanya anak guru sejak dini terlatih pemikirannya,” tutur John sebagaimana dikutip harian Kompas (18 Februari 1990).
Karena pekerjaan sang ayah yang mengharuskannya berpindah pos, John pun mesti ikut berkelana saat masa sekolah. Pendidikan dasarnya semula ditempuh di Rooms Christelijke School Poso dan kemudian lulus di HIS Gorontalo pada 1943. Saat itu Jepang sudah menduduki Indonesia. Selepas itu John melanjutkan pendidikan di sekolah Chugakko di Tomohon. Pendidikan tingkat SMP-nya diselesaikan di MULO Manado pada 1947.
John lalu melanjutkan jenjang SMA-nya di AMS Makassar. Di tingkat inilah minatnya pada geologi mulai tumbuh atas dorongan seorang gurunya.
“Guru fisikanya itu orang Belanda yang mendapat gelar doktor di bidang ilmu tanah. Guru inilah yang mengasah bakat dan minat muridnya, sehingga Katili makin mantap mempelajari geologi,” tulis Kompas.Tak hanya itu, ia juga mengembangkan minatnya pada sastra. Neni Muhidin di laman Lokadata menyebut perhatian John pada sastra terhitung serius, meski kembara keilmuan John pada akhirnya berlabuh pada geologi. Saat lulus dari AMS nilai pelajaran bahasanya tertinggi dibanding mata pelajaran lain. Nantinya wawasan sastra itu amat menunjang dirinya sebagai saintis.
Medio 1950, John hijrah ke Jawa untuk meneruskan pendidikan di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia (FIPIA UI). John termasuk angkatan pertama mahasiswa geologi di kampus itu dan dibimbing oleh geolog Belanda Prof. T.H.F. Klompe.
Jenjang sarjana diselesaikannya pada 1956. Selanjutnya ia belajar di Universitas Inssbruck, Austria. Ia pulang ke Indonesia pada 1958 dengan membawa bahan-bahan penting untuk disertasinya. John lulus dua tahun kemudian, saat FIPIA UI—dan Fakultas Tekniknya—telah resmi berubah jadi ITB.
“Tahun 1960 jadilah J.A. Katili lulus cum laude pada usia 30 tahun dan merupakan doktor lulusan ITB yang pertama. Setahun setelah gelar doktornya, ia menyandang predikat professor. Pengabdian untuk Geologi dilanjutkan sebagai dosen Geologi di ITB dan menjabat Dekan Departemen Teknologi Mineral dari 1961 hingga 1965, dekan pertama bangsa Indonesia,” tulis laman Geomagz.
Dari Sains ke Panggung Politik
Pada 1962, John berkunjung ke “taman bermainnya” sewaktu kecil. Dulu ia tak paham bahwa Pulau Unauna sebenarnya adalah gunung berapi. Gunung Colo di tengah pulau itu adalah puncaknya. Dan rupanya tanah tenteram yang dulu ia akrabi itu tengah bergejolak. Kini John kembali sebagai geolog dan mulai meneliti sejarah kebumian kampung halamannya.
“Karena saya berasal dari pulau itu, ketika gunung itu menunjukkan aktivitas pada tahun 1960-an, saya mulai membaca dan menemukan siklus Gunung Colo itu 90 tahun,” kata John sebagaimana dikutip Kompas.
Saat itu tak ada indikasi bahwa Gunung Colo akan erupsi. Tapi, temuan John terbukti dua dekade kemudian. Pada Juli 1983, Pulau Unauna diguncang rentetan gempa. John yang saat itu menjabat Dirjen Pertambangan Umum Departemen Pertambangan, tahu benar bahwa inilah saatnya siklus berulang. Tanpa ragu John menginstruksikan direktur dinas vulkanologi setempat untuk mengevakuasi seluruh warga yang tinggal di Pulau Unauna.
Benar saja, Gunung Colo akhirnya erupsi pada 23 Juli 1983. Pulau Unauna yang indah porak-poranda terkubur material vulkanik. Tapi, sekira 7.000 warganya selamat berkat keputusan John.
“Tidak adanya korban jiwa membuat pakar di Jepang bertanya-tanya, bagaimana kita melakukan itu. Saya sampai diundang ke mana-mana untuk menjelaskan hal tersebut. Saya katakan, itu semua karena kita mengerti sifat gunung tersebut. Kita pelajari siklusnya,” tutur John.
Peristiwa itu jadi momen penting dalam karier eksekutif maupun keilmuan John. Setahun kemudian John mengisi posisi Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral. Pada 1989, suami Ileana Syarifa Uno itu dipercaya jadi Penasehat Ahli Menteri Pertambangan dan Energi. Lalu pada kurun 1992-1997 John melanglang ke dunia politik sebagai Wakil Ketua MPR. Tak habis di situ, antara 1999 sampai 2003 John diangkat jadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Federasi Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan dan Mongolia.
Tapi betapa pun luas petualangannya, John tetap mendaku diri sebagai saintis. Dan sebagai saintis, ia punya prinsip tak berhenti belajar.
“Dengan begitu bila jabatan eksekutif selesai, tidak down atau mengalami post power syndrome. Saya tidak bilang saya tidak akan mengalami itu nanti, itu saya tidak tahu. Tapi saya memang terus belajar dalam bidang saya selama ini,” katanya.
John juga seorang komunikator sains yang produktif. Di tengah pekerjaan dan sederet tanggung jawab birokratis yang musti diembannya, John tetap produktif menulis karya ilmiah. Cakupan topiknya beragam, mulai dari soal teoritis seperti geologi dan geofisika hingga yang praktikal macam manajemen SDA dan ekonomi mineral. Dalam obituari yang terbit di Kompas (20 Juni 2008), selama hidup John setidaknya menulis 11 buku dan 250 karya ilmiah.
Neni Muhidin menyebut John aktif menulis sejak tahun pertama kuliah. Artikel pertamanya di bidang geologi berkepala “Indonesia Eldorado Geologi” terbit di majalah Mimbar Indonesia edisi Desember 1951. Dalam soal tulis-menulis John banyak dapat bantuan dari kritikus sastra Hans Bague Jassin yang dikenalnya melalui kakak tertuanya.
“Hobi yang ditekuni sejak lepas mahasiswa tingkat satu tak bisa dilepaskan dari peranan H.B. Jassin, yang saat itu menjadi anggota redaksi majalah mingguan Mimbar Indonesia. Jassin-lah yang melihat potensi John untuk menyalurkan hard science kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami,” tulis Kompas (27 Juli 2007).
Beberapa karyanya kemudian jadi literatur klasik bagi pelajar, mahasiswa, dan dosen di bidang geologi dan kegunungapian. Misalnya Ihtisar 3.000.000.000 Tahun Sejarah Bumi yang ditulis untuk bacaan siswa SMP pada 1950-an. Pada 1963, John bersama seorang seniornya Peter Marks menyusun buku Geologi yang dimaksudkan jadi babon ilmu geologi. Ada pula buku tentang kebencanaan dan kegunungapian berjudul Laksana Beraraknya Mega (1986) yang disusunnya ketika menjabat Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral.
Selain itu John masih menyempatkan diri menulis artikel populer di beberapa media. Tak hanya soal geologi, tapi juga sastra, budaya, hingga ulasan sepak bola. Usia senja tak menghalangi semangatnya untuk terus menulis.
“Tiga tahun sebelum berpulang pada 19 Juni 2008, dia masih sempat menerbitkan, ‘Monitoring, Mitigation, and Forecasting of Earthquakes in Moslem Countries’. Itu makalah terakhir yang dia presentasikan dalam kongres internasional World Islamic Academy of Science di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2005,” tulis Neni Muhidin.
Sekolah itu mempertemukannya dengan Galib Lasahido, yang di kemudian hari menjabat sebagai gubernur ke-7 Sulawesi Tengah (1981-1986).Pernah suatu waktu, pada 1973, John mengunjungi Palu. Jabatan barunya saat itu strategis karena mengepalai Direktorat Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi.
John juga pernag mengatakan bahwa ada kesamaan antara Sesar San Andreas di California, Amerika Serikat, dengan Sesar Palukoro yang membelah dari utara sejak Selat Makassar, Lembah Kaili, dan hingga ke Teluk Bone. Sesar yang diakuinya telah lebih dulu diberi nama “Fossa Sarasina” oleh Sarasin bersaudara, Fritz dan Paul. Duet yang mencatat fenomena geologis Sulawesi di awal era 1900-an, sezaman dengan geolog Belanda, Eduard Cornelis Abendanon.
Artikel Kompas, 20 Juli 1976, memuat pernyataan John atas keperluan membentuk Badan Kerja Nasional Gempa Bumi. Medio 1970-an hingga 1980-an merupakan era kematangan intelektualitas bagi John. Di masa itulah tulisan-tulisan ilmiahnya terbit di banyak jurnal internasional dan artikel-artikel populer di harian-harian nasional yang terbit dalam rentang waktu yang rapat.
Bibliografi tentang geologi yang ditulis John merentang panjang, selama 54 tahun jejak kepenulisannya. John menulis artikel geologi saat usianya baru 22 tahun.”Indonesia Eldorado Geologi”, artikel pertamanya, terbit di Mimbar Indonesia, Desember 1951.
Tiga tahun sebelum berpulang pada 19 Juni 2008, dia masih sempat menerbitkan,”Monitoring, Mitigation, and Forecasting of Earthquakes in Moslem Countries”. Itu makalah terakhir yang dia presentasikan dalam kongres internasional World Islamic Academy of Science di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2005.
Setahun sebelum mengakhiri jabatannya pada 1984, Gunung Colo yang pernah dia kunjungi semasa kecil meletus hebat pada pukul 16.23 WITA, 23 Juli 1983. Abu vulkanik dari letusan gunung yang artinya korek api itu terbang sampai ke Palu dan Kalimantan.Kisah letusan Gunung Colo, Pulau Una-una, di jantung Teluk Tomini, telah memberi catatan baik tentang praktik mitigasi. Saat Gunung Colo sudah mulai batuk dan tremor, warga di pulau itu segera dievakuasi. John berada di balik keputusan itu.
Geologi dan sumber daya alam, bagi John, serupa dua sisi di sekeping koin. Namun, dia tak ingin sekadar hadir dalam dua sisi itu. Misal, hanya menulis sisi geologi yang lain: bencana alam. Atau menulis ensiklopedia gunung-gunung berapi dan patahan aktif yang memicu gempa bumi di Indonesia.
John punya caranya sendiri. Dua hal dalam fakta kebumian itu dihimpun dalam buku yang diterbitkan oleh direktorat tempat dia bekerja pada Maret 1986, berjudul Laksana Beraraknya Mega.Judul yang sastrawi itu terinspirasi dari Al-Quran Surat An-Naml ayat 89,”Dan kamu memandang gunung-gunung itu, kamu sangka dia tidak bergerak, padahal dia berlalu laksana beraraknya mega.”
Untuk fondasi keilmuan, John, bersama seniornya, Peter Marks, menyusun buku berjudulGeologipada tahun 1963. Buku seberat tiga kilogram dan 855 halaman itu telah menjadi buku babon ilmu geologi. Medio 1970-an, John juga pernah kasih saran pembentukan Badan Kerja Nasional Gempa Bumi. Dia juga menyebut daerah macam Sumatra dan Sulawesi harus mendapat perhatian khusus.
Saran itu tak berlebihan. Satu bukti bisa dilihat lewat data USGS (United States Geological Survey). Antara 17 Agustus 1945-29 April 2019, USGS mencatat 111 kali gempa berkekuatan di atas M6 di Sulawesi dan sekitarnya.Termasuk gempa dahsyat yang terjadi pada 28 September 2018 yang berdampak di Palu dan sekitarnya. Gempa disertai tsunami dan likuefaksi itu mengakibatkan 4.340 jiwa melayang. Lindu berkekuatan M7,5 itu bersumber dari Palukoro, patahan yang juga kerap menyita perhatian John.
Betapapun John masyhur di bidang geologi, tapi cinta pertamanya kepada ilmu jatuh pada sastra. Nilai Bahasa Indonesia di surat tanda lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) Makassar –setingkat SMA–adalah yang tertinggi dari seluruh nilai mata pelajarannya.
Setelah lulus SMA, John ke Jakarta dan bertemu senior yang sekampung dengannya, Hans Bague Jassin.Kakak tertua John, Abdul Gani adalah sastrawan dan berkawan dengan Jassin. Dari paus sastra Indonesia itu, John memamah karya-karya sastra dan filsafat Eropa.
Tak heran jika dalam beberapa tulisannya tentang geologi, John mengutip kalimat-kalimat kunci dari karya-karya sastrawan dan filsuf ternama. Dalam makalah, “Bencana Alam dan Peramalan Geofisika”, yang dibacakannya dalam sidang senat terbuka Institut Teknologi Bandung (ITB), Agustus 1979, John mengutip Novum Organum yang ditulis Francis Bacon, filsuf dan sastrawan Inggris, pada 1620.“Nature to be commanded must be obeyed,”demikian kutipannya. Jika ingin menguasai alam kita harus mematuhi hukum-hukumnya. John sudah mempraktikkan apa yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia, pada akhir dasawarsa 70an.”Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. “Pergumulan John dengan ilmu pengetahuan akhirnya berhenti di geologi, meski di saat yang sama, John mengirim esai-esai budayanya untuk Jassin dan mendapatkan honor untuk menambah biaya hidupnya sebagai mahasiswa.
Menolak beasiswa untuk geodesi, John memilih geologi dan jadi sarjana pertama Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA)–sekarang ITB–pada November 1956. Di tahun yang sama John diterima bekerja sebagai asisten dosen. Sedari itu, gerak John ke puncak-puncak ilmu telah membawanya hingga ke banyak perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negeri.
Pun, kariernya bergerak. Selain sejumlah jabatan birokrasi, ia pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia, Kazakkhstan, Turkemenistan dan Mongolia dari tahun 1999-2003. John Ario Katili sudah berpulang. Namun pemikiran bapak geologi Indonesia itu terus bergerak serupa teori lempeng tektonik yang diperkenalkannya.
Andai masih hidup, mungkin dia akan membaca kembali tulisannya,”Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi”, yang terbit di jurnal internasional Tectonophysics Di paragraf akhir, dia menutup tulisannya,“At present the island of Sulawesi is undergoing a process of fragmentation as can be deduced from the active lateral movement along the Gorontalo, Palu-Koro, Matano, and Sorong faults.”
Terjemahan bebasnya,”Saat ini pulau Sulawesi berada dalam proses fragmentasi yang itu dihasilkan dari aktifnya pergerakan sepanjang Patahan Gorontalo, Palu-Koro, Matano, dan Sorong.
Gairah yang besar sebagai penulis ilmiah di era 70-an bersanding pula dengan karier John di birokrasi. Setelah mengepalai direktorat Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi, John berpindah ke direktorat lain di departemen yang sama sebagai Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral hingga tahun 1984.
Dalam sebuah ceramanya di Makassar, John Ario Katili lebih dari 30 tahun yang lalu,mengatakan tentang kekayaan mineral bumi Papua. Ada dua hal pokok yang terpateri di ingatan penulis tentang pemaparannya.
Pertama, seyogianya pemerintah dalam Pelita IV (1984-1989) memberikan perhatian utama pada sumberdaya mineral non-migas dalam upaya melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor migas.
Kedua, sumberdaya mineral bumi Papua adalah yang terkaya di dunia. TETAPI, sumberdaya tersebut jangan dulu dieksploitasi sebelum pengembangan SDM Papua, agar dapat dihindari terjadinya kecemburuan dan konflik sosial. Hal ini dikemukakannya sekaligus sebagai seorang ilmuwan dan politikus, yang peduli terhadap pembangungan bangsa dan negaranya, dalam kerangka NKRI, demikian tulis WIM Poli dalam akun FBnya 22 Juni 2018.
John Katili sampai kini menjadi terkenal sebagai champion tektonik lempeng di Indonesia. Katili pun merupakan ahli geologi yang ditunjuk Pemerintah untuk membantu NASA dalam projek satelit peneliti Bumi (ERTS). Luar Biasa.*** (AME-berbagai sumber/ewindo)