OLEH Salamuddin Daeng, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Laporan Keuangannya tidak punya pola dan kurang konsisten
1. Laporan keuangan pertamina itu tidak punya pola. Ini juga bagus supaya bisa terkesan gak ada rekayasa, akan tetapi kalau jomplang polanya maka tampak sangat aneh. Misalnya pendapatan bisa 70 miliar dolar tiba tiba, namun bisa turun menjadi 40 miliar dolar tiba tiba.
2. Pada tahun 2012 revenue atau pendapatan Pertamina bisa mencapai 70 miliar USD. Namun makin ke sini pendapatan menurun mencapai level paling bawah pada 2017 senilai 42,9 miliar USD dan 2020 senilai 41,5 miliar USD. Bagaimana bisa penurunan penjualan atau pendapatan menurun hampir separuh?
3. Laporan keuangan pertamina tidak konsisten dalam hal biaya atau beban usaha, kadang biaya sangat tinggi meski penjualan menurun kadang juga sebaliknya. Sulit bagi semua orang menentukan sebab dari biaya biaya yang ada di Pertamina.
4. Rumitnya, laba Pertamina tidak ditentukan oleh besarnya penjualan, namun ditentukan oleh biaya. Rumitnya biaya bisa berubah secara independen. Contoh tahun 2013 penjualan 70,1 miliar dolar dengan laba 5,1 miliar dolar, namun pada tahun 2018 penjualan 57 miar dolar sedangkan laba bisa mencapai 5,7 milliar dolar.
5. Laporan keuangan pertamina itu tidak bisa dibangun simulasi ekonometriknya. Dalam statistik ekonometrik biasanya atau seharusnya korelasi antara utang, investasi, revenue, biaya, laba itu kuat dalam jangka panjang. Tapi di Pertamina tidak linier sama sekali.
6. Pertamina sama sekali tidak dapat memproyeksikan penjualan dan tidak dapat mengukur kemungkinan laba, faktor faktor yang membangun laporan keuangan semuanya independen, penjualan berdiri sendiri, biaya berdiri sendiri, laba juga berdiri sendiri.
7. Laporan keuangan pertamina itu sulit dibaca sebagai cerminan sehat atau tidak nya perusahaan. Misalnya dalam analisis lembaga rating Pertamina peringkat stabil, tapi perusahaan dikatakan sangat bergantung pada kuatnya dukungan pemerintah. Jadi yang sehat dan tidak sehat itu siapa? Pertamina atau Pemerintah.
8. Laporan keuangan pertamina tidak berbasis perencanaan keuangan, karena tidak dapat menunjukkan bagaimana utang berkaitan dengan kemampuan ekspansi perusahaan, dan bagaimana utang dapat menciptakan laba. Bukan hanya masaha utang, masalah investasi, masalah revenue, masalah laba, sepertinya tidak terjelaskan berbasis perencanaan. Dari mana semua ini berasal? bisa juga sebagian dari kantong ajaib. Kayaknya utang dulu baru mikir mau ngerjain apa.
9. Laporan keuangan pertamina itu deviasinya tinggi banget. Bahkan untuk menghubungkan dua variabel dengan n 60 tahun pun tak akan bisa masuk kurva normal. Apalagi jika empat variabel sekaligus misalnya utang, investasi, pendapatan, biaya laba. Kalau mahasiswa ekonomi ambil judul ini maka tak akan jadi skripsi nya.
Peringatan Moody’s
1. Tahun 2021 tampaknya Pertamina akan rugi jika melihat keadaan sekitar minyak. Moodys menyebutkan Pertamina akan merugi di segmen hilir jika harga minyak mentah di atas US$60 per barel karena harus menjual produk minyak tertentu di dalam negeri dengan harga bersubsidi. Harga minyak sudah berada di atas 60 dolar per barel.
2. Selama sembilan bulan pertama tahun 2021, EBITDA Pertamina turun 23% YoY menjadi $4,4 miliar. ini masalah besar jika aset aset perusahaan dijual melalui IPO. Sekarang sejauh mana IPO bisa dilaksanakan? Atau berakhir kacau balau.
3. Pertamina menyesuaikan arus kas ditahan dengan utang bersih dan EBITDA menjadi bunga masing-masing sekitar 40%-50% dan 7,5x-8,5x, selama 12-18 bulan ke depan.
4. Metrik kredit Pertamina akan jauh lebih lemah daripada proyeksi jika perusahaan menjalankan sepenuhnya rencana pertumbuhan ambisiusnya.
5. Utang jangka pendek Pertamina setahun 50 triliun rupiah, dan sangat bergantung pada kemampuan mendapatkan utang baru untuk membayar. Sumber global bond Pertamina tidak dapat diharapkan lagi di masa mendatang, namun rencana IPO jika berhasil maka akan ada sedikit tambahan uang. Namun rencana ini berada pada momentum yang tidak tepat.
6. Jadi kalau kinerja keuangan pertamina berkepanjangan menurun secara berkelanjutan dalam penjualan dan laba, namun meningkat secara berkelanjutan dalam biaya biaya sejak 2016 sampai selama lamanya ke depan. Maka utang peramian yang sekarang tak mungkin lunas dalam 300 tahun ke depan.
Mudah mudahan segera diatasi sinuhun. (RED)