Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Sebagaimana kami sampaikan pada acara ILC TV One pertengahan 2019 yl pasca “black out” Jawa-Bali, bahwa ada indikasi selama ini PLN menjadi “proyek ” para oknum pejabat Negara yg memiliki otoritas thd nasib PLN. Salah satu indikasinya adalah rencana pembangunan pembangkit 35.000 MW yg saat itu direncanakan tanpa RUPTL (Rencana Usaha Pengembangan Tenaga Listrik) dan faktanya pertengahan tahun 2020 BKPM menghentikan proposal baru pembangunan IPP atas permintaan Menteri BUMN.
Dan sekarang ada fakta baru lagi, dimana PLN menunda COD (Commercial Operating Date) atau dimulainya komersialisasi tiga buah pembangkit swasta besar untuk Jawa-Bali (Kontan.co.id 7 Mei 2021). Tiga pembangkit itu antara lain PLTGU Jawa I 1.760 MW di Krawang (Konsursium GE-Pertamina), PLTU Tanjung Jati B 4x 710 MW, PLTU Batang, 2×1000 MW (J Power, Adaro, Itochu) yang ditunda sekitar enam bulan.
Perlu diketahui, meskipun ada penundaan COD tetapi ternyata dalam PPA (Power Purchase Agreement) atau Kontrak antara PLN dng pembangkit swasta itu ada yang disebut klausul TOP (Take Or Pay) dimana bila pembangkit tdk dipakai/di operasikan maka PLN tetap harus membayar stroom pembangkit swasta itu sebesar 80% perhari. Dan “akal2″an spt ini di setting oleh para oknum Menteri/Mantan Menteri spt Luhut Binsar P, Erick Tohir, Dahlan Iskan bahkan saat itu ada Wapres atau Ring 1 kekuasaan.
Bayangkan, meskipun sekitar 6000 MW lebih pembangkit2 diatas tidak beroperasi alias “tidur”, Negara harus tetap membayar milyaran rupiah per hari nya ke pembangkit2 swasta itu, yang notabene didalam Perusahaan2 pembangkit tsb ada saham para oknum pejabat diatas !
Makanya jangan heran bila ada kecenderungan pengadaan proyek kelistrikan secara besar besaran spt proyek 35.000 MW itu, tanpa alasan yang jelas !
MAGELANG, 9 MEI 2021.