OLEH AENDRA MEDITA *)
Sepanjang tahun 2015 -2019 Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mampu menjaga target produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional di atas target produksi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Langkah ini selalu diusahakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendukung kecukupan energi. Dan pada 2030 SKK Migas mentargetkan ingin 1 juta barel. Mampukah mimpi itu terwujud?
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pernah mengatakan bahwa “Dengan capaian produksi di atas RUEN, volume minyak yang perlu diimpor Indonesia dapat ditekan sehingga membantu mengurangi defisit anggaran Pemerintah,” pada Jumat (3/7/20).
Lagi-lagi Mr Dwi yang mantan Dirut Pertamina ini juga menyebutkan bahwa Indonesia bakal memecahkan rekor produksi nasional apabila bisa mencapai target produksi minyak siap jual atau lifting minyak 1 juta barel dan gas 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030.
Sebagai Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan itu sah. Dan tak menjadi masalah jika mimpinya itu terus digantungkan. Selama mimpinya tidak ada yang melaporkan hehehe….
Dwi juga mengatakan bahwa telah banyak upaya untuk menahan laju penurunan atau bahkan meningkatkan produksi minyak Indonesia. Namun, dia menuturkan Indonesia harus berani keluar dari zona nyaman untuk bisa mencapai target tersebut.
Target capaian produksi lifting migas tersebut akan menjadi salah satu karya terbaik bagi bangsa Indonesia yang akan direalisasikan dari industri hulu migas. “Jika target ini tercapai, maka sektor hulu migas akan mencatat rekor produksi migas terbesar sepanjang sejarah Indonesia,” katanya dalam acara 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas, Rabu (02/12/2020).
Dua pernyataan keyakinan mimpi Dwi itu lagi-lagi saya sampaikan sah saja. Namun Saya masih ingin sampaikan tentang catatan yang kuat dari sebuah Daring Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Komisariat Saudi Arabia (KSA) menggelar IATMI TALK pada 4 Juli 2020 lalu, dengan tema “Is this the end of oil era?” yang mengahadirkan Dr Ardian Nengkoda dan Prof Dr Oki Muraza.
Komentar dan pandangan Ardian Nengkoda yang merupakan tokoh dari SPE Journal of Petroleum Technology (JPT) Editorial Committee. Lead Facilities Development Aramco saya rasa rasional: Memang SKK MIGAS yang punya target 1 juta barel per hari dipandang Ardian Nengkoda pakar Migas dari SPE Journal of Petroleum Technology (JPT) dan Lead Facilities Development Aramco ini adalah target tidak mudah alias impossible.
“Tidak sekadar eksplorasi fokusnya banyak harusnya membuat paket-paket fiskal term yang menarik. Jadi 10 tahun itu impossible sangat susah. Kita impor 800 barel per hari, tidak oke subjek migas sebagai komoditi itu. Kita lihat indonesia populasi ke 4 demografi strateginya perlu perhitungan menutup lubang cari alternatif lain. Sehingga kita bisa menutup 800 ribu barel kita.
Ardian mengatakan bahwa ini cukup susah, secara pribadi saya sampaikan ini, 10 tahun dari saat ini. Kalau kita bicara masih punya 128 cekungan dan 68 cekungan belum tereksplorasi dan itu punya harapan. Dan kita projeksikan, challenge, trade yang ada apakah mungkin 10 tahun?
“Kalau saya susah sekali, SKK MIGAS dan pemerintah sudah bilang ada empat strategi pertama eksplorasi masif intensif, enhanced oil recovery (EOR)-nya sendiri 4-5 tahun. Oke 2025 katakan dan production saya khawatirnya miss. Jadi soalnya investor sendiri tak lihat Indonesia,”paparnya.
Sampai ini rasionalitas Ardian masuk akan. Kalimat bahwa investor sendiri tak lihat Indonesia adalah pukulan telak. Hehehe…Jadi satu hal mimpi pertama terbantahkan. Lagi-lagi mimpi ini jadi masalah. Karena jika banyak mimpi malah kita loss dengan target bisa berabe.
Ardian bahkan menambahkan hendaknya SKK Migas harus ada terobosan-terobosan inovasi dan supply change manajemen dan terobosan birokrasi jadi konsisten peraturan itu penting. Bagaimana investor akan datang kalau kita tak menyakinkan. Jadi perlu effort semua, entah pemerintah, SKK Migas, praktisi, dan lainnya semua elemen bangsa. Bahwa ini masalah serius soal investor yang tidak lihat Indonesia.
“Kalau bisa Migas ini jadi strategic energy bukan lagi migas sendiri. Saya juga melihat energy mix dari Dewan Energi Nasional (DEN) harus berperan penting bukan sekadar pelengkap organisasi dalam struktur organinasi yang struktur besar, tapi DEN harus punya gigi lebih dan ini harus dilihat migas itu geo political opportunity. Energi mix bermain dan ketahanan upstream harus kuat,” tegasnya.
Ardian juga menambahkan bahwa kita candu migas, terlepas transport minyak bumi sebagai fuel bahan kimia lain. Ada multiplayer, tax kecil ada instrumen lain, karbon tax, dll. Ada konsep Howard energy diwujudkan untuk melihat biaya yang diperlukan produksi, kualitas dan energi lain.
“Bagi Indonesia konsep demografi tapi sebagai energy strategic, selama ini miskonsepsi akan kaya raya bahwa kita kaya akan migas, sebenarnya itu salah itu. Harusnya bagaimana mampu memenuhi pertama kebutuhan energi. Kedua kebutuhan lain berdasar dari minyak bumi, setiap area Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa,” bebernya.
Ardian bahkan melihat kalau bandingkan Singapura tak punya apa-apa, mereka tak punya migas, tak punya cadangan tapi mampu memenuhi manajemen minyak bumi, dari sisi ekonomi kemampuan membiayai besar. Dan ini tak bisa di copy paste Indonesia. Nah harusnya Indonesia mendekati migas bukan sekadar komoditi tapi strategi energi manajemen yang disampaikan tadi.
SOAL INVESTOR
Dalam beberapa waktu lalu Kementerian ESDM memang telah telah menetapkan kebijakan pembukaan data dengan harapan bisa memudahkan calon-calon investor.
Dikatakan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto bahwa KemESDM telah mengatakan ada “Tiga Sumatra, 3 Kalimantan, 1 Jawa, 1 Sulawesi, 4 di Indonesia timur, termasuk Papua ada 10, dan plus 2 fokus deep water,” ungkapnya.
Di sisi lain, target lifting migas Indonesia setiap tahun terus mengalami penurunan dengan sejumlah faktor seperti decline rate lapangan migas, dan juga tekanan dari faktor eksternal.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa asumsi Harga Minyak Mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dalam Rancangan APBN 2021 disepakati sebesar US$42—US$45 per barel.
Target lifting minyak dan gas bumi (migas) dipatok sebesar 1,68 juta hingga 1,72 juta barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/boepd).
Secara terperinci, target lifting minyak dipatok pada kisaran 690.000—710.000 barel per hari dan lifting gas bumi sebesar 990.000 boepd—1,01 juta boepd. Sementara itu, cost recovery ditetapkan senilai US$7,5 miliar—US$8,5 miliar.
Nah dengan demikian jika melihat raget 1 juta Barel per hari, apakah betul Indonesia mampu 1 juta barel seperti 2006? Kita tak tahu apakah hanya mimpi atau dalam konteks besar kita sedang di iming-imingi cerita mimpinya bukan mimpi yang sebenarnya menuju kenyataan. Tapi saya juga tak mau bilang bahwa mimpi itu hanya sekadar ilusi dan kita mungkin lebih bijak adalah melihat saja nanti kenyataannya. Begitu kira-kira. Semoga ya…TABIK!!!
*) CEO & EDITOR -IN- CHIEF ENERGYWORLDINDONESIA (energyworld.co.id)