ENERGYWORLD.CO.ID – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengungkapkan bahwa Erick Thohir sebagai menteri BUMN sempat bilang kepada awak media pada Kamis (27/8/2020) di gedung DPR RI setelah rapat dengan Komisi VI, bahwa kerugian Pertamina masih lebih kecil dari pada perusahaan migas lainnya seperti Exxon, Checron, BP, Shell dan Eni adalah pernyataan yang menyesatkan.
“Itu pendapat sesat, dengan demikian publik akan menurunkan kapasitas dia dari kelas liga Eropa menjadi kelas tarkam alias antar kampung. Artinya Menteri BUMN tak memahami bahwa anatomi Pertamina sebagai NOC (National Oil Company) sangat beda dengan IOC ( International Oil Company ) seperti Exxon, Chevron, BP, Shell dan Eni dalam menjalankan proses bisnisnya menjual BBM dan LPG, ibarat membandingkan ayam berkaki dua dengan kambing berkaki empat,” ujar Yusri dalam keterangannya kepada Redaksi, 30 Agustus 2020 di Jakarta.

Yusri juga mengatakan bahwa Erick pernah sesumbar bahwa BUMN adalah Badan Usaha Milik Nenek Loe. Pernyataan Erick Tohir aneh dan kacaunya lagi, Erick Tohir membenarkan bahwa Pertamina rugi, satu karena kurs dan kedua karena beli minyak tiga bulan sebelumnya dan ketiga karena menjual BBM subsudi ini, langsung kena, kata dia.
“Tentu timbul pertanyaan, apakah bung Erick belum baca Peraturan Presiden nomor 43 tahun 2018 yang merupakan perubahan Perpres nmr 191 tahun 2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM ?, bahwa yang masih disubsidi tetap itu hanya minyak tanah dan Solar dan LPG 3 kg, sementara Premium adalah BBM Penugasan, kalaupun jual Premium diatas harga keekonomian, maka sesuai pasal 66 UU BUMN maka kerugian Pertamina akan diganti oleh Pemerintah, meskipun sejak 1 April 2020 sd Juli menurut hitungan kami harga jual Premium masih dibawah harga keekonomian,”papar Yusri.
Selain itu, dalam bisnis tranding minyak, meskipun dibeli 3 bulan yang lalu, akan tetapi Pertamina membayar nilai harga pada saat minyak itu diserahkan diterminal Pertamina, jika kontraknya CIF ( Cost Insurance Freight) atau pada saat minyak itu diambil diterminal negara pemasok jika kontrak itu FOB ( Free on Board), maka Pertamina yang harus menyiapkan kapal tanker, dan lazimnya dalam kontrak hanya disebutkan dated brent +/- alpha atau MOPS +/- alpha, maka nilai dated brent atau MOPS ditentukan pada saat serah terima kargo.Untuk menghidari resiko rugi akibat fluktuasi harga minyak dan nilai tukar, biasanya transaksi itu menggunakan fasiltas lindung nilai ( heaging), jelasnya.
“Sehingga disaat pandemi covid 19 pasar minyak dunia jatuh pada titik terendah selama 34 tahun terakhir, yaitu dimulai bulan Maret hingga Juni.Harusnya Indonesia sebagai negara “net importir” harga minyak dunia murah merupakan berkah bagi rakyatnya bisa menikmati harga BBM yang murah, namun anehnya Pertamina dengan melanggar peraturan yang berlaku malah tidak menurunkan harga BBM kualitas Euro 2 dan LPG sepersepun, tentu wajar rakyat bereaksi negatif terhadap kinerja Pertamina ketika dirilis laporan keuangan semester 1 mengalami kerugiaan Rp 11, 13 triliun,”beber Yusri.
Ditambahkan Direktur CERI ini, karena berdasarkan Keputusan Menteri ESDM nomor 62.K/12/MEN/2020 pada 28 Febuari 2020 oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif tentang Formula Harga dalam Perhitungan Harga Jual Eceran BBM di SPBU.
“Jika Pertamina merujuk aturan diatas, maka berdasarkan rerata harga MOPS Gasoline dan rerata nilai tukar rupiah kurs tengah BI terhadap dollar Amerika periode mulai tanggal 24 dua bulan sebelumnya hingga tanggal 25 sebulan sebelumnya, berdasarkan perhitungan sangat moderat, seharusnya Pertamina mulai 1 April 2020 harga wajar Pertamax di SPBU adalah Rp 5.350 perliter, dan 1 Mei 2020 adalah Rp 4.540 perliter, serta mulai 1 Juni 2020 adalah Rp 5.700 perliter,” ungkapnya.

Pusat Pertamina Jakarta
Masih kata Yusri bahwa Pertamina selama ini keukeh mematok harga Pertamax Rp.9.000 perliter hingga saat ini, ironisnya kemahalan harga itu telah dinikmati juga oleh kompetitornya yaitu Shell, Total, AKR dan Vivo, namun sebaliknya rakyat sebagai konsumen telah menjadi korban nya.
“Belum lagi disaat Work From Home (WFH) akibat PSBB, ternyata Pertamina menerima berkah besar juga dari hasil meningkatnya konsumsi LPG, karena saat itu harga pasar LPG dunia ikut jadi murah, yaitu CP Aramco sekitar USD 250 permetrik ton ditambah plus alpha, sesuai Permen ESDM nomor 26 tahun 2009 tentang harga jual LPG, maka akan diperoleh harga perkg Rp 8000, sehingga harga wajar tabung 12 kg adalah Rp 100.000 pertabung, tapi Pertamina tidak menurunkan harga jualnya,”lanjutanya.
Oleh karena itu, adalah tidak masuk akal sehat publik kalau dikatakan Pertamina rugi karena faktor eksternal, yaitu karena harga minyak jatuh, dan karena Pertamina terlanjur mahal belinya dan akibat selisih kurs, serta ada penugasan BBM subsidi, tetapi rakyat sekarang lebih percaya bahwa kerugian telah terjadi karena inefisiensi pada proses bisnis Pertamina dari hulu ke hilir, dewan direksi bersama dewan komisaris telah gagal mengatasinya.
Sehingga, kata Yusri kerugian Pertamina saat ini adalah paling tragis sejak 50 tahun terakhir, dan telah membuat malu Presiden Jokowi merupakan tanggung jawab bersama Dewan Komisaris dengan Dewan Direksinya, dan yang paling bertanggung jawab dari semuanya itu adalah Menteri BUMN yang telah salah memilih orang yang tepat bisa membuat untung Pertamina.
“Hebatnya Erick Thohir hanya berhasil membuat struktur baru holding Pertamina dengan jumlah komisaris jauh lebih banyak dari jumlah direksinya, yaitu jumlah Komisaris jadi 7 orang dan direksinya hanya 5 orang. Mereka telah gagal menunaikan amanah untuk memenuhi janji Jokowi akan membuat Pertamina mampu mengalahkan Petronas, karena saat ini yang terjadi, malah nitizen didunia maya lagi riuh rendah memelesetkan Pertamina bakal akan menjadi Pertamini,”kritik Yusri tegas.
Yusri juga megatakan bahwa entah karena tekanan publik sangat kuat, hal yang tak lazim terpaksa dilakukan Pertamina, yaitu mendadak jumat 28/8/2020 merilis berita “Pertamina Cetak Laba Rp 5,9 triliun dalam 1 bulan”, tetapi hanya dijelaskan ada peningkatan penjualan di bulan Juli mencapai 3,2 miliar dolar AS, karena bulan sebelumnya hanya 2,9 miliar dolar AS, namun anehnya yang ditampilkan hanya peningkatan penjualan saja, tetapi tidak menampilkan adsnya kewajiban Pertamina kepada pihak lainnya, atau jangan jangan supaya terkesan untung, bisa saja kewajiban kepada pihak ketiga yang seharusnya sudah dibayarkan pada bulan Juli tapi digeser ke Agustus atau September, sehingga secara kumulatif kerugian Pertamina hanya Rp 5,3 triliun.
“Konsekwensi logisnya adalah publik akan menuntut Pertamina merilis laporan rugi labanya setiap bulan, yaitu pada September dan seterusnya hingga Desember 2020, meskipun kenyataan laporan tahunan Pertamina yang sudah diaudit biasanya akan dirilis sekitar bulan Mei, terlambat 3 bulan dari ketentuan Kementerian BUMN yang membatasi paling lambat pertengahaan Febuari setiap tahunnya,”ungkap Yusri.
Yusri juga mengkrtik Ahok yang sebelumnya sudah sesumber di berbagai media, merem saja Pertamina pasti untung, dan yang paling kontroversial dia mengatakan, kalau selama 7 bulan dia jadi Komut dan perusahaan rugi, maka dia akan bubarkan Pertamina ini. Meskipun akhirnya belakangan Ahok memakai jurus gingkang, yaitu menuduh Dirut Pertamina tidak memberitahu dia soal kerugian, namun yang pasti akibat respon negatif publik yang masif akan berakibat suasana kerja di Pertamina akan semakin tidak kondusif bagi karyawannya, hal inilah yang harusnya menjadi perhatian Menteri BUMN.
“Tentu publik tak salah kalau bertanya emang dia siapa?, kapan Pertamina akan dibubarkan atau dijual murah? Emang Pertamina badan usaha milik nenek loe?” tandas Yusri. (aen/ewindo)