CATATAN ENERGY AENDRA MEDITA *)
HARI ini (22 Juni 2021) laman cnbcindonesia.com melaporkan bahwa ada ramalan Harga Minyak Tembus US$ 100/barel, Yakin nih? Begitulah kira-kira judulnya. Dan isinya menyebutkan bahwa sentimen di pasar minyak mentah masih cukup positif sehingga membuat harga si emas hitam mampu untuk reli. Tren kenaikan harga minyak mentah dipicu oleh ketatnya produksi di tengah prospek permintaan yang membaik.
Harga kontrak Brent Agustus naik 0,4% ke US$ 75,21/barel. Sementara itu harga kontrak West Texas Intermediate (WTI) cenderung flat di kisaran US$ 73,64/barel. Harga kedua kontrak tersebut reli panjang sejak minggu terakhir Mei.
Saya sebagai orang yang ingin tahu dan lebih dalam lantas menghubungi kakak senior saya yang sangat expert dalam dunia mingas. Dalam pesannya yang jauh dari sana dia kirimkan kabar bahwa kalo harga minya ke 100$/barrel mungkin berat, tapi bisa jadi. Kalimat itu saya jadikan judul dalam CATATAN ENERGY saya.
Lalu kakak senior ahli migas ini meneruskan kabarnya bahwa ada sejumlah elemen dalam konteks minyak dunia. Ia menuliskan sebagai berikut:
1. Saat Ini supply minyak Masih dibatasi oleh OPEC
2. Demand sudah mulai naik Karena US, Europe dan China sudah mulai orang mobility, terbang etc, seperti sudah recover dari Covid
3. India Juga pelan-pelan mulai recover dari Covid kendati slowly
4. Stock minyak sdh mulai pada habis
Lalu dia bilang bahwa penyebab harga saat ini Brent Crude sudah meyentuh 75 $ per Barrel. “Maka jika 100 $/barel? Bisa jadi. Karena: reaksi supply yang masih sedikit nambahnya. Pun proyek migas sepi sejak dua tahun Ini. Spending seluruh dunia di proyek explorasi hanya 200 billion. Artinya Stagnant. Padahal upaya reserve replacement perlu dan wajib,” tulisnya.
Dilanjutkan juga analisanya begini, bahwa Shale Oil Amerika total produksi rerata sudah tembus lagi ke 12 juta bopd. Dan jika over supply maka harga minyak bakalan tertahan di level 80$ per barel saja. Sehingga tidak sampai 100$ perbarel.
Kakak senior saya ini juga mengatakan bahwa harga minyak tinggi juga tidak membuat semata mata producer happy, karena renewable product akan menjadi competitive
Harga akan menyentuh kesetimbangan sekitar akhir December atau early next year.
Remember 100$ itu bisa saja terjadi. Meski kecil kemungkinan, misalnya pasar bisa di banjiri minyak lagi dari US, Iran, dan Libya.
Yang menarik menurut Kakak Senior ini mengatakan bahwa pada tahun pada tahun 2016 dirinya pernah menulis dan saya kutip tulisannya yang luar biasa bagus:
Prediksi Harga Minyak dan Gas Dunia 2017 dan Dampak untuk Indonesia dimana ia melihat secara menyeluruh yang dia analisa bahwa dalam rentang waktu Januari sampai dengan Juli 2014, harga minyak dunia versi WTI (West Texas Intermediate) rata-rata selalu bertengger di atas 100 USD per barel, menikmati masa-masa terbaiknya. Bahkan pada 30 Juli 2014, harga minyak mentah masih tercatat di sekitar 104.3 USD per barel. Namun apa daya, dalam periode enam bulan berikutnya, tepatnya di akhir Januari 2015, harga minyak turun secara tajam ke level 44 USD per barel saja.
Perlu kita ketahui bersama, referensi WTI dari Amerika ini adalah salah satu rujukan (benchmark) harga minyak mentah di seluruh dunia, termasuk harga minyak mentah dari perut bumi Indonesia. Harga harian tertinggi minyak WTI dalam siklus 10 tahunan-nya bahkan pernah menyentuh puncak 145.3 USD per barel tertanggal 3 Juli 2008. Rujukan lain yang juga tak kalah populer selain WTI adalah Brent yang referensi-nya cukup populer untuk minyak yang berasal dari Laut Utara (North Sea) dengan target pasar Eropa.
Sejatinya, harga minyak mentah yang berkualitas tinggi merujuk pada dua faktor kualitas utama yaitu grade dengan kepadatan yang relatif rendah (low density) serta kandungan sulfur yang juga rendah (sweet). Dengan dua faktor utama ini, pembeli dapat memberikan harga yang layak pada jenis minyak yang beraneka jenis di pasar dunia. Pembeli akan memberikan harga yang layak kepada penjual jika kualitasnya bagus, namun pembeli akan mengajukan diskon jika kualitasnya adalah minyak berat dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Harga minyak Brent umumnya selalu di atas WTI sekitar 5 USD per barel dikarenakan kualitasnya yang premium. Namun, penyebab persis naik turunnya harga minyak merupakan cerita yang cukup kompleks, dampaknya apalagi. Melalui pemahaman bagaimana global crude oil pricing ini bekerja, kita tentunya berharap, bahwa kita mampu mengidentifikasi semua risiko, dampak serta mengolah berbagai macam potensi sumber energi yang kita miliki serta membuat strategi kebijakan ketahanan energy yang lebih baik untuk sebesarnya kemakmuran rakyat.
Fenomena super cycle?
Dalam tren penurunannya, harga minyak dunia (WTI) sempat menyentuh titik nadir terendahnya 26.2 USD pern barel pada 11 Februari 2016. Saat ini pertanggal 13 September 2016, harga minyak mentah masih di sekitar 44.9 USD per barel saja. Bahwa kemudian, harga minyak dunia mempengaruhi ekonomi global, ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri (Yale, 2015). Harga minyak mentah juga mempengaruhi harga dari produk hidrokarbon turunannya.
Jika kita perhatikan secara seksama dalam rentang 70 tahun-an industri perminyakan, tren harga minyak mentah rendah saat ini bukanlah untuk yang pertama kalinya terjadi. Namun, kali ini, cukup berbeda dan membuat heboh karena selama hampir 3,5 tahun berada dalam kisaran harga 90 USD per barel lalu terjerembab menjadi setengahnya dalam kurun dua bulan saja.
Beberapa analis kenamaan serta ekonomis mengatakan, bahwa fenomena rendahnya harga minyak yang menimpa saat ini bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Namun, tren ini merupakan suatu siklus normal yang berulang dinamakan “super cycle” dari suatu komoditas yang biasa dijual belikan dalam market (Julian Simon, 1980). Pakar ini menyebutkan bahwa teknologi akan selalu mampu meningkatkan pasokan suatu komoditas (dalam hal ini minyak) dengan memanfaatkan sumber daya–sumber daya baru yang sebelumnya tidak tersedia sehingga mengakibatkan harga komoditas akan jatuh karena berlebih nya pasokan.
Dan luar biasa, kali ini, prediksi Julian tersebut terbukti kembali. Sejatinya shale oil ini (minyak serpih) di Amerika bukanlah penemuan baru namun sebenarnya sudah ada selama 60 tahun. Namun, yang benar-benar baru adalah teknologi fracking (hydraulic fracturing technology atau teknologi rekah) telah jauh lebih baik dalam beberapa tahun terakhir. Berhasilnya teknologi di Amerika ini, bahkan mampu meningkatkan produksi minyak dua kali lipat hampir 4,5 juta barel per hari, sehingga secara keseluruhan produksi minyak Amerika mendekati 13 juta barel per hari. Kondisi inilah yang sejatinya membuat supply minyak mentah menjadi berlebih.
Harga minyak?
Timbulah pertanyaan paling mendasar untuk kita semua, faktor apa sajakah yang memengaruhi harga minyak ini? Apakah sesederhana prinsip supply (pasokan) dan demand (permintaan)? Ternyata tidak sesederhana itu, ada faktor lain yaitu sentimen pasar. Termasuk di antara nya adalah: kondisi tingkat produksi serta cadangan Amerika serta OPEC, geopolitik, kemampuan laten produksi beberapa negara penghasil minyak (Non-OPEC), faktor kekuatan mata uang Amerika, pertumbuhan ekonomi Cina, dan lainnya.
Dari kebutuhan minyak mentah dunia saat ini sekitar 90 juta barel per hari, supply dari negara negara OPEC hanya sekitar 34 juta saja sedangkan supply terbanyak di dominasi oleh negara Non OPEC termasuk Rusia dan Amerika. Data Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) menyebutkan, konsumsi dunia pada tahun 2015 mencapai 92,8 juta barel per hari (bph) naik 0,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Ada 15 negara dengan besar konsumsi melebihi 1,5 juta bph. Amerika Serikat di peringkat pertama dengan 19 juta bph, diikuti Cina (11,1) dan Jepang (4,3). Indonesia berada di peringkat 13 dengan konsumsi 1,6 juta bph.
Sejumlah elemen yang disebut diatas memang konteks minyak dunia akan berpatokan pada supply minyak yang terkait OPEC. Jadi kita lihat saja apakah ramalan 100$/barel akan terwujud? Atau hanay ramalan semata, tapi yang jelas analisa kakak senior ini bagi saya memang jelas. Kita lihat apa yang akan terjadi… (RED)
*)Pemimpin Redaksi energyworld.co.id