Home Biomassa Dipo Alam: Reformasi Politik Industrialisasi Ditinggalkan Karena Bancakan Korupsi

Dipo Alam: Reformasi Politik Industrialisasi Ditinggalkan Karena Bancakan Korupsi

744
0

ENERGYWORLD.CO.ID – DISKUSI LP3ES pada 07 Februari 2022 di Platform Twitter Space  Prof Didik J Rachbini kali ini bertajuk “Politik Industri Nasional dan Program Hilirisasi”. Pembicara kali ini Dr Dipo Alam, Cendekiawan, Mantan Menteri Sekretraris Kabinet yang mengatakan  bahwa peta jalan industrialisasi di Indonesia sebenarnya sempat dibuat pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Namun terhenti dan hilang setelah BJ Habibie tidak lagi menjabat. LP3ES perlu membuat kembali kajian-kajian tentang industrialisasi di Indonesia.
“Di era Pak Harto, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, penanganan dan perhatian pada sektor pertanian dan pupuk termasuk luarbiasa. Politik industri ke mekanisasi pertanian dengan membangun industri pupuk,NPK, semua ada konsepnya. Pak Harto memiliki data-data statistik industri pertanian lengkap,”jelas Dipo.

Ditambahkan Dipo bahwa sangat ironis, setelah reformasi politik industrialisasi malah ditinggalkan. Subsidi pupuk malah jadi bancakan korupsi di pusat dan daerah. “Politik industri telah ditinggalkan. KKN luarbiasa terjadi pada subsidi pupuk,” ungkap Dipo.

Padahal dulu ada Kuntoro Mangkusubroto ahli sistem ITB yang menciptakan UKP4 yang bisa memonitor sektor pertanian, sehingga para Bupati, Kepala Desa, Parpol-parpol yang disetir oligarki tidak bisa bermain-main dengan pupuk. “Saat ini jelas, korupsi dan KKN harus diberantas jika mau membangun sistem yang baik,”tegas Dipo.

Sementara itu Dr Eisha Maghfiruha, Peneliti INDEF mengungkapkan dari riset tentang hilirisasi industri di Indonesia point penting yang harus dicatat adalah dengan kepemilikan sumber daya alam (SDA) berlimpah Indonesia harus bisa menemukan cara agar SDA berlimpah dapat diolah oleh industri pengolahan dalam negeri dan menciptakan produk yang bernilai tambah tinggi.

“Tidak hanya mengandalkan ekspor bahan mentah yang tergantung pada volatilitas harga komoditas di luar negeri. Seperti pertumbuhan ekonomi kuartal IV ini yang bergantung kepada bahan mentah dan sumberdaya alam dimana harganya di pasar internasional naik pesat,” jelasnya.

Indonesia harus menempuh reformasi struktural perekonomian dari produk-produk bernilai tambah rendah kepada produk bernilai tambah tinggi. Harus ada perpindahan alokasi sumber daya dari modal kerja dan tenaga kerja ke sektor produksi bernilai tambah tinggi. “Proses tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh negara industri maju yang memulai dari industri pengolahan ke industrialisai skala besar manufaktur, kemudian baru beralih ke sektor jasa yang mempunyai kontribusi besar dari masing-masing sektor terhadap GDP,”ungkap Eisha.

Eisha juga menilai sejauh ini Indonesia tertinggal dalam kebijakan industri dibandingkan Vietnam, yang sebenarnya dulu di bawah Indonesia. Potensi ekspor Vietnam adalah produk2 industri, sedangkan potensi ekspor Indonesia adalah bahan mentah dan sumberdaya alam – seperti yang menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini.
“Di Indonesia program hilirisasi dan industrialisasi tidak terjadi. Setelah masa 80-an peran sektor manufaktur terindikasi menurun dengan produk-produk bernilai tambah tinggi juga hilang. Ini menunjukkan bahwa politik industri tidak berjalan, sehingga mendesak sekarang dilakukan. Berbeda dengan negara maju seperti Jerman yang ketika memasuki tahapan menurunnya industrialisasi namun telah mencapai pendapatan per kapita yang tinggi sebagai negara maju. Sementara Indonesia malah menurun dari negara midle menjadi negara lower midle income,” paparnya.

Indonesia harus mengupayakan keluar dari jebakan midle income trap dengan industri yang mempunyai produk berniai tambah tinggi seperti vietnam sekarang, hingga mempunyai daya saing. “Untuk itu memang dibutuhkan investasi untuk mengembangkan industri pengolahan yang dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi,”jelasnya.

Dr Fachru Nofrian, Peneliti LP3ES/Dosen UPN menyoroti bahwa satu-satunya strategi ekonomi yang bisa menghasilkan akumulasi hanyalah Hilirisasi dan industrialisasi. Sayangya, di Indonesia muncul hilirisasi tetapi tidak mempunyai politik industri mumpuni, sehingga tidak terjadi industrialisasi.

“Selama orde baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang rata-rata tinggi 7 persen, tetapi tidak ada industrialisasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi terjadi tetapi tidak terjad industrialisasi,” ungkapnya.

Tantangan utama dalam politik industri di Indonesia, terjadi paradoks yang seharusnya bisa diatasi oeh politik industri. Politik industri harus dapat memilah-milah mana jebakan-jebakan paradoks kepada industrialisasi, mana yang akan membawa hilirisasi yang mengandung muatan proses industrialisasi.

Hambatan yang selalu muncul dalam politik industri adalah karena terlalu berorientasi pada finance/keuangan. Sehingga indikator yang muncul serinkali misleading atau salah sarah oleh sektor keuangan. Seolah-olah telah tercipta akumulasi petumbuhan, padahal bukan. Finance menciptakan target yang salah sasaran.
“Politik industri yang langsung pada ekspor apalagi hanya tergantung pada harga komoditas internasional tidak akan menumbuhkan ekonomi domestik karena akan tidak balance. Ekspor langsung barang mentah tidak akan menciptakan surplus dan akumulasi, bahkan pada ujungnya politik industri akan berorientasi pada kebijakan politik moneter,”bebernya.

Perlu juga diingatkan kembali akan pentingnya mekanisasi di Indonesia. Mekanisasi telah memasuki tingkat yang semakn mengalami penurunan. “Mekanisasi yang kuat merupkan indicator dari adanya orientasi yang cukup kuat ke arah politk industri dan hilirisasi. Jika pemerintah ingin mengembangkan Politik Industri maka perlu meningkatkan mekanisasi di Indonesia,”pungkasnya.|AME

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.