ENERGYWORLDINDONESIA – “Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini” dengan tema “Katanya Pertumbuhan Ekonomi Naik, Kok Kredit Masih Seret?” pada Rabu, (25/08/2021) yang menampilkan pembicara Dr Aviliani, Ekonom INDEF dan Eko B. Supriyanto, ME, Pimpinan Redaksi INFOBANK menarik.
Dalam diskusinya sebagai pengantar awal Prof. Dr. Didik J Rachbini menyatakan dahulu kampanye penetrasi perbankan ke masyarakat dilakukan intensif ke seluruh negeri melalui radio untuk menabung dan mengenal bank.
“Dengan sosialisasi masif ke tengah masyarakat agar mau menabung ke perbankan antara lain dengan kampanye Tabanas/Taska. Penetrasi bank pada tahun 1970-1n dan 1980-an awal hanya sekitar 10%. Ini menunjukkan Indonesia masih negara miskin dan kurng maju dalam perbankan,” ungkapnya.
Didik juga mengatakan baru kemudian paska krisis 80-an ketika pendapatan negara hanya dari Oil Boom dan terjadi krisis ketika harga minyak jatuh jauh sekali, baru diadakan deregulasi perbankan oleh pemerintah orde baru. Setelah deregulasi perbankan dengan pakto 88, maka pertumbuhan bank menjadi banyak sekali. Sampai ada anekdot, ketika kita melempar batu, maka pasti akan terkena atap sebuah bank. Ketika itu, penetrasi perbankan sampai dengan 1998 sempat menyentuh angka 62%.
“Namun setelah itu penetrasi perbankan terus turun. Bahkan tragisnya saat ini penetrasi perbankan ke masyarakat meski dalam keadaan normal hanya 42% malah lebih rendah dari penetrasi perbankan Filipina 70%, Bangladesh 64% bahkan kalah dengan Myanmar. Apalagi Singapura yang 136%. Menjadi pertanyaan, apa saja yang dikerjakan perbankan saat ini?” tanyanya.
Pimpinan bank pemerintah mencari posisi aman dengan tidak terus mengembangkan level pentrasinya tetap rendah, bahkan lebih rendah dari Myanmar, Bangladesh dan Pakistan. Bank tidak memjadi pelopor mendorong dinamika bisnis, cuma ikut saja perdagangan dan bisnis yang ada.
“CEO BUMN pemerintah, termasuk bank, seperti dalam disertasi Sandi Uno level entrepreneurship inisiatifnya sangat rendah hanya 44 persen. Ini menyebabkan BUMN dan bank BUMN mandeg. Jika demikian terus maka, Indonesia akan terus tertinggal dan cepat tua karena sebelum naik menjadi negara kaya semua indikatornya sudah meredup.
Ada kesan, setelah krisis perbankan cenderung tidak bergerak untuk penetrasi ke masyarakat, dan hanya “melayani” orang-orang kaya saja. Bahkan terkesan manja ketika hanya “main” di SUN yang pertumbuhannya hampir 40%. SUN juga bunganya paling tinggi di dunia dan amat menguras pajak masyarakat. Pertumbuhan perbankan Indonesia pada Januari lalu memprihatinkan sekali (-3,8%), sementara sekarang pertumbuhannya hanya 0,6%. LDR perbankan turun dari 96 ke 80,”beber Rektor Universitas Paramadina ini.
Sementara itu Dr. Aviliani mengatakan bahwa perkembangan perbankan sekarang memang telah berubah. Di masa pandemi seperti sekarang, untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat, pemerintah telah membuat kebijakan agar masyarakat tetap percaya kepada perbankan.
“Tercatat, pertumbuhan dana masyarakat yang disimpan di bank cukup tinggi mencapai 10% yang berarti orang hanya menyimpan saja diperbankan. Hal itu mungkin akibat PPKM dan pandemi hingga masyarakat tidak mau berbelanja dulu dan memilih jalan aman menyimpan saja dananya di perbankan. Itu dari perbankan dapat disimpulkan kepercayaan terhadap perbankan masih tinggi. Pengalaman pada krisis 2008 dan 1998 ketika perbankan collapse maka tingkat kepercayaan masyarakat akan turun,” jelas ekonom senir INDEF ini.
Aviliani menambahkan beruntungnya saat ini tidak terjadi di masa pandemi saat ini. Karena itulah, pertumbuhan ekonomi RI meskipun rendah, tapi terlihat masih biasa-biasa saja.
“Kondisi sejak pandemi diiringi dengan turunnya daya beli masyarakat. Maka otomatis supply atau orang yang bertransaksi/penjualan juga akan turun. Jika konsumen tidak ada, maka transaksi ke perbankan juga akan tidak ada karena tidak ada juga rencana investasi. Akibat dari itu penyaluran kredit perbankan akan rendah, bahkan tumbuh negatif. Jika dipaksakan bank untuk memberikan kredit, masalahnya yang meminta kredit bank tidak ada. Lalu, saat ini jika ada yang mengajukan kredit, maka akan diseleksi dulu soal kelayakan pemberian kredit,” jelasnya.
Saat ini lanjut Aviliani terlihat investasi ke arah 2025 mobil listrik akan dipasarkan, karenanya investasi pada produksi nikel sebagai bahan baku baterai menjadi tren. kedua, banyak berkembang perusahaan yang bergerak ke sektor pangan sehingga dapat dikatakan sektor pangan masih tumbuh bagus. Hanya saja, saat ini lebih banyak yang melunasi kredit ketimbang meminta kredit perbankan. Akibatnya terlihat seolah-olah perbankan tumbuh negatif. Padahal dari sisi outstanding terlihat saldo kredit ditambah kredit baru dikurangi peluanasan utang. Tapi yang melunasi lebih banyak.
“Pemerintah juga memberikan kebijakan soal restrukturisasi dengan pemberian restrukturisasi kredit perbankan bagi usaha yang terkena masalah. Tentu saja hal itu tergantung bank dan bagaimana masalahnya. Dari soal restrukturisasi saja jumlahnya sudah hampir Rp700 triliun kredit yang tertunda pembayaran angsurannya baik UKM ataupun Corporate, sampai ke 2022 – 2023,” unkapnya.
Saat ini memang banyak kebijakan yang diberikan agar ekonomi tetap stabil sampai ekonomi membaik. Mungkin hingga 2023 karena pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan lebih buruk ketimbang 2021, tambah dia.
“Karena dana di perbankan banyak, maka jika ada pertanyaan dikemanakan dana tersebut, memang sebaian masuk ke SBN, obligasi yang dijual pemerintah kepada publik, untuk menutupi defisit APBN hampir Rp800 triliun. Dengan demikian karena perbankan juga membeli SBN maka perbankan ikut mendanai negara dalam mendanai defisit APBN karena BI tidak mungkin menalangi semua kebutuhan dana untuk menutupi defisit APBN,”paparnya.
Dengan adanya restrukturisasi, memang keuntungan bank mengalami penurunan karena restrukturisasi membutuhkan biaya bagi bank, karena bank tidak boleh membungakan kembali kredit yang direstrukturisasi, katanyanya.
“Ke depan, penyaluran kredit ke masyarakat tidak akan didominasi oleh lembaga perbankan. Dengan banyak tumbuhnya fintech dan multifinance yang lain, maka alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan kredit mudah dan cepat akan semakin banyak dari lembaga keuangan nonbank,”ungkapnya.
Eko B. Supriyanto, ME dari Info Bank menilai bahwa perbankan dimungkinkan untuk kembali bisa memperbaiki tingkat penetrasi 62% seperti tahun 1980-1998, maka harus terlebih dulu membereskan sektor riil. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa berharap dari APBN untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi akan sulit dan berat, tapi dimungkinkan bisa dari kredit perbankan. Namun, kredit perbankan juga sedang mengalami masalah besar dengan kondisi daya beli masyarakat, ditambah menurunnya minat investasi dan kebutuhan kredit perbankan di masa pandemi. Dengan kondisi yang demikian ini, maka sulit mengharap peran perbankan untuk mencapai tingkat penetrasi sebagaimana masa-masa sebelum krisis.
“Apalagi sampai mengharapkan perbankan dan kredit menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu ditambah faktor para bankir sekarang yang berbeda dengan geliat para bankir tahun 80-an – 90-an yang berani melakukan create the business. Perbankan sekarang cenderung hanya menunggu saja bantuan pemerintah agar tidak collapse dan merasa lebih aman bermain dengan pembelian SBN dari obligasi yang ditawarkan pemerintah,” tutur Eko menutup forum ini. (Aen/EWINDO)