Oleh : Salamuddin Daeng
Pertanyaan mendasar atas kinerja Menteri Luar Negeri dua periode, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian Indonesia patut di ajukan. Lalu apa makna dlogan Sinuhun: kerja kerja dan kerja—sehingga Indonesia kalah di WTO.
Kekalahan terkait kebijakan pembatasan impor ayam Indonesia yang dianggap melanggar peraturan perdagangan internasional ini, mencerminkan kebobrokan pemerintah Indonesia dalam diplomasi internasional, mengelola perdagangan dan ekonomi. Kekalahan di WTO sekaligus merupakan pukulan keras ke ulu hati para peternak ayam dalam negeri.
Mereka para peternak yang sudah sesak nafas akibat praktek penguasaan peternakan yang oligopolistik oleh korporasi besar, yang melahirkan permainan harga pakan dan harga ayam yang berdampak buruk bagi peternak skala kecil, kini harus berhadapan dengan impor ayam dari Brazil yang jauh lebih murah.
Kondisi ini akan membuka peluang permainan harga ayam oleh bandar ayam besar dalam negeri uang dampaknya lebih mematikan. Kita tidak bisa menyalahkan WTO atau Brazil dalam masalah gugatan yang dimenangkannya. Namun pengelolaan ayam dalam negeri yang sejak semula tidak mentaati berbagai peraturan perundangan yang ada dan tidak memihak kepada kelompok lemah, adalah biang kerok terpuruknya usaha peternakan rakyat.
Segelintir kartel ayam dalam negeri yang menguasai 70 persen bisnis ayam, ditambah 25 persen usaha ternak dalam penguasaan jaringan mereka secara langsung, telah membuat peternakan ayam tidak efisien.
Sementara 5 persen usaha ayam yang dikejakan secara mandiri oleh rakyat telah dianiaya dengan berbagai kebijakan yang buruk, tidak memihak peternak kecil. Para peternak kecil telah ditekan dengan harga pakan ayam yang mahal yang dijual oleh perusahaan raksasa ayam, jalur pemasaran yang dukunci, kebijakan keuangan dalam bentuk suku bunga yang mencekik, telah membuat peternak kecil berguguran satu persatu.
Padahal menurut undang-undang peternakan bahwa peternakan ini adalah usaha rakyat, bukan usaha untuk korporatokrasi. Bayangkan saja, dalam tiga tahun terakhir harga ayam ditingkat peternak kecil amblas, bahkan kerap kali turun dibahwah harga pokok produksi. Peternak kecil menjadi sasaran pemerasan bandar benih ayam, bandar pakan ayam, yang mengakumulasi 80 persen biaya produksi mereka.
Sementara pada saat peternak kecil menjual ayam yang harganya berada di bawah harga pokok produksi (HPP). Ketentuan menteri perdangan tentang harga acuan ayam tidak dilaksanakan. Peraturan presiden untuk menugaskan Bulog melakukan stabilisasi harga ayam juga tidak dilaksanakan.
Sekarang! Indonesia kalah di WTO, impor ayam brazil akan masuk ke Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah. Para peternak kecil yang tadinya bersaing dengan peternak besar yang nilai kapitalisasi sahamnya lebih dari 100 triliun (salah satu raksasa ayam Indonesia), sekarang harus bersaing dengan ayam brazil, negara produsen ayam teratas saat ini.
Maka sudah pasti peternak kecil amblas. Kabinet Sinuhun yang mulia tidak berbuat apa-apa, mereka para pembantu presiden sepanjang Brasil mendaftarkan gugatan ke WTO, hanya wara-wiri ke Jenewa tanpa ada persiapan untuk negosiasi guna memenangkan gugatan: Cuma habis-habiskan uang negara. Duh!
Penulis adalah Peniliti Pada Asosiasi Ekonmi dan Politik Indonesia (AEPI)