OLEH AENDRA MEDITA, PEMIMPIN REDAKSI ENERGYWORLDINDONESIA
BLOK Rokan 9 Agustus 2021 balik lagi ke Indonesia. Ya harus balik lagi ke pangkuan Ibu pertiwi memang begitu harusnya. Jangan lebaylah bahwa kini katanya sukses diambil alih oleh negara. Loh aturannya memang harus balik karena PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang sudah lebih dari 90 tahun itu memang habis kontrak. Pengelolaannya memang harus dikembalikan kepada negara, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Migas tahun 2001. Makanya baca yang serius UU itu.
Namun berita digoreng dan masif Menteri BUMN, Erick Thohir ‘memamerkan’ Blok Rokan yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Iklan dan pernyataan pun keluar dari korporasi plat merah Pertamina yang akan mengelola. Kabarnya Tim anak perusahaan yang kelola yaitu Pertamina Hulu Rokan (PHR) juga sudah diterima Presiden dan berfoto bersama di Istana. Bangga boleh dan itu sah, saya juga bangga kok Pertamina kalau mengelolanya. Asal serius. Tapi harus ingat…kepergian Chevron di Blok Rokan sebenarnya menyimpan luka. Silakan lihat Video linknya:
LIMBAH CHEVRON BEDA DENGAN SHELL
Seorang tokoh di kawasan Blok Rokan kebunnya kena dampak yang serius. Dampak limbah TTM – B3 ini sangat berbahaya. Sedih kalau lihat kondisinya. Tapi nampaknya Chevron tak peduli dan dalam hal ini SKK Migas pula yang kompeten tak pernah mau peduli, bahkan dianggap itu dampak B3 dari limbah Chevron itu masuk dalam cost recovery. Asyik banget Cheveron hengkang dan pergi tanpa ada rasa bersalah. Sedih beda dengan kasus Shell di Nigeria yang saat ini akan bayar ke mereka terdampak lingkungan.
SHELL akan dipastikan akan membayar $ 110 juta untuk mengakhiri kasus tumpahan minyak Nigeria selama 30 tahun. Shell Nigeria telah setuju untuk membayar sebuah komunitas di negara Afrika Barat lebih dari $ 110 juta (£ 79,3 juta) untuk menyelesaikan perselisihan jangka panjang atas tumpahan minyak yang terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu. Raksasa energi Inggris-Belanda akan membayar orang Ejama-Ebubu 45,7 miliar naira ($ 110,9 juta) sebagai kompensasi untuk mengakhiri kasus hukum yang dimulai pada tahun 1991, pengacara komunitas Lucius Nwosu mengatakan melalui telepon. Shell mendekati pengadilan di Abuja, ibukota Nigeria, pada hari Rabu untuk mengungkapkan perkembangannya, katanya dikutip Blommberg dan lama energyvoice.com
Pembayaran “adalah untuk kepuasan penuh dan terakhir” dari putusan pengadilan yang dikeluarkan terhadap perusahaan 11 tahun lalu, kata juru bicara Shell Nigeria melalui email.
Asal usul keluhan masyarakat terhadap Shell berawal dari pecahnya salah satu saluran pipa perusahaan pada tahun 1970. Shell mengatakan bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh “pihak ketiga” selama perang saudara yang berkecamuk saat itu.
Sementara usaha patungan yang dioperasikan Shell “tidak menerima tanggung jawab atau kewajiban atas tumpahan ini, situs yang terkena dampak di komunitas Ebubu sepenuhnya diperbaiki,” kata perusahaan itu.
Pada tahun 2010, pengadilan Federal memerintahkan Shell untuk membayar 17 miliar naira kepada masyarakat. Perusahaan minyak besar itu tidak berhasil menantang keputusan tersebut dalam beberapa kesempatan, termasuk yang terakhir di Mahkamah Agung pada bulan November.
Pada bulan Maret 2020, seorang hakim dalam kasus pengadilan terkait mengatakan bahwa, dengan bunga yang masih harus dibayar, utang Shell mencapai hampir 183 miliar naira pada Januari 2019 – penilaian yang ditentang keras oleh perusahaan.

Pada bulan Februari, Shell memulai proses arbitrase terhadap pemerintah Nigeria di Pusat Internasional untuk Penyelesaian Perselisihan Investasi Bank Dunia menyusul upayanya yang gagal untuk membatalkan putusan tahun 2010. Shell tidak mengatakan dalam pernyataannya apakah akan menarik klaim tersebut.
Itu hanya perbandingan, namun bagi kami di redaksi menarik membandingkannya, karena rasa tanggung jawab itu nampak di Negeria. Di Blok Rokan yang membongkar limbah Chevron “sengaja” dibuang ke kebun rakyat sempat dibongkar oleh orang Dinas KLH Riau, namun tak lama dia kena mutasi. Ini makin absurd.
Surat tanggal 20 Januari 2021 menyarankan agar dilaksanakan audit lingkungan hidup yang bersifat sukarela dengan ruang lingkup khusus, meliputi lokasi-lokasi lahan masyarakat. Utamanya di Kabupaten Siak, Bengkalis dan Rokan Hilir, sehingga penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Kini sejumlah aktivis yang peduli tanah Riau atas kasus limbah sedang dalam proses pengadilan. Hasilnya? Kita tunggu saja. Yang lebih ditekankan juga bahwa kasus limbah di Blok Rokan itu sebenarnya bukan tanggung jawab Cost Recovery jadi snagat salah jika itu di bebankan disana. Cost Recoverykan hanya mengatur cost yang jadi tanggung jawab negara. Kalau tanggung jawab tentang pengambilan keputusan tidak bisa berlindung di cost recovery. “Sesuai peraturan atau tidak kalau cost recovery mengatur soal itu, wah yang nego dan tentang cost recovery agreement perlu diperiksa jika urusan limbah jadi beban cost recovery,” ujar sumber redaksi yang belum mau disebutkan namanya dulu ini.
Intinya PSC hanya kontraktor, lanjut sumber kami lagi. Yang tanggung jawab yang negara kan aneh . Kalau PT CPI ke sana seperti buang tanggung jawab, Ada Limbah Migas denga cara Dumping bahaya.
BACA: CHEVRON SENGAJA BUANG LIMBAH B3 DI BLOK ROKAN
Kembali ke soal judul diatas Blok Rokan yang Diimpikan Naik Hasilnya. Apakah ini akan berhasil kita lihat juga nanti. Tapi kami ingin mencoba melihat pernyataan seorang tokoh dari partai Demokrat yang kini bertugas di Badang Pemeriksa Keaungan (BPK), yang sempat sempatnya dia bikin kicauan akunnya di soal kasus Blok Rokan atas Chevron. Kami kutip isinya:

Yusri juga menegaskan pernyataan Ahsanul Qosasih lebih tepat dan baik dia bicara mengapa temuan BPK tahun 2006 terkait pembangkit listrik MCTN. “Kenapa tak di follow up pembangkit listrik MCTN daripada menebak masa depan Blok Rokan,” jelasnya.
Perdebatan ini menarik Blok Rokan detekan harus lebih tinggi hasilnya pun pernyataan Presiden pun mengatakan demikian, “Jangan sampai produksi WK Rokan turun,” ujar Presiden yang bahwkan meme diksi ini dikutip banyak media.
Bisakah atau mimpi?
“Berat bebannya kang,” kata kawan pakar energi yang enggan disebutkan namnya. Da tak mau lagi bahas Blok Rokan.
Kqwan saya yang juga ahli migas lulusan Amerika dan pernah kerja di sejumlah perushaan migas dunia menyampaikan pesan begini:
“Iya kang. Memang saya nggak tau tepatnya, tapi logika sih kondisi resevoir nya sdh sulit dinaikkan. Kalo ada pun, sumur-sumur baru yang secara ekonomis tergolong lebih mahal dan size-nya lebih kecil,”ungkap kawan saya ini yang juga tak mau disebut namanya.
Kawan saya juga menyampikan, biasanya sumur-sumur yang paling low cost dan size besar yang di produksi lebih dulu. Jadi menurut saya, Chevron nggak terlalu berminat karena tau size-nya sudah mengecil. Kalau masih besar, pasti Chevron akan pake jalur khusus Washington untuk dapat itu ke pemerintah Indonesia. Sudah biasa seperti itu, contoh Exxon Mobil atayu ConocoPhilips hehehe, “kata kawan saya ini berseloroh.
Saya jadi penasaran maksudnya Washington itu “Gedung putih” ya? tanya saya penasaran. “Iya,” jawabnya pendek.
Kawan saya juga menambahkan saat waktu di tender kemarin, sudah pasti menang Pertamina. Karena yang dibandingkan berapa besar keuntungan untuk pemerintah Indonesia. Karena bagi hasil kontraktor Psc 20%, ya untuk kasus Pertamina akan balik ke Pemerintah Indonesia. Jadi praktis profit pemerintah 100%. Kalau opsi Chevron, hanya 80%
“Saya lihat kasus Rokan terlalu digede-gedein. Semua pasti ingin jika bisa dikelola Indonesia. Tapi ini lebay pemberitaannya. Sepetunya hebat banget usaha Pertamina. “Padahal itu di kasih karen akontrak PSC Chevron habis dan tidak diperpanjang. Sekarang ditambah seakan-akan Blok Rokan masih hebat. Padahal tinggal sisanya saja,” jelasnya
Saya sependapat dengannya seperti diatas ditulis bahwa Blok Rokan itu seakan lebay dan di agung-agungkan. Padaha bagi kami diam juga jelas Blok Rokan harus balik kembali kepemikiannnya untuk negeri ini.
Kawan saya malah mengatakan bahwa, dirinya juga bingung. “Padahal banyak yang pintar-pintar soal oil and gas. Koq bisa seperti itu ya,” paparnya.
Lantas apakah ini seperti ada deal untuk EOR Rokan, walau kemungkinan pertambahan produksi kecil sekali. Tapi yang penting kan ada proyek dulu….Ujung-ujungnya dana. “Pertamina butuh USD 2 billion untuk investasi di Rokan sedang profit group Pertamina 2020 hanya USD 1 billion,” jelasnya. Nah loh….
Kita tunggu next move nya apa lagi….Saya pun mengakhiri pembicaran dengan dia. Karena waktu bergulir malam.
Namun yang dikuartrikan nampaknya muncul juga, bagi Yusri Usman Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), bahwa Soal Blok Rokan dengan terbitnya Perarutan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2021, menjadikan aturan tersebut membolehkan PT Pertamina (Persero) untuk melepas hak partisipasi (Particpating Interest atau PI) dalam pengelolaan blok migas lebih dari 51%, atau menjadi minoritas di blok migas yang habis masa kontraknya.
“Jika benar itu isinya, maka ini adalah sebuah kado paling pahit bagi Pertamina dari pemerintah menjelang hari kemerdekaan RI ke 76, dan tentu akan meruntuhkan moril staf dan karyawan Pertamina,” ungkap Yusri.
Ironisnya, kata Yusri lagi, kado itu diberikan di saat Pertamina baru berhasil mengambil alih lapangan migas Blok Rokan yang dulu merupakan primadona migas nasional yang pernah mencatat produksi mencapai 1 juta barel perhari pada tahun 1973 hingga 1977.
“Tentu pertanyaannya adalah, apa ini cara Presiden Jokowi yang pernah berjanji akan membesarkan Pertamina mengalahkan Petronas?,” ungkap Yusri.
Menurut Yusri, jika dasar aturan itu disebabkan bahwa pemerintah menganggap Pertamina tidak mampu menjaga laju produksi terhadap terminasi blok migas, tentu tidak bisa kesalahan itu justru dibebankan hanya kepada Pertamina sendiri.
“Ada peran kementerian lain yang harus disoal juga, yakni Kementerian BUMN yang sering bongkar pasang struktur organisasi dan jajaran direksi,” beber Yusri.
Selain itu, kata Yusri, ada peran Ditjen Migas Kementerian ESDM sebagai pembina teknis dan SKK Migas sebagai pengendali dan pengawas Pertamina di hulu, yang harusnya menjadi tanggung renteng bersama jika Pertamina dianggap gagal.
“Mengapa tidak pemerintah melarang juga Pertamina ekspansi di luar negeri, jika di dalam negeri juga dianggap tak mampu,” ungkap Yusri. Yusri juga menyoroti salah satu ketentuan yang diatur dalam beleid itu adalah tentang diperbolehkannya PT Pertamina (Persero) untuk melepas hak partisipasi (Particpating Interest/PI) dalam pengelolaan blok migas lebih dari 51%, atau menjadi minoritas di blok migas yang habis masa kontraknya.
Padahal, selama ini pemerintah mengamanatkan Pertamina untuk tetap memiliki PI mayoritas di suatu blok migas, meskipun baru dialihkan ke Pertamina setelah selesai masa kontraknya dari kontraktor lain.

Senada dengan itu DR Kurtubi ikut menyoroti kasus Blok Rokan ini ia menyebut bahwa Undang-Undang No.8/1971, blok-blok migas yang selesai kontrak otomatis kembali ke Pertamina sebagai pihak yang menandatangani Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) dengan Caltex Pacific Indonesia (CPI). Karena, Pertamina berdasarkan Undang-Undang No. 8/1971, sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
Maka pengambil alihan Blok Rokan yang selesai kontrak, pasti berjalan dengan efisien tidak perlu lewat perantara pihak ketiga BP Migas atau SKK Migas. Sehingga Pertamina tidak perlu bayar Signature Bonus yang sangat besar, yang menyebabkan Pertamina harus mengeluarkan International Bond senilai US$700 juta di Singapura.
Selain itu Pertamina bahkan bisa masuk aktif ke lapangan CPI sebelum berakhir kontrak sebagai persiapan pengalihan, agar bisa mempersiapkan secara pasti dana yang dibutuhkan untuk mempertahankan.atau meningkatkan produksi pasca berakhirnya kontrak, termasuk mengimplementasikan
Enhanced Oil Recovery (EOR) Surfactant yang sudah berhasil dilakukan pada level pilot project. Bahkan Pertamina akan lebih leluasa untuk melakukan studi atau pilot project untuk menggunakan gas CO2 yang sangat besar di Natuna Utara untuk dialirkan ke Blok Rokan. Teknologi EOR dengan memakai CO2 sudah banyak berhasil dinegara-negara lain.
Tapi karena proses pengambil alihan Blok Rokan yang selesai kontraknya ini menggunakan Undang-Undang Migas No.22/2001, dimana Kuasa Pertambangan diambil dari Pertamina dan dioper ke Kementerian ESDM kemudian membentuk BP Migas,–setelah terbukti melanggar Konstitusi dan dibubarkan oleh MK, kemudian berganti nama menjadi SKK Migas,– karena sebenarnya pemerintah itu tidak eligible untuk memegang Kuasa Pertambangan.
Akibatnya blok-blok migas yang selesai Kontrak PSC nya tidak bisa dikerjakan langsung kegiatan usaha di Blok Rokan oleh Pemegang Kuasa Pertambangan.
Maka muncullah ide mekanisme Blok Rokan ‘dijual lewat tender’ oleh Kementerian ESDM dan yang ‘menang’ Pertamina. “Tidak jelas benar apa alasannya, mengapa orang-orang di Kementerian ESDM tiba-tiba sudah mempersiapkan Kepmen ESDM untuk ‘memaksa’ Pertamina mencari patner lewat Divestasi Saham Blok Rokan 51% ?” tanyanya.
Nah… jadi bagaimana pun harusnya kegaduhan ini dibuka secara transfaran, soal Blok Rokan ini jika awalnya sdh bikin blunder dan bahkan sisanya meninggilkan kasus limbah B3 yang belum tuntas maka ini akan terus ramai. Lalu apa yang harus dilakukan kita lihat saja apakah mimpi itu terjadi? ***