ENERGYWORLDINDONESIA – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang merupakan lembaga riset independen dan otonom merespon Pidato Kenegaraan dan Nota Keuangan RAPBN 2022. Pada 17 Agustus 2021 sejumlah tokoh INDEF berbicara dalam Webinar dan hasilnya adalah sebagai berikut:
“Menanggapai isu-isu strategis dari pidato presiden pada 16/8/2021 dapat ditanggapi bahwa untuk reformasi struktur ekonomi nasional memang masih didominasi oleh sektor rumah tangga. Ke depan, bagaimana dapat mengalihkan pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif sehingga bisa lebih mendorong investasi, hilirisasi dan ekspor, “ujar Eisha M Rachbini, Ph.D.
Eisha juga menilai bahwa pada Q2/2021 petumbuhan ekonomi ditopang oleh ekspor. Namun impor terlihat menurun yang sebenarnya gejala menurunnya impor terjadi sejak 2018. Menurunnya impor bahan baku produksi karena terjadinya kontraksi pengetatan ekonomi sehingga industri DN tidak bisa berproduksi. Tapi ekpsornya menurun. Jadi positifnya neraca perdagangan saat ini bukan hanya semata-mata naiknya ekspor tetapi memang impor yang turun lebih banyak dibanding ekspor itu sendiri.
“Ekspor non migas masih mendominasi positif, hal itu yang mendorong positifnya neraca perdagangan nasional. Ekspor juga didukung oleh membaiknya harga komoditas di pasar internasional sejak 2020 dan diperkirakan melonjak naik pada 2021 ini dengan membaiknya demand komoditas,” jelasnya.
Ditambahkannya bahwa untuk mendorong struktur ekonomi yang berkualitas, sektor industri harus segera memulai memproduksi barang yang bernilai tambah tinggi seperti produk hi tech yang masih amat rendah nilainya berkisar 3 persen. Namun pertumbuhan PDB indutri manufaktur ternyata stagnan, bahkan sebelum pandemi covid 19, yakni hanya sekitar 4,1 persen.
“Sedangkan pertumbuhan PDN industri manufaktur dibanding total PDB sharenya terus mengalami penurunan rata-rata hanya 21 persen sebelum pandemi. ketika pandemi, dampaknya sangat besar terhadap industri manufaktur nasional. Sementara itu masih menjadi pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi nasional dapat kembali ke angka sekitar 5 persen sebelum pandemi,”paparnya.
Masih kata Eisha bahwa industri nasional juga ternyata masih amat butuh bahan baku impor dari luar negeri. termasuk untuk industri obat, farmasi, vaksin dan alat-alat kesehatan yang sempat disinggung oleh presiden yang menginginkan mandirinya sektor tersebut. Namun harus disadari bahwa industri sektor farmasi, obat, vaksin dan alkes adalah industri yang padat modal dan membutuhkan investasi yang amat mahal karena belum bisa diproduksi di dalam negeri,”bebernya.
Sektor UMKM, lanjutnya masih jadi tulang punggung perekonomian nasional karena mampu menyerap 97 persen tenaga kerja dan 6 persen PDB. Namun untuk ekspor pertumbuhan UMKM masih kecil yakni hanya 16 persen dari total ekspor.
“UMKM harus segera didorong menguasai sektor perdagangan digital. Sayangnya, penggunaan internet Indonesia masih tergolong rendah di ASEAN, di bawah 50 persen dari total individu. Internet server per 1 juta orang masih di bawah Vietnam dan jauh di bawah Malaysia,”ungkpanya.
Dalam kesempatan yang sama Ekonom senior INDEF Drajat Wibowo melihat dari sisi elastisitas kesehatan publik dan ekonomi kesehatan, elastisitas produksi kesehatan (indicator 0 – 1) dapat dipakai sebagai salah satu kriteria untuk mengetahui apakah pembatasan sosial PPKM atau lainnya bisa dilonggarkan. “Pelonggaran bisa dilakukan bila angkanya kurang dari 1 dan risiko re eskalasi rendah. Jika lebih dari 1 maka pelonggaran tidak direkomendasikan,” ujarnya.
Drajat memandang pandemi dan PPKM sangat memukul ekonomi rumah tangga dari rakyat berpengahsilan harian. Hal itu karena jumlah orang yang bergantung kepada penghasilan harian baik formal ataupun non formal sangatlah besar. BPS mencatat, jumlah pekerja pada Agustus 2020 adalah 128,45 juta angkatan kerja. Sejumlah 77,67 juta (60,47 %) diantaranya adalah pekerja informal, baik pertanian maupun non pertanian. Dari pekerja formal, 27,48 juta di manufaktur dan sebagian besar mereka menerima upah harian.
“Karena itu, sebelum covid 19 teratasi, dalam arti menjadi penyakit yang mudah diobati (seperti flu biasa) melalui vaksinasi dan/atau ditemukan obat-obatan dan perawatan preventif medis atau kuratif, maka program perlindungan sosial (Perlinsos) amat sangat krusial. Dia harus berada dalam jantung program penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi,” tegasnya.
Sementara itu Wakil Direktur INDEF Eko Listyanto mengartakan tiinjauan dari inflasi yang diproyeksikan 3 persen adalah signal dari perbaikan pertumbuhan ekonomi karena di era pertumbuhan biasanya akan diikuti dengan peningkatan inflasi.
“Inflasi di Indonesia biasanya relatif pelan-pelan dan tidak akan tiba-tiba melonjak karena pemulihannya juga perlahan. Ketika daya beli masyarakat terpukul di kala pandemi, maka saat terjadi pemulihan produsen tidak akan segera menaikkan harga karena daya beli masyarakat juga belum langsung pulih. BI rate juga diperkirakan tidak akan turun lebih dulu bahkan kemungkinan menaik bila terjadi gejolak di pasar keuangan,” jelasnya.
Yang harus diwaspadai pada 2022 tetaplah inflasi pangan pada saat pemulihan ekonomi. Hal itu yang harus menjadi prioritas perhatian pemerintah terutama aspek aksesibilitas. Ketika demand meningkat tidak semua daerah punya stok cukup untuk mensuplai pasar, sehingga ada daerah-daerah yang minus dan menjadi efek inflatoir, tambahnya.
“Nilai tukar juga tetap optimis pada Rp14.350 per USD, yang mungkin adalah gambaran dari optimisme pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Tetapi jika speed of recovery dari negara-negara maju berbeda dengan domestik, maka mungkin ada capital outflow yang pindah ke negara-negara maju akibat lambatnya recovery dalam negeri. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi BI dalam mengendalikan rupiah pada 2022,”paparnya.
Namun lanjut Eko, pemulihan yang cepat di negara-negara maju adalah peluang besar bagi Indonesia untuk mendorong ekspor. Dari situlah ada peluang untuk menghasilkan devisa dan memberi bantalan pada penguatan nilai tukar. Harus ditinjau lagi mana yang lebih di antara aspek tantangan dan peluang tersebut,”ungkapnya.
Eko melihat bahwa suku bunga dengan SUN 10 tahun bisa dikatakan moderat dan tidak bisa juga disebutkan yield yang rendah, karena jika 7 persen yield masih terbilang tinggi. Namun bisa dimengerti apabila itu adalah upaya untuk menambal defisit yang masih cukup tinggi (4,85 % pada RAPBN 2022).
“Yang harus diwaspadai adalah kompetisi perburuan dana versus negara-negara berkembang yang akan menentukan apakah akan mencapai target 7 persen ataukah akan naik, karena hampir semua negara ingin mempercepat recovery dan menambal defisit dana di pasar likuiditas,”pungkasnya. (AEN/EWINDO)