Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Kelistrikan , terbukti bahwa Kelistrikan yg dikelola PLN selama ini adalah INFRASTRUKTUR ( baca putusan MK No. 001-021-022/PUU – I/2003 thn 2004 dan No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016).
Karena kelistrikan itu Infrastruktur maka “Key Performance Index” (KPI)nya atau cara penilaian thd PLN itu mestinya bukan dng parameter untung/rugi tetapi dengan “Benifit Cost Ratio” seperti Jalan Raya atau Bendungan untuk pengairan dll (Badan Usaha/Jawatan yg dianggap pengelola Infrastruktur).
Sehingga misalnya kita ingin “menilai” Jalan Raya Yogya – Semarang itu “Feasiable” atau tidak, bukan dng cara menghitung berapa miliar untung/ruginya jalan tsb pada 2020 kemarin ? Karena pasti akan rugi teruss ! Tetapi dengan cara menghitung berapa rupiah “Benifit” nya sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi selama 2020 kemarin, dan berapa rupiah “Cost” nya untuk pemeliharaan jalan Yogya – Semarang sepanjang 125 km tersebut ?
Setelah itu dilakukan perhitungan “Benifit Cost Ratio” (disingkat BCR ), yaitu dng merasionalisasi antara Benifit dibagi Cost , berapa hasilnya ( besarnya ) ? Kalau BCR>1 maka bagus atau feasible . Tetapi kalau BCR<1 maka tdk feasible atau in effisien.
Jadi, kalau ternyata tdk feasible atau in effisien berarti ada kemungkinan korupsi ! Follow up nya adalah dilakukan pemeriksaan oleh BPK/BPKP. Kalau terbukti ada yang korupsi ya diadili dan dihukum ! Bukan “ujug2” menyerahkan pengelolaan jalan raya Yogya – Semarang itu kepada swasta dengan dibagi dua (misalnya). Misal Yogya – Magelang dikelola JK. Dan Magelang – Semarang dikelola Dahlan Iskan. Kalau cara tersebut yang dilakukan , maka JK dan DI akan memasang ERP (Electronic Road Pricing , spt tol di LN) dan seluruh pengguna jalan diminta untuk membayar sesuai rekaman ERP tsb . Atau Pemerintah yang disuruh bayar ke mereka dng “judul” SUBSIDI. Dan dipastikan tagihan dari swasta tadi berlipat lipat dibanding biaya pemeliharaan saat masih dikelola BINA MARGA !
Kalau hal diatas terjadi, maka artinya Pemerintah telah merubah karakter “Infrastruktur” jalan raya menjadi karakter “komersial”. Artinya kalau sampai terjadi seperti itu, Pemerintah telah merubah Ideologi “Etatisme” dlm pengelolaan jalan raya ( berdasar Panca Sila dan UUD 1945) menjadi Liberal/Kapitalis yang semuanya dihitung dng untung/rugi bukan BCR !
KESIMPULAN :
Kelistrikan pun sama dengan jalan raya Yogya – Semarang itu, yaitu merupakan entitas INFRASTRUKTUR, dengan ciri khas :
1).Dikuasai Negara (di monopoli Negara).
2). Dikelola dng orientasi “Benifit” (Infrastruktur) bukan orientasi “Profit” (Komersial, yang dihitung secara untung/rugi).
Tetapi manakala INFRASTRUKTUR diatas kemudian dirubah menjadi KOMERSIAL (Ideologi LIBERAL) dimana semuanya diserahkan ke swasta , maka swasta akan :
a).Memanfaatkan kondisi monopoli diatas untuk kepentingan pribadi dan “setoran” ke oknum pejabat/Parlemen. Dengan menghitung “cost” serendah mungkin dan “profit” atau keuntungan setinggi mungkin !
b) Swasta akan minta perlindungan kpd oknum Pejabat Pemerintah /DPR/MPR, Aparat Hukum, Pemeriksa dll dengan biaya yang tinggi….untuk melanggar UU dan Konstitusi yang ada !
Maka untuk listrik tahun 2020 kemarin subsidinya menjadi sebesar Rp 200,8 triliun atau membengkak 400 % saat masih dikelola PLN (Repelita Online 8 Nopember 2020).
ITU SEMUA AKIBAT PERUBAHAN IDEOLOGI DARI “INFRASTRUKTUR” MENJADI “KOMERSIAL” !
YANG MELANGGAR PUTUSAN MK/KONSTITUSI !!
JAKARTA, 28 MARET 2021.