Pertamina pada rabu 15/7/2020 telah merilis berhasil memproduksi green diesel ( D100) standar Euro 5 dari Kilang Dumai, yaitu jenis BBM ramah lingkungan, karena D100 itu dibuat dari bahan baku RBDPO (Refined Bleaching Deodorise Palm Oil ) dengan menggunakan katalis merah putih sebagai produk anak negeri, tentu langkah ini patut di apresiasi, hanya sayangnya dirut Pertamina Nicke Widyawati saat itu hingga sekarang tidak menyebutkan berapa biaya pokok produksinya D100 perliter, sehingga tidak membebani rakyat dan negara dalam bentuk subsidi ketika D100 dijual di SPBU untuk umum.
Kalaupun kita berani asumsikan harga produk D100 itu setara produk Peetamina Dex yang dibandrol Rp 10.200 perliter di SPBU, maka kalau melihat harga bahan baku RBDPO, katalis, dan biaya proses kilang yang agak kompleks dengan menggunakan hidrogen yang banyak, akan menghasilkan nilai jauh diatas itu.
Karena untuk memproduksi D100, sebelumnya CPO di proses menjadi RBDPO membutuhkan proses panjang, di refinery mulai dari preheating>mixing dengan phosphoric acid dab activated clay>acid reaction>mixing>heating sampai dengan polish filtering, yakni melalui 15 peralatan.
CPO refinery menghasilkan 94% RBDPO dan 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distilate),
semakin besar kapasitas semakin murah biaya produksinya.
D100 Petamina memakai katalis mp (merah putih) juga tidak diketahui berapa harganya.
Dari data2 harga bahan baku CPO RM 2500 perton dan harga RBDPO USD 654.50 perton, maka kita bisa hitung berapa biaya produksi D100, dan berapa harga jual supaya Pertamina tidak memerlukan subsidi dan berapa biaya logistik dari mendatangkan CPO ke Dumai dan biaya distribusi D100 ke SPBU seluruh Indonnesia.
Disisi lain, apabila RBDPO di lanjutkan ke proses fraksinasi akan di hasilkan olein/minyak goreng 77% dan stearine 17%.
Saat ini harga retail minyak goreng dalam kemasan sekitar Rp 29.000/2 kg.
Stearine di proses jadi mentega dijua retail 500gr sekitar Rp 12.500.
Sehingga kalau CPO harganya naik di pasaran, tentu pertanyaannya apakah Pertamina bisa menjual minyak goreng dan mentega serta sabun cuci batangan untuk menghindari kerugian dipenjualan D100.
Sebaiknya program D100 juga perlu dibandingkan dengan biodiesel/fame B30 yang bisa memakai bahan baku CPO, minyak goreng bekas, acid oil 100%, minyak limbah PKS, Stearine dan lemak binatang, dan bisa di bangun oleh ratusan pengusaha dengan kapasitas kecil2 di setiap kabupaten untuk menghindari biaya logistik.
Tentu antara Kedua pilihan ini, apakah D100 maupun biodiesel/fame akan mengalami kesulitan bila harga CPO naik yang membuat harus ada subsidi, sementara harga TBS ( tandan buah segar) harus tetap di kenakan PPN dan ekspor CPO tetap dikenakan bea keluar, tentu petani sawit belum happy.
Harusnya Pertamina bisa langsung memproduksi synthetic diesel oil euro 5 dengan bahan baku TBS, sampah plastik bekas, limbah pertanian, kayu, rumput gajah, ban bekas, batang sawit, bambu,;janjang kosong kelapa sawit dan lowrank batu bara.
Padahal menurut hitungan kami, untuk memproduksi Synthetic Diesel Oil B100 Euro 5 dengan bahan baku langsung dari TBS bisa di jual dengan harga Rp 4000/liter itu sudah termasuk keuntungan Pertamina.
Kalau itu dilakukan, maka akan membuat harga TBS menjadi Rp1900/kg, tentu petani sawit menjadi happy dan lingkungan hidup terjaga, serta defisit transaksi berjalan negara tertolong.
Oleh sebab itu, kajian keekonomian menjadi sangat penting dan menjadi kata kunci bagi Pertamina untuk menentukan sikap apakah memproduksi D100 melalui RBDPO atau TBS .
Medan 18 Juli 2020
Riza Mutiara
Founder PT FSC Oleo Chemical