Home AMDAL Akankah Masa Depan Migas di Tangan ESG?

Akankah Masa Depan Migas di Tangan ESG?

1148
0
Dr Ardian Nengkoda/zoom dok EWINDO
By Dr. Ardian Nengkoda
Pakar Migas, Tinggal di Timur Tengah
SUDAH hampir dua tahun pandemik namun sudah lebih dari 6 bulan, harga minyak mentah Brent cukup perkasa bertengger di atas 72 US$/barel ketika saya menulis artikel ini. Masih naik turun tetapi sepertinya stagnan dekat 70 US$/barel.
Sejauh ini, level harga minyak ini adalah level yang tertinggi dibandingkan dengan masa sebelum pendemik Covid-19 yang merupakan pertanda baik bahwa kebutuhan (demand) akan minyak bumi “sepertinya” telah meningkat. Mengapa “sepertinya”? Iya karena sejatinya begitu banyak faktor kompleks yang mempengaruhi harga minyak dunia.
Namun dengan adanya gelombang pendemik ke tiga yang menimpa di beberapa negara, bisa jadi harga minyak bumi tidak akan bergerak naik lagi terlalu agresif karena kebutuhan minyak bumi dan daya beli secara umum masih terbatas. Pun pada tanggal 18 Juli lalu negara negara penghasil minyak OPEC+ (OPEC dan termasuk Rusia) akhirnya sepakat untuk menambah produksi minyak nya sebanyak 400.000 barel per hari setiap bulannya di mulai pada bulan Agustus sampai tahun depan sehingga dipastikan akan ada total tambahan (supply) sekitar 5.8 juta barel di pasar.
Hal ini utamanya dilakukan oleh negara negara OPEC+ (plus) untuk mengimbangi kebutuhan minyak bumi dunia yang memang merangkak naik karena adanya signal pemulihan ekonomi dunia serta mulai ramainya orang traveling di berbagai negara setelah berhasilnya program vaksinasi.
Proyek Migas Dunia
Untuk mengatasi kebutuhan global migas yang kemungkinan meningkat di masa mendatang, bagaimana proyek pembangunan fasilitas migas dua tahun belakangan ini. Ketika masa pandemik? Sejujurnya, jika kita melihat proyek migas dunia dalam kurun waktu 2 tahun belakangan, proyek proyek ber-skala mega ternyata tidaklah begitu ramai dikarenakan demand migas yang berkurang dan global pandemic, ditambah lagi ke-ekonomi-an yang kurang menarik serta harga minyak short term yang masih cenderung rendah.
Skala mega proyek migas membutuhkan kepastian jangka menengah panjang. Saat ini beberapa perusahaan raksasa migas dunia masih banyak yang “wait and see”, melakukan konsolidasi portfolio bisnis, serta melakukan efisiensi yang agresif baik CAPEX (capital expenditures) ataupun OPEX (operating expenditures).
Berita terbaru bulan lalu adalah mergernya perusahaan migas asal Australia Woodside dan BHP di bulan Agustus. Meski beberapa analis memperkirakan konsumsi minyak dunia akan terus meningkat di masa depan seiring pemulihan ekonomi dunia dari pandemi, namun, saat ini ada tren baru di mana selain pertimbangan ke-ekonomi-an, investor migas mulai memakai parameter ESG (Environmental, Social, and Governance) atau kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sebagai referensi penilaian prospek proyek migas dalam upaya meminimalkan risiko keuangan yang lebih besar karena masalah lingkungan dan sosial.
Lalu, akankah masa depan migas akan di tangan ESG?
Apa itu ESG?
Bagaimanasih kriteria Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) digunakan oleh investor untuk menilai kinerja suatu perusahaan? Istilah ESG pertama kali lahir pada tahun 2005 dalam sebuah studi yang berjudul “Who Cares Wins.”
Saat ini, investasi ESG diperkirakan mencapai lebih dari $20 triliun di AUM atau sekitar seperempat dari semua aset yang dikelola secara profesional di seluruh dunia. Pertumbuhannya yang cepat dibangun bersamaan dengan maraknya gerakan Socially Responsible Investment (SRI) yang telah ada lebih lama.
Namun tidak seperti SRI, yang didasarkan pada kriteria etika dan moral seperti tidaknya berinvestasi pada bisnis terkait dengan alkohol, tembakau, atau senjata api, investasi ESG didasarkan pada asumsi bahwa faktor-faktor ESG (LST) memiliki relevansi langsung terhadap finansial.
Banyak investor menyadari bahwa informasi ESG/ LST tentang perusahaan sangat penting untuk memahami tujuan perusahaan, strategi, dan kualitas manajemen perusahaan sehingga ke depannya akankah perusahaan mampu memberikan profit secara berkesinambungan. Lalu seberapa besar tekanan ESG mampu membatasi investasi di bidang migas padahal migas masih dibutuhkan oleh dunia?

Matrix Tekanan ESG dalam Industri Migas (B. Johnson dan U. Turaga, 
SPE JPT, Juli 2020)
Low-cost and low-carbon growth opportunities
Permintaan dunia akan laporan ESG/LST melonjak pada tahun 2020. Hampir 60% responden survei menunjukkan peningkatan minat dalam investasi LST dan 19% melaporkan memasukkan standar LST ke dalam portofolio investor termasuk investasi proyek migas.
Dalam konteks migas, kriteria kepatuhan terhadap lingkungan atau harapan investor (dalam ESG) dapat mencakup penggunaan energi perusahaan, limbah, pengurangan polusi, konservasi sumber daya alam, dan perawatan lingkungan, keselamatan serta keperdulian sosial. Low cost dan low carbon menjadi trend di dunia migas.
Sementara itu, kriteria sosial juga bisa mencakup hubungan bisnis perusahaan dengan masyarakat sekitar, misalnya apakah perusahaan menyumbangkan persentase dari keuntungannya kepada masyarakat setempat atau mendorong karyawan untuk melakukan pekerjaan sosial?
Pada tingkat praktis, tingginya harga minyak di kisaran 70 US$/barel tidak semerta merta memicu proyek E&P lepas pantai yang lebih menarik, meskipun BEP (break even point) lepas pantai tipikal hanya di kisaran 40-50 US$/barel saja. Namun apakah industri migas akan sigap ketika demand naik secara mendadak? Kita harus mengakui transisi energi sedang terjadi, meskipun minyak dan gas alam masih dan akan terus menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan energi dunia selama 30 tahun ke depan.
Setidaknya, lima perusahaan minyak dan gas asal Eropa E&P telah mengumumkan ambisi target net zero carbon 2050 sejauh ini.
Tak ayal inovasi, optimalisasi, penerapan teknologi IR 4.0, pembelanjaan CAPEX & OPEX yang efektif, portfolio migas-renewable yang atraktif, penerapan teknologi migas yang lebih terjangkau, manajemen proyek yang robust akan menjadi “new normal” di industri migas.
Dalam jangka pendek, untuk memenuhi kebutuhan migas, jalan tengah nya adalah melanjutkan proyek minyak dan gas dengan lebih banyak pengelolaan ESG serta pemanfaatan gas alam dan fokus pada bauran energi. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

(catatan redaksi: Tulisan khusus eksklusif hanya untuk ENERGYWORLDINDONESIA (energyword.co.id) boleh mengutip seijin kami dan penulis)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.