Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Philipina dan Indonesia sama-sama memiliki program privatisasi/menjual/men swastanisasi perusahaan listriknya. Bedanya di Philipina semuanya berjalan lancar krn tidak ada penentangan ! Menurut penuturan para Ahli dari LN saat sidang MK, di Philipina tidak ada ketentuan semacam pasal 33 ayat (2) UUD 1945 dan rakyatnya lebih permissive terhadap program liberalisasi.
Meskipun tahun 2006 disela acara NGO Forum on ADB di Kyoto, penulis ditanggap para aktivis Philipina diminta untuk cerita terkait penggagalan UU No 20/2002 yang akan memprivatisasi PLN. Artinya ternyata di Philipina ada kelompok yang “care” juga terhadap program penjualan asset Negara. Meskipun pada akhir 2007 NAPOCOR (PLN nya Philipina) selesai juga di jual/privatisasi ke AS, Jepang, Korea, Jerman, Perancis dll.
Setelah NAPOCOR dijual/di privatisasi saat itu karyawan nya di PHK dan tarip listrik langsung naik secara berlipat !
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA ?
Kalau pada 2001 terbit Electricity Bill di Philipina, maka di Indonesia terbit UU No 20/2002 ttg Ketenagalistrikan. Namun UU tersebut dibatalkan di MK pada 15 Desember 2004 karena Judicial Review oleh SP PLN.
Rupanya Pemerintah RI dan DPR terbitkan lagi UU Kelistrikan yang sama dengan no 30/2009 dengan Naskah Akademik yang sama yaitu “The White Paper” Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan oleh Departemen Pertambangan dan Energi tanggal 25 Agustus 1998 (dijiplak dari “The Power Sector Restructuring Program” atau PSRP nya IFIs/WB,ADB, IMF).
Dan pasal-pasal “unbundling” dari UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan itupun dibatalkan lagi oleh MK pada 14 Desember 2016 karena Judicial Review SP PLN.
Tetapi kemudian muncul PERPRES No 44/2016 j.o PERPRES No 32/2020 yang intinya PLN bisa divestasi/dijual antara 95-100%. Tidak itu saja kemudian muncul UU No 11/2020 tentang Omnibus Law dimana pasal 42 halaman 243 sub pasal 10 ayat (2) halaman 249 serta sub pasal 11 ayat (1) memunculkan lagi UU No 30/2009 yg sudah di “bunuh” MK !
Aneh…kan ?
Dan sekarang ada rekayasa dari Kemen ESDM yang akan menaikkan tarip listrik karena alasan-alasan penerapan Protokol Paris yang melarang penggunaan PLTU batu bara. Karena itu akan dikerahkan penggunaan PLTS (Tenaga Surya) yang sesuai Laporan Statistik PLN 2020 Biaya Pokok Penjualan (BPP) atau operating cost nya sebesar Rp 11.800,- per kWh.
Padahal sekitar dua bulan yl COD (Commercial Operating Date) atau dimulai ber operasinya dari PLTGU Jawa 1, PLTU Batang, PLTU Tanjung Jati IV yang semuanya hampir 6.000 MW ditunda sekitar enam bulan karena alasan Jawa-Bali sudah “over supply”.
KESIMPULAN :
Kok tumpang tindih ?
Sesuai esdm.go.id dan CNBC.com 24 Agustus 2021 disana dijelaskan ada Perpres No 5/2006 yg memprogramkan EBT sebesar 3.600 MW sampai 2025. Ada Proyek 35.000 MW. Ada over supply bahkan dengan RSH sampai diatas 40% shg tiga PLTU besar tdk bisa beroperasi (bagi owner tdk masalah krn ada TOP 70% atau kerja gak kerja dibayar 70% perhari). Ada juga hutang PLN Rp 500 triliun !
TERUS TARIP LISTRIK MAU DINAIKKAN KRN PERTIMBANGAN2 DIATAS ??
Rakyat harus menolak dengan lakukan Class Action thd Presiden RI karena telah terjadi pelanggaran Konstitusi/ UUD 1945 berupa pelanggaran putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dan putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 !
LEBIH BAIK BANGKIT MELAWAN !
DARIPADA DIAM TERTINDAS !
ALLOHUAKBAR !!
MERDEKA !!
MAGELANG, 01 SEPTEMBER 2021.