Direktur Eksekutif Daerah WALHI DKI Jakarta, Tubagus Ahmad mendesak pemerintah Belanda turun tangan untuk menghentikan kegiatan penambangan pasir laut di daerah perairan Makassar.
Menurutnya praktik penambangan pasir laut untuk kepentingan proyek reklamasi Makasar New Port (MNP) yang dilakukan oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulsel, terbukti merusak kawasan perairan Makasar.
“Pembangunan MNP yang digawangi oleh Pelindo memiliki luas 1.428 ha yang akan direncanakan selesai pada tahun 2025,” ujar Tubagus dalam keterangan resminya, Selasa, (28/7).
Lanjutnya, dalam hal kapal asing, pemerintahan Belanda bertanggungjawab karena merupakan bagian dari hak ekstrateritorialnya, maka tidak tepat jika Belanda menyatakan tidak dapat mengintervensi.
“Belanda sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia harusnya turut memberikan perhatian lebih dengan meminta perusahaan yang berasal dari negaranya untuk tidak turut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Perairan Makassar, terlebih telah ada surat dari Komnas HAM yang meminta penghentian operasi dan Penghormatan Terhadap Hak-hak Nelayan,” jelas Tubagus.
PT Royal Boskalis adalah kontraktor yang memenangkan tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulsel, di antara perusahaan itu adalah PT Benteng Lautan Indonesia. Berbagai fakta di lapangan menunjukkan, penambangan pasir tersebut telah berdampak buruk dan sudah berkali-kali ditolak oleh 5000 penduduk di Kepulauan Sangkarrang, mewakili 1456 keluarga nelayan tradisional.
Kapal milik PT Boskalis memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) terus menambang pasir laut dalam skala besar, terhitung mulai tanggal 13 Februari 2020 dan terus berlangsung hingga Senin, 21 Juli 2020 saat masyarakat pesisir laut menghentikan sementara aktivitas penambangan.
“Penolakan penduduk Kepulauan Sangkarrang hingga Makassar terjadi akibat pengrusakan wilayah tangkap nelayan dan proses konsultasi sepihak. Perempuan dari desa-desa terdampak turun ke jalan, juga ke laut dalam protes meluas menuntut Boskalis mundur,” kata Tubagus.
Tubagus menjelaskan, sejak PT Royal Boskalis menambang pasir pada kurun Februari – Juli 2020, penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi secara drastis. Seringkali nelayan harus pulang dengan tangan kosong. Situasi ini secara cepat pula menyebabkan peningkatan jumlah utang keluarga nelayan. Pandemi Covid-19 terpaksa dihadapi keluarga pesisis laut dengan beban berlapis, khususnya serangan brutal terhadap ruang hidup dan kemampuan bertahan hidup secara mandiri.
PT Benteng Lautan Indonesia sebagai rekanan dari PT Royal Boskalis telah menggunakan cara-cara kotor agar dapat melanjutkan proyek tambang pasir laut. PT Benteng Lautan Indonesia membayar orang untuk membujuk masyarakat agar menerima uang ganti rugi dan menerima tambang, namun ditolak oleh nelayan.
Selain itu, pihak kepolisian sering mengintimidasi nelayan dan menyatakan yang tidak menerima tambang akan ditangkap dan dipenjara. Kegiatan mereka, termasuk perluasan jangkauan hukum mereka, pemaksaan kolaborasi terhadap orang lain, langsung dan tidak langsung, telah melanggar hukum internasional, sebagamana hukum hak asasi manusia internasional dan hukum lingkungan internasional, dimana kehidupan seseorang secara akut terancam.
Ironisnya, pemeirntah pusat dan pemerintah daerah tidak melakukan upaya apapun untuk melindungi nelayan. Padahal, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, memberikan mandat untuk melindungi nelayan, salah satunya menjamin keamanan dan keselamatan sekaligus mendapatkan pendampingan hukum.
“Kami mengamati proses pembiaran pelanggaran HAM yang dialami oleh penduduk di Perairan Sangkarrang . Kami menuntut tindakan serius dalam merespon tuntutan warga sebagai pihak yang mengalami kerugian dan kerusakan berdasar ayat 6,.1, 10.1, Konvensi Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik (ICCPR), ayat 1.2 Konvensi Internasional tentang Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), terutama penggunaan upaya-upaya pertahanan diri dalam hubungan dengan Hak Hidup dan hukum hak asasi manusia dan hukum lingkungan internasional terkait pelanggaran kewajiban ekstra territorial,” tegas Tubagus.(RED/LJ)