OLEH YUSRI USMAN, Direktur Eksekutif CERI
ENERGYWORLD.CO.ID – Presiden Jokowi pada tgl 17 November 2020 telah menerbitkan Perubahan ketiga dari Peraturan Presiden ( Perpres) nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional
Pada lampiran Peraturan Presiden tersebut tentang Daftar Proyek Strategis Nasional, dibutir 195 dan 199 dari daftar itu, telah disebutkan bahwa yang termasuk proyek strategis nasional adalah Pembangunan Bahan Bakar Hijau ( Green Diesel Bio Refinery Repamping RU IV Cilacap, RU III Plaju Green Refinery, Hidrogenasi CPO PT Pusri Palembang, Katalis Merah Putih Pupuk Kujang Cikampek).
Lebih lanjut dibutir 199 dikatakan, Pengembangan Tehnologi Produksi IVO dan Bensin Sawit dengan Katalis Merah Putih yang terintegrasi dengan kebun rakyat.
Oleh sebab itu, meskipun kita memang selalu terlambat dalam menjalankan program green energi, maka semua pihak harus dukung program biodiesel ini bisa cepat teralisir dengan menggunakan tehnologi yang efisien.
Tetapi, Perpres ini terkesan malah menghalangi inovasi kemajuan dan perkembangan tehnologi biodiesel ( B100) dan D100 yang bisa dibuat dari bahan baku lebih murah dan menguntungkan anak bangsa, yakni memilih tehnologi yang bisa mengolah langsung TBS, janjang sawit, minyak goreng bekas, plastik bekas, batubara kalori rendah dan rumput laut seperti sudah dilakukan di negara Uni Eropah.
Bukan memilih tehologi biodiesel berbahan baku dari FAME, apalagi RBDPO itu sangat tidak ekonomis, lebih baik RBDPO diproses lanjut jadi minyak goreng, mentega dan minyak samin saja.
Karena program Green Diesel ( D100 ) Pertamina dari bahan baku RBDPO dan katalis Merah Putih sudah berjalan lama atau lebih 6 bulan, namun sampai hari ini tak mampu merilis berapa harga keekonomiannya perliter, meskipun kita tak membantah bahwa memang co procecing kilang Pertamina bisa menghasilkan green diesel ( D100), tetapi berapa HPP ( Harga Pokok Produksi) perliter, menurut hitungan kami bisa jatuhnya perliter sekitar Rp 15.000.
Sehingga diduga ada pembisik telah menyesatkan Presiden dalam membuat kebijkan biodiesel ini, termasuk ikut merancang isi lampiran Perpres tersebut.
Padahal, NESTE OIL sudah dirikan kilang biodiesel HVO B100 di Singapore sejak tahun 2010 sudah berproduksi dan dieksport ke negara eropah , dengan bahan baku CPO dari Malaysia dan Lemak sapi dari New Zeland dan Australia, kenapa kita yang punya bahan baku sendiri lebih lengkap dan murah bisa terlambat melakukan itu ?.
Harusnya PERTAMINA dan Holding PTPN jangan ketinggalan, segera gandeng tehnologi NESTE Oil untuk menolong kondisi PTPN dan Petani sawit, atau memang ada oknum yang selalu menghambat ini ?.
Karena, tidak ada satupun negara didunia ini menggunakan FAME diatas 10% untuk Biodiesel, Malayasia saja hanya sampai B7, jadi timbul pertanyaan kritis, program B30 terus ke B40 berbahan baku FAME itu untuk kepenringan siapa ???.
Apakah program itu untuk kepentingan nasional dan ada rakyat Petani didalamnya, atau program itu untuk menolong Konglomerat produsen FAME ?
Terbukti, bukan menggunakan FAME untuk campuran biodiesel yang ternyata telah memakan dana subsidi cukup besar, yaitu berasal dari dana pungut sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dari tahun 2015 sd 2020 saja, sudah terpakai mensubsidi FAME total sekitar Rp 65 Triliun.
Belum lagi Pemerintah mensubsidi Solar Pertamina Rp 2000 perliter dari APBN sejak thn 2018 hingga saat ini sudah berapa puluh triliun ?.
Selain itu, akibat program B30, Pertamina malah rugi, karena terpaksa menjual rugi solar kelebihan produksi dari kilangnya.
Adapun dana Sawit itu dipungut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit itu berasal dari PPN TBS ( Tanda Buah Segar) dan Bea Keluar CPO.
Padahal, tujuan awal dana sawit itu hanya digunakan untuk keperluan riset dan peremajaan tanaman sawit rakyat, tetapi realisasinya hampir 97% digunakan mensubsidi produsen FAME milik konglomerat.
Untuk peremajaan tanaman sawit selama 5 tahun hanya menggunakan dana pungut sawit sekitar Rp 1 Triliun dari total Rp 65 Triliun, maka pertanyaan nya adilkah kebijakan ini ???.
Wajar jika petani sawit berteriak, tetapi kenapa Pemerintah diam saja ?