OLEH YUSRI USMAN *)
ENERGYWORLD.CO.ID – Kami sejak lama sudah menyatakan bahwa program B20 berbahan baku FAME (Fatic Acid Methyl Ester) adalah proyek yang tidak ekonomis, selain itu akibat adanya kandungan oksigen dalam FAME, telah mengakibatkan konsumen harus agak boros membersihkan dan mengganti filternya, bahkan untuk kenderaan berat banyak ditemukan masalah.
Sebab, tak ada satupun negara didunia ini yang melaksana program biodiesel berbahan baku FAME melebih 10%, Malaysia saja hanya mencapai B10 paling mentok.
Sehingga kalau kebijakan Pemerintah mengharuskan peningkatan program dari B20 menjadi B30 dan seterusnya menjadi B50 dengan mengharuskan berbahan baku FAME, itu terkesan kental Pemerintah hanya ingin menyelamatkan konglomerat sawit yang produk CPO nya di boikot Eropah, daripada menyelamatkan defisit transaksi berjalan dan menolong petani sawit serta menolong Pertamina.
Kami menduga, ada pembisik yang telah menjerumuskan Presiden Jokowi telah salah menerapkan program biodisel ini.
Menteri ESDM harus paling bertanggung jawab, karena program B20 menjadi B30 berdasarkan payung hukum Keputusan Menteri ESDM nomor 227K/10/MEN/2019 tentang Pelaksanaan Uji Coba Percampuran Bahan Bakar Nabati jenis B30 kedalam Bahan Bakar Minyak Jenis Solar yang ditandan tangani Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Karena, naiknya kadar minyak nabati dalam program B30, otomatis akan menaikan pasokan atau kebutuhan FAME dari 6,6 juta kiloliter menjadi 9,5 juta kiloliter. Setiap tahun, produsen FAME yang tergabung dalam Aprobi (Asosisasi Produsen Biofeul Indonesia), akan memperoleh subsidi dari dana sawit sekitar diatas Rp 10 Triliun pertahun, apabila program B30 berjalan.
Disisi yang lain, akibat peningkatan program B30, ekses solar dari kilang Pertamina semakin meningkat tinggi, karena kualitas solarnya tak terlalu baik, sejak program B20 dijalankan, Pertamina sudah sejak 2017 telah mengekspor solar dengan harga merugi terus sampai saat ini.
Dana yang dipungut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setiap tahunnya dari PPN TBS.(Tandan Buah Segar) dan bea keluar dan CPO dan Produk turunannnya mencapai sekitar Rp 12 hingga Rp 15 Triliun.
Padahal, menurut Darmin Nasution ketika masih sebagai Menteri Kordinator Perekonomian pada September 2019, penggunaan dana pungut sawit itu diprioritaskan untuk peremajaan tanaman sawit, bukan untuk memsubsidi FAME, karena solar murni Pertamina itu sudah mendapat subsisi dari APBN Rp 2000 perliter. Adapun Penggunaan dana sawit itu untuk kebutuhan peremajaan sawit untuk setiap petani plasma sebesar Rp 100 juta, katanya pada akhir tahun 2019 target Pemerintah untuk meremajakan tananam sawit petani plasma seluas 180.000 hektar, untuk memverifikasi apakah sudah tepat sasaran petani yang menerimanya, kami tidak paham apakah ini masuk ranah BPK atau BPKP yang mengauditnya?.
Infonya program peremajaan tanaman sawit rakyat banyak tertunda, karena dana pungut sawit itu telah digunakan untuk subsidi FAME, tetapi karena dana pungut sawit itu pun tak cukup untuk mensubsidi Fame, ironisnya Pemerintah terpaksa merogoh koceknya sebesar Rp 2,78 Trliun pada tahun ini dari APBN.
Cilakanya lagi, entah ide darimana datangnya, Pertamina selama ini lagi sibuk menjalan program D100 Green Diesel berbahan baku RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil) yang posisi hari ini harganya perkilogram Rp 12.500 atau setara 3 liter minyak mentah berdasarkan rilis Kementerian ESDM pada bulan November 2020 angka ICP USD 38,07 perbarel (159 liter).
Pertamina dengan konyolnya lagi, mengatakan bahwa program D100 Green Diesel yang diuji coba disaksikan Menteri Perindustiran Agus Gumawang Kartasasmita dan Dirut Pertamina Nicke Widyawati pada 22 Juli 2020 di kilang Plaju Palembang cukup berhasil, itupun diframing sebagai kado HUT Kemerdekaan RI dari Pertamina dengan bangganya.
Ternyata saat itu yang diuji coba penggunaan kenderaan itu adalah B50, yang merupakan percampuran Dexlite (50%) , FAME (30%) dan D100 (20%). Sejak itu, kami melalui media dan Corsec Pertamina telah berulang kali mempertanyakan berapa harga keekomian produk D100 berbahan baku RBDPO dan katalis merah putih ditambah biaya prosesing kilang dan transportasi ke SPBU, bahkan sudah lebih lima bulan pihak Pertamina bungkam.
Terakhir pada 5 September 2020, Pertamina melalui VP Corcom Fajiriah Usman telah megeluarkan rilis seolah olah berhasil mengeskport Diesel kualitas Euro 4 ke Malaysia setiap bulan 200.000 barel senilai USD 9,5 juta dari kilang Balipapan, setelah kami kejar konfirmasi ke corcom Pertamina pusat dan Pertamina Balikpapan, terakhir terungkap dari keterangan Dirut PT Kilang Pertamina International Iganatius Telulembang didepan Rapat Komisi VI DPR RI (05/10/2020) telah mengaku bahwa solar itu dijual rugi, itupun karena bingung storage nya sudah penuh.
Harusnya Pertamina dan Pemerintah lebih cerdas, menggunakan BPPT untuk mencari tehnologi biodisel yang harga produknya jauh lebih murah dan produknya berkualitas tetapi bukan berasal bahan bakunya FAME, apalagi RBDPO.
Ternyata, sekarang sudah ada tehnologi dari Eropah yang bisa mengahasilkan biodiesel lebih efisien dan produknya berstandar BBM Euro 5, yaitu tehnologi HVO (Hydrotrated Vegetable Oil) dan Syntetic diesel Oil Euro 5, dan BPPT telah mengkajinya, pertanyaan mengapa Pertamina tidak berkordinasi dengan BPPT soal program Biodiesel ini ?
Tehnologi yang tepat yang dipilih bisa mengolah langsung TBS , CPO, limbah sawit, pohon sawit, janjang sawit dan lemak binatang adalah pilihan tepat untuk menghindari over suplai CPO diserap dalam negeri dan bisa menjaga harga CPO bisa relatif stabil dipasaran internasional, akibat boikot masyarakat Eropah.
Pertanyaannya kritisnya sekarang adalah, apakah Kementerian ESDM, BUMN dengan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina terpapar kartel sawit juga kah?
Jakarta 19 November 2020.
*)Direktur Eksekutif CERI