Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar dalam diskusi virtual mengenai rencana IPO Holding Geothermal Indonesia bersama Dewan Energi Mahasiswa, Sabtu (7/8/2021) secara konsisten menolak rencana Initial Publik Offering (IPO) anak usaha Pertamina.
“Secara yuridis, penjualan saham anak usaha Pertamina sebagai BUMN ke publik itu bertentangan dengan UU BUMN, bahkan tidak sejalan dengan pasal 33 UUD 1945. IPO dikhawatirkan membahayakan kedaulatan energi nasional karena Perusahaan migas pelat merah itu menguasai hajat hidup orang banyak,” kata Arie Gumilar.
Sesuai rencana akan dilakukannya IPO terhadap 5 Anak Usaha Inti Pertamina, apalagi 3 dari 5 Anak Usaha Inti Pertamina tersebut yakni PT. Pertamina Geothermal Energy, PT. Pertamina Hulu Energi, dan PT. Pertamina International Shipping adalah anak usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
“Rencana IPO ini akan menimbulkan beberapa kekhawatiran. Rencana sudah memicu pro dan kontra, dengan alasan masing-masing. Dan FSPPB tetap konsisten menolak rencana Pemerintah melalui Kementerian BUMN menjual saham anak usaha Pertamina melalui pasar modal tersebut,” jelasnya.
Ditambahkan Arie bahwa pembentukan Sub Holding berpotensi mengarah kepada rencana pelepasan asset melalui IPO yang akan mengakibatkan tidak dapat dikontrolnya harga produk karena penentuan harga berpotensi akan diserahkan kepada mekanisme pasar, ujar Arie.
Pertama, berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d), bahwa “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;” bunyi pasal 77 huruf (c).
Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi, bunyi pasal 77 huruf (d).
Kedua, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
Keempat, potensi terjadinya Silo-silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing. Kelima, terjadinya tumpang tindih bisnis antar Sub Holding yang memicu terjadinya persaingan yang tidak sehat.
Keenam, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin setiap subholding hanya memikirkan mengejar keuntungan dibandingkan memikirkan kepentingan rakyat.
Ketujuh, hilangnya Privilege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO. Dan kedelapan, mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan.(RED/EWINDO)