OLEH M ARIEF PRANOTO
Telaah Kecil Asymmetric War
Dalam diskusi terbatas di GFI (01/04/21) tentang Kaji Ulang Amandemen UUD 1945, ada poin menarik perihal desain demokrasi.
Adapun narasi ‘desain demokrasi’ adalah sebagai berikut:
Usai Pak Harto lengser, kaum reformis membuat sistem baru tetapi tanpa memahami apa dan bagaimana desain demokrasi.
Euphoria yang muncul kala itu, apapun sistem asal dianggap antitesis Orde Baru (Orba), pasti diterima dan diadopsi, termasuk sistem politik.
Sistem multipartai misalnya, karena dianggap antitesis sistem tiga partai ala Orba, semua elit politik setuju kendati mungkin tidak memahami ‘desain demokrasi’-nya. Bagaimana mungkin, demokrasi belum dipahami, maunya melompat ke sistem multipartai?
Agaknya, semua elemen saat itu termasuk kelompok liberal pun kurang menyadari —atau pura-pura tidak sadar— bahwa isu global sejak 1980-an yaitu: “korporasi yang menegara,” atau korporasi telah menjelma menjadi kekuatan yang bisa mengendalikan negara (above the state).
Nah, sistem demokrasi multipartai ala Eropa Barat dan sistem dwi partai ala Amerika Serikat (AS), misalnya, didesain untuk mengabdi kepada korporasi. Lalu, korporasi global menjalin kolaborasi dengan para elit lokal sebagai konglomerasi.
Itu gagasan yang melatarbelakangi proses empat kali amandemen UUD 1945 dimana titik – didihnya pada dekade 2002 yang melahirkan sistem politik multipartai sebagai tolok ukur bangsa ini (seolah-olah) telah mengakhiri sistem otoriter ala Orba, sementara desain demokrasi dari sistem politik baru justru mengabdi kepada korporasi global yang berkolaborasi dengan konglomerasi lokal.
Ya, desain demokrasi yang berbasis multipartai pasca-Orba ditujukan untuk memblokir (membungkam) aspirasi rakyat. Makanya mereka beramai-ramai mengubah isi pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang hakikatnya menyerahkan kedaulatan dari tangan rakyat ke genggam partai politik pada satu sisi, sedang partai politik bersandar kepada korporasi di sisi lain. Dan MPR dibuat mandul. Inilah ironi reformasi.
Saat Orba tumbang, hampir semua elemen bangsa euphoria dalam kebebasan, lantas euphoria tersebut ‘dibablaskan’ oleh kekuatan asing via “proxy agents”-nya. Maka ibarat berebut rantai untuk mengikat musuh, namun praktiknya justru membelenggu diri sendiri. Inilah yang tengah terjadi.
Terkait amandemen empat kali UUD, Wakil Presiden RI ke-6, Try Sutrisno mengusullan untuk dikaji ulang. Pengkajian tersebut dinilai perlu agar UUD 1945 kembali ke naskah asli.
Pak Try mengatakan, UUD 1945 sejak reformasi telah diamandemen sebanyak empat kali. Menurutnya, hasil amandemen yang sesuai dengan semangat (zaman) saat ini, bisa digunakan namun tetap UUD 1945 harus dikembalikan ke naskah asli.
“Sudah jelas. Istilah kaji ulang ini kembali ke UUD 1945 yang asli. Yang asli dikembalikan dulu. Materi yang empat kali amandemen itu dikaji ulang. Yang cocok untuk zaman sekarang dijadikan lampiran, namanya adendum. Yang tidak cocok jangan ditempelkan di UUD 1945. Jadikan UU biasa saja. Jadi, dalam rangka penyempurnaan UUD 1945, itu boleh saja,” kata Try Sutrisno di Bale Raos, Yogya (29/10/19).
Try menerangkan, amandemen memiliki arti penyempurnaan, melengkapi — bukan mengubah apalagi mengganti.
“Yang awal dikembalikan. Tak boleh diutak-atik. Sampai nanti generasi muda menyempurnakan, tetapi ujudnya adendum, jangan merusak UUD 1945. Sekarang ini, badan tubuhnya (UUD 1945) dirusak, diubah. MPR diturunkan jadi lembaga biasa. Isinya diubah. Jangan mengubah UUD 1945, itu namanya sudah mengkhianati UUD 1945,” kata Pak Try.
Retorika muncul: “Apakah isu perubahan ke-5 UUD boleh dilakukan di tengah pengkhianatan —meminjam istilah Pak Try— terhadap UUD 1945 yang asli?”
)* Bersambung Bag-9 ..