ENERGYWORLD.CO.ID – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Agung Firman Sampurna bungkam ketika ditanya mengenai audit BPK atas pembangkit listrik Blok Rokan. Tak hanya itu, alih-alih memberikan keterangan kepada publik, ia malah memblokir nomor WA wartawan urbannews.id ketika melakukan konfirmasi pada Rabu (28/4/2021).
Dalam konfirmasi tersebut, media urbannews.id mengajukan konfirmasi terkait dengan adanya surat CERI ke BPK RI. Surat ini terkait pembangkit listrik Wilayah Kerja Migas Blok Rokan.
Agung tidak menggubris konfirmasi media urbannews.id yang menanyakan apakah benar menurut keterangan Sekretaris SKK Migas Ir Taslim Z Yunus kepada CERI, bahwa BPK RI Pada Tahun 2014 telah menutup temuan LHP BPK RI tahun 2006 terhadap proses bisnis pembangkit Cogen North Duri Cogen dengan justifikasi pertimbangan operasi, produksi dan pertimbangan hukum.
Sementara itu, dalam suratnya kepada Ketua BPK RI pada 26 April 2021, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman antara lain mengungkapkan proses transisi operator blok Rokan dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada 8 Agustus 2021 mendatang, berpotensi terganggu akibat status pembangkit listrik Cogen North Duri.
Yusri juga mengungkapkan, Sekretaris SKK Migas telah menyatakan kepadanya bahwa pembangkit tersebut bukan barang milik negara, tetapi milik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN).
Akibat pernyataan SKK Migas tersebut, lanjut Yusri, MCTN akan menjual pembangkit listrik tersebut dengan proses lelang yang katanya telah mematok harga dasar USD 300 juta, meskipun pada tahun 2000 pembangkit tersebut bernilai investasi USD 190 juta.
“Sudah jadi pengetahuan umum, Pertamina telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Tenaga listrik dan Uap (PJBTLU) dengan PLN pada 1 Febuari 2021 untuk menyuplai listrik dan steam kebutuhan lapangan minyak blok Rokan agar lifting migas tidak terganggu,” lanjut Yusri.
Yusri melanjutkan bahwa frekwensi listrik yang dibutuhkan blok Rokan 60 herts sementara frekwensi Listrik PLN 50 herts, maka PLN membutuhkan waktu 3 tahun untuk mengkonvert frekwensi listrik PLN untuk Blok Rokan menjadi 60 herts.
“Dengan begitu PLN harus lah dapat memperoleh Pembangkit Listrik ex MCTN itu untuk mencegah terhentinya produksi Blok Rokan yang oleh Presiden ditargetkan sebagai tulang punggung produksi minyak nasional,” beber Yusri.
Masih kata Yusri, PLN katanya, hanya berani menawar pembangkit tersebut hanya senilai USD 30 juta. Diprediksi kemampuan PLN menawar harga itu akan kalah dengan kompetitor lainnya, termasuk para sindikat pemburu rente.
“Kami masih ingat, menurut LHP BPK RI tahun 2006 untuk memeriksa buku tahun 2004 sampai 2005 yang telah menghasilkan banyak temuan penting tentang kecacatan secara peraturan (onwetmatigeheid) setidaknya secara hukum (onrechtmatigeheid) perjanjian ESA antara CPI dengan MCTN. Karena pemegang saham 95% MCTN adalah Chevron Standard Limited (CSL) terafiliasi dengan Chevron, jadi merupakan related party transaction, juga penunjukan MCTN oleh CPI ternyata tidak melalui proses tender,” jelasnya.
Yusri juga mengungkapkan bahwa pemilik saham 5% MCTN adalah PT Nusa Galih Nusantara atau Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949, belakangan pemiliknya bergabung dengan Yayasan Puri Cikeas menurut sumber Gatra edisi 21 April 2021.
“Related party transaction dan penunjukan langsung itu jelas melanggar atau bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 16 tahun 1994 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (onwetmatige) atau setidaknya bertentangan dengan kepantasan dan kepatutan yang harus diindahkan dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian, jadi bersifat melawan hukum (onrechtmatige),” ungkap Yusri.
Dalam Laporan BPK itu, dijelaskan Yusri, keluar beberapa rekomendasi BPK, antara lain meminta agar mengusut siapa yang terlibat dalam pembuatan ESA (Energy Service Agreemnet) antara CPI dengan MCTN yang sangat bermasalah kelahirannya dari perspektif peraturan perundang undang dan atau hukum itu.
“Selain itu, tarif listrik yang dibebankan kepada CPI oleh MCTN ternyata relatif jauh lebih mahal dari tarif listrik PLN, dan oleh CPI dibayar dan dibebankan kepada negara dengan skema cost recovery, meskipun pasokan energi primer berupa gas disediakan oleh CPI sebagai komponen C dari tarif dasar listrik,” tambahnya.
Dengan demikian, Yusri mengatakan bahwa biaya listrik dan steam yang dibayarkan kembali oleh negara melalui pemerintah sangat diragukan kewajaranya dan bisa-bisa telah mengakibatkan kerugian negara bagi pemerintah sebesar USD 210 juta serta berpotensi merugikan negara USD 1,23 miliar sampai 8 Agustus 2021 sebagai batas akhir kontrak.
“Menurut hemat kami, seharusnya pimpinan BP Migas pada tahun 2006 dan penerusnya menindak lanjuti hasil temuan dan rekomendasi BPK agar tidak terjadi kerugian negara setidaknya meninjau kembali (review) perjanjian itu karena kondisinya saat itu hingga sekarang bukan era ORBA (Yayasan Serangan Umum) lagi. Ternyata apa yang dikuatirkan dari LHP BPK saat itu faktanya dirasakan saat ini. Bahwa pembangkit listrik itu oleh SKK Migas telah dinyatakan bukan menjadi milik negara, tetapi tetap milik MCTN, yang berarti mengukuhkan (bekrachtiging) perjanjian ESA dulu yang cacat hukum itu,”paparnya.
“Hal yang sangat mengagetkan kami adalah informasi dari Sekretaris SKK Migas Ir Taslim Z Yunus pada Minggu malam tanggal 25 April 2021 sekitar jam 20.15 WIB melalui dialog pesan whatsapp dengan kami, bahwa BPK RI tahun 2014 telah menutup temuan tersebut dengan justifikasi pertimbangan operasi dan produksi dan pertimbangan hukum,” beber Yusri.
Berdasarkan hal-hal di atas, Yusri mengatakan CERI meminta konfirmasi kepada BPK RI tentang kebenaran informasi dari Sekretaris SKK Migas soal BPK RI tahun 2014 telah menutup temuan tersebut dengan justifikasi pertimbangan operasi dan produksi dan pertimbangan hukum.
“Jika benar, kami mohon informasi. Kemudian bolehkah BPK termasuk yang periode tahun 2014 menutup fakta fakta temuan BPK tahun 2006?,tanyanya.
“Karena sependek pengetahuan kami, fakta itu tidak mungkin hilang (facta aeterna est) dan tidak ada lembaga di Negara ini yang dapat menghapus fakta yang sudah ada incasu temuan BPK dalam LHP tahun 2006 itu,” pungkas Yusri dalam suratnya itu. (AME/EWINDO)