Home BUMN Aset Digital Negara

Aset Digital Negara

2156
0
Agustinus Edy Kristianto/ist

Sebaiknya Negara menegaskan lagi bahwa aset digital adalah ‘cabang produksi’ yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat Konstitusi.

Jika tidak, sejalan dengan perkembangan bisnis IT/digital, aset itu sangat mungkin dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang memiliki koneksi politik untuk dimonetisasi demi kepentingan orang atau korporasi tertentu.
Itu bisa disebut sebagai modus korupsi 4.0! Apa yang dinarasikan sebagai perkembangan teknologi digital yang memudahkan, inklusif, dan sebagainya ternyata bisa menjadi kedok untuk menggangsir duit negara.
Dengan dalih memudahkan peserta Kartu Prakerja mengakses video pelatihan, misalnya, dibuatlah sistem transaksi melalui platform digital tertentu menggunakan saldo nontunai di akun peserta, yang mana saldo nontunai tersebut berasal langsung dari rekening APBN yang ditransfer ke rekening perusahaan swasta platform digital sebesar Rp1 juta/orang. Kalikan saja jumlah peserta Prakerja dengan angka Rp1 juta/peserta itu. Triliunan rupiah omsetnya! Merem saja, si swasta itu dapat komisi 15% seperti diatur dalam Permenko Perekonomian.
Modus serupa saya amati juga sangat bisa terjadi dalam program aplikasi MyPertamina. Masih banyak celah yang harus dijelaskan oleh Pertamina dan pemerintah.
Saya sendiri menganggap motif bisnis swasta diduga kuat mendompleng di situ. Orangnya itu-itu juga!
APA DASAR HUKUMNYA?
Saya tidak melihat alasan hukum yang kuat bagi aplikasi MyPertamina menggunakan sistem pembayaran yang terintegrasi dengan Link Aja (payment gateway) untuk memfasilitasi konsumen BBM bersubsidi bertransaksi.
Sebab, yang diamanatkan oleh Peraturan BPH Migas 6/2013 tentang Penggunaan Sistem Teknologi Informasi dalam Penyaluran BBM adalah:”… PERLU DIBANGUN SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI (STI) yang dapat dimanfaatkan sebagai alat kendali yang akurat, tepat, cepat, akuntabel, dan verified untuk mengetahui volume yang disalurkan kepada konsumen pengguna.”
STI adalah seperangkat alat yang terdiri dari perangkat lunak, perangkat keras, jaringan intranet dan internet, database, Electronic Data Capture (EDC) yang menyatu DALAM SATU KESATUAN.
Badan Usaha-lah yang WAJIB menggunakan alat kendali dalam Penyediaan dan Pendistribusian BBM. Sementara pengertian Badan Usaha adalah pemegang Izin Usaha Niaga Umum yang melakukan Penyediaan dan Pendistribusian BBM. Badan usaha diatur dan diawasi oleh Badan Pengatur.
Jadi, pertama-tama, yang perlu dipertanyakan adalah apa hasil program digitalisasi SPBU yang telah dilakukan oleh Pertamina dan Telkom (lewat anak usahanya PT Sigma Cipta Caraka/Telkom Sigma) yang nilainya Rp3,6 triliun itu?
Audit BPK Semester II Tahun 2021 menemukan begini: “Perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan digitalisasi SPBU belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan berpotensi merugikan PT Telkom, sehingga mengakibatkan PT Telkom kehilangan kesempatan menerima pendapatan sewa digitalisasi SPBU selama tahun 2019 kepada PT Pertamina sebesar Rp193,25 miliar.
Selain itu, terdapat duplikasi penggunaan perangkat network SPBU yang mengakibatkan pemborosan keuangan PT Telkom sebesar Rp50,49 miliar.
Temuan BPK itu yang harus direspons dan dibenahi, jangan malah membuat masalah baru dengan membuka gerbang bagi swasta tertentu untuk berbisnis.
SIAPA PEMILIK APLIKASI ITU DAN BAGAIMANA STATUS ASETNYA?
Perintahnya adalah MEMBANGUN STI sebagai alat kendali, bukan memakai sistemnya Link Aja untuk bertransaksi (saya sudah coba daftar dan top up melalui M-Banking BCA, ternyata ada biaya admin Rp1.000 yang berpotensi membebani konsumen).
Jangan dipikir Link Aja milik anak bangsa sepenuhnya. Akta terbaru PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) tanggal 22 Juni 2022 mencantumkan jenis perusahaan itu adalah Penanaman Modal Asing (PMA). Salah satu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) adalah perantara moneter.
Modal disetor berupa uang Rp2,02 triliun. Nilai nominal saham Rp10 juta/lembar. Badan hukum berdomisili asing yakni Grab LA Pte. Ltd (Singapura) yang menguasai 11.777 lembar. Ada pula PT Dompet Karya Anak Bangsa (DKAB)—-yang dikendalikan 99,99% oleh GOTO—-menguasai 5.398 lembar.
Telkomsel menguasai terbanyak 49.058 lembar (24,27%). Selebihnya ada pemegang saham lain yaitu PT Asuransi Jiwa IFG, BNI Sekuritas, BRI Ventura Investama, Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero), Danareksa Capital, Jasamarga Tollroad Operator, Kereta Api Commuter Indonesia, Mandiri Capital Indonesia, dan Pertamina Retail.
Rugi komprehensif Finarya per 31 Desember 2021 Rp977 miliar.
Kepemilikan saham Telkomsel di Finarya terdelusi dari 26,58% menjadi 24,27% akibat masuknya Grab pada 23 Oktober 2020 dan 23 Desember 2021. DKAB/Gopay sendiri masuk pada 8 Maret 2021 (yang mana kita tahu pada 16 November 2020, Telkomsel membeli obligasi Gojek Rp2,1 triliun).
Artinya adalah waspada motif bisnis para pemegang saham Link Aja. Tujuan mereka adalah profit, sesuai jenis badan hukumnya. Karena termasuk kategori start-up (fintech), cara membesarkan perusahaan adalah dengan metode valuasi bukan pertumbuhan laba usaha. Valuasi bisa terjadi terus menerus akibat aksi korporasi (merger, akuisisi, konsolidasi dsb). Di masa depan biasanya akan terjadi aksi ‘bunuh-bunuhan’ saling mendelusi.
Jadi, menurut saya, tidak tepat memakai Link Aja. Pertamina/pemerintah perlu membangun STI sendiri yang 100% dikendalikan dan dimiliki Negara, karena urusan BBM bersubsidi adalah urusan hajat hidup orang banyak. Falsafah yang harus mengemuka adalah kewajiban negara untuk melayani masyarakat. Sehingga tak ada peluang berbisnis bagi pihak tertentu di dalamnya.
Tidak bisa dilakukan dengan cara mengistimewakan pemain fintech swasta tertentu dengan membuka pintu berbisnis bagi mereka saja. Bagaimana pun juga swasta tertentu akan diuntungkan atas pengendalian akses data pribadi hingga pemasukan dari biaya admin maupun komisi aplikasi.
Mereka dapat akses kekuasaan, data, users, market, dan uang dalam satu tarikan nafas! GOTO itu contoh terangnya.
Model saat ini cenderung menggunakan kebijakan negara sebagai alat membentuk demand yang pada ujungnya memberikan keuntungan bagi swasta tertentu.
Belum lagi kemungkinan kuat adanya dugaan pelanggaran aturan monopoli usaha, mengingat baik Link Aja, Gopay, dan OVO (90% dikendalikan Grab) adalah pemain fintech di bidang payment gateway juga. Bisa jadi di kemudian hari Grab dan GOTO menjadi pengendali Link Aja!
Selama pemerintahan Presiden Jokowi telah terjadi salah urus negara berselubung digitalisasi. Alih-alih memaksimalkan peran talenta lokal dan memperkuat pengendalian untuk kedaulatan digital, pemerintah justru mengistimewakan korporasi tertentu yang diback-up swasta asing.
Pada ujungnya, mereka mau exit setelah cuan besar.
Karya anak bangsa hanya topeng untuk menarik simpati.
Salam.
(AEK)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.