ENERGYWORLDINDONESIA – Prof Didik J Rachbini dalam Forum Ekonomi Politik Rabu, 06 Oktober 2021 lewat Zoom bertema Oligarki dan Pandora Papers mengatakan bahwa kasus yang kini tengah mencuat bukanlah perkara biasa. Dokumen itu harus disikapi dengan serius.
“Pertama, Pandora Papers adalah sebuah skandal. Ada segolongan orang kaya dan mempunyai kekuasaan yang menyimpan dananya di tempat lain agar tidak terkena pajak. Sebuah dokumen rahasia yang tidak akan terkuak bila tidak ada investigasi dari jurnalis dan aktivis yang menginginkan adanya keadilan hukum dalam kasus perpajakan. Hal itu jika tidak disikapi dengan serius, akan tetap tertutupi,” jelasnya.
Kedua, Skandal tersebut tidak bisa hanya diklarifikasi saja dan terus dianggap selesai. Disebut skandal karena terdapat dana milik orang kaya yang dimasukkan ke perusahaan cangkang dengan maksud menghindari pajak negara. Dengan cara itu si pemilik perusahaan berusaha mendapatkan keuntungan dengan menghindari pajak, lanjut Didik.
“Dalam hal ini presiden tidak boleh bersikap pasif karena jika benar, maka ada orang-orang di sekeliling presiden yang telah bertindak melanggar hukum dengan penggelapan pajak. Hal itu tidak bisa hanya diklarifikasi biasa dan harus diinvestigasi serius agar ada keadilan hukum dalam perpajakan. Karena sementara orang miskin dikejar-kejar pajak tapi di lain pihak ada orang-orang kaya yang diuntungkan karena telah menggelapkan pajak di negara tax heaven,” jelasnya.
Pembicara lain Dzulfian Syafrian dari INDEF menilai dari sisi kapitalisme itu sendiri, kapitalisme tidak bisa hidup tanpa adanya akumulasi kapital dari rich people atau “Top One Percent”. Nature dari kapitalisme berikut perilakunya memang terus menerus ingin menumpuk kekayaan.
“Hal tersebut dari tinjauan sejarah bukanlah barang baru. Dari sejarah kenabian sejak Ibrahim dan Musa, ada sosok Qorun, kapitalis masa itu yang gemar sekali menumpuk kekayaan. Para oligarki pelaku Pandora Papers itu adalah representasi dari Qorun. Kedua, Terdapat akumulasi kapital yang bukan dalam konteks ekonomi tetapi adalah political capital power, politik penumpukan modal kekuasaan seperti perilaku Firaun,” jelasnya.
Pandora Papers adalah perilaku Firaun pada Abad 21. Ada orang kaya yang menjadi penguasa, menguasai dua capital : economy capital dan juga sumber daya politik kekuasaan. Jika dua hal itu bersatu dan berkomplot menjadi oligarki, maka akan sulit sekali dikalahkan. Ada fenomena orang kaya yang ingin jadi politisi dan politisi yang juga ingin menjadi orang kaya. Keduanya bermetamorfose menjadi oligarki yang menyembunyikan harta kekayaannya di negara tax heaven.
“Konsekwensi dari oligarki yang menghindari pajak, jika dalam konsep tatanegara (state) modern. Redistribusi kekayaan dari orang kaya seharusnya mengalir ke si miskin lewat mekanisme pajak. Si miskin seharusnya bebas pajak dan dapat menerima benefit dari pajak. Tetapi dengan praktik pengemplang pajak orang kaya, redistribusi kekayaan melalui pajak tidak terjadi,”jelasnya.
Di kasus Pandora Papers orang kaya yang sekaligus penguasa itu malah tidak membayar pajak. Mereka justru mendapat benefit pajak dari adanya Tax Amnesty dan insentif-insentif pajak lain. Akibatnya, jika dilihat by data, semakin ke sini, negara-negara di dunia yang mengalami defisit neraca pembayaran semakin besar, yang berkonsekuensi pula pada utang negara dan utang publik yang pada akhirnya ditanggung orang miskin semakin besar,tambahnya.
“Hal itu pula yang dialami oleh Indonesia pada kurun waktu terakhir di mana tax ratio saat ini haya berkisar 10 % saja dibanding negara-negara lain yang mencapai 20-30 %. Padahal pendapatan negara mayoritas berasal dari pungutan pajak. Untuk menambal defisit yang terjadi maka PPN dinaikkan dan otomatis berdampak pada masyarakat banyak. Terlebih saat ini ada indikasi uang haram dari pencucian uang masuk ke SBN dan menjadi “dana halal”,”ungkapnya.
Sementara itu Dr Wijayanto Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES melihat bahwa Skandal “Pandora Papers” sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh para ilmuwan politik tentang sepak terjang oligarki. Tentang upaya mempertahankan kekayaan dari para “top one percent” yang menguasai mayoritas kekayaan nasional yang telah menguasai sistem politik. Definisi sedikit bebas oleh Vedi R Hadiz dan Richard Robison tentang oligarki adalah, “mereka yang kaya raya tapi sekaligus berkuasa, yang hidup dalam sistem Erzats Capitalism, di mana kekuasaan yang didapat bukan hanya oleh modal yang dimiliki tapi juga karena mendapatkan hak-hak istimewa dari penguasa dan juga akses modal.”
“Adanya nama dua orang pejabat Indonesia level menteri Kabinet yang memiliki kekuasaah politik dan akumulasi kapital memungkinkan mereka melakukan apapun. Kasus 2016 “Panama Papers” telah membuktikan, keterlibatan nama-nama para pejabat di Indonesia tidak pernah ada follow up secara hukum. Diprediksi, oligarki dengan segala kekuasaan politik dan akumulasi kapital yang dimiliki akan dapat mencegah skandal “Pandora Papers” dibawa ke ranah hukum,” jelasnya.
Indonesia saat ini amat membutuhkan modal untuk menyelamatkan warganya yang terkena pandemic covid 19. Salah satu cara untuk mendapatkan modal kerja kesehatan adalah dengan pendapatan pajak. Riset Ward Barenschott menyebutkan, di negara maju pajak sangat penting untuk menjamin kesejahteraan warga negara, sebagaimana yang dilakukan Belanda. Alokasi pajak di Belanda secara efektif telah meredistribusikan kekayaan melalui pajak untuk perlindungan kesehatan yang jumlahnya sangat besar, jauh dibandingkan Indonesia. Itulah yang menjadi kunci Belanda bisa keluar selamat dari Pandemi. “Di Indonesia diketahui saat ini tax ratio telah mengecil. Pengumpulan pajak lewat tax amnesty juga tidak efektif. Ada potensi besar pajak yang tidak menjadi pendapatan pajak negara,” ungkapnya.
Penting untuk membawa skandal “Pandora Papers” ke ranah hukum untuk menimbulkan efek jera. PPATK dan parlemen harus diminta agar membuka kasus tersebut agar tidak bernasib sama dengan Panama Papers yang tidak ditindaklanjuti. Menjadi untuk dibuka karena jangan-jangan dua nama pejabat Indonesia yang disebut Pandora Papers hanyalah gunung es dari banyaknya keterlibatan para pihak. Panama Papers dulu telah menyebut 800 nama yang terlibat skandal tersebut.
“Jika pemerintah Indonesia serius menginginkan agar tax ratio menjadi maksimal, maka inilah saatnya pemerintah beraksi untuk mengoptimalisai pendapatan pajak. Kawan-kawan jurnalis dan masyarakat sipil hendaknya tidak boleh patah arang. Cepat atau lambat akan ada retakan atau patahan di dalam setiap kekuasaan yang hegemonik dan tidak tersentuh hukum. Masyarakat sipil harus menyiapkan diri sejak sekarang jika patahan itu terjadi,”pungkasnya. (AHM/EWENDO)