Sudah tahu tentang Uber Files? The Guardian dan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) mempublikasikan liputan tentang praktik kotor bisnis rintisan Uber.
Inti ceritanya mirip dengan apa yang sering saya permasalahkan di dinding ini berkaitan dengan koneksi politik serta afiliasi dan benturan kepentingan dalam kasus investasi Telkomsel Rp6,4 triliun di GOTO, yang merupakan perusahaan rintisan serupa. https://www.facebook.com/akakristianto/posts/pfbid02nhBPQnnZJNpPPEDRXwYk1qpTKZjBsGY972eJzCxFnSewRA6ZHPCZ8tLbdcB2eHu2l
The Guardian memperoleh 124.000 berkas mengenai kinerja Uber selama 2013-2017. Pembocornya adalah Mark MacGann, pelobi Uber untuk kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Secara spesifik menunjukkan sejumlah bukti dugaan bahwa Presiden Perancis Emmanuel Macron menjadi pelobi bagi Uber ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Sejumlah anggota Parlemen melayangkan mosi tidak percaya terhadap Macron, meskipun ia akhirnya lolos, kemarin. Asal Anda tahu, pada debat capres 2016, Macron juga mengungkapkan simpati yang sama dengan Jokowi terhadap makhluk-makhluk bernama unicorn! Uber Files menunjukkan bukti bagaimana perusahaan Amerika Serikat itu menggaet pejabat/politisi dan akademisi/pengamat untuk memuluskan bisnis Uber terutama berkaitan dengan regulasi yang menguntungkan Uber dan pembentukan persepsi menggunakan mulut akademisi.
“Uber memakai semua cara untuk meningkatkan derajat dan reputasi mereka. Banyak PENELITI dan AKADEMISI dibayar untuk menulis makalah yang menyanjung praktik bisnis Uber. Uber juga menempeli banyak sekali politikus di Eropa dalam level lobi yang belum pernah saya alami sebelumnya,” kata MacGann (Kompas, Rabu 13 Juli 2022). Pada 2019, ProMarket pernah menerbitkan publikasi yang bersumber dari seorang konsultan transportasi bernama Hubert Horan yang menjelaskan cara Uber menggunakan ekonom terkenal untuk mempromosikan narasi perusahaan dan memasarkannya kepada pers.
Ia menyebut bisnis Uber sebagai “Uncompetitive Economics” yang berbasis pada model predator harga dan ketergantungan pada ‘subsidi’ raksasa. Selain membayar akademisi dan pengamat, Uber juga melibatkan politikus dan pelobi papan atas.
Selain Macron, disebutkan juga mantan PM Israel Benjamin Netanyahu dan David Plouffe, bekas penasihat Barrack Obama. Buku berjudul “Super Pumped: The Battle for Uber” terbitan 2019, ditulis oleh wartawan New York Times Mike Isaac bahkan membahas bagaimana upaya lobi Uber di Portland yang dilakukan hingga menggunakan cara “memata-matai pejabat pemerintah, mengorek-orek kehidupan digital mereka, membuntuti mereka ke rumah masing-masing.” Pada 8 Juli 2022, situs Rest of World memuat liputan berjudul:
“How Asian super-app GoTo got tangled up in a government corruption probe”.
Ditulis teaser begini: Nepotisme! Kolusi! BUMN berada di bawah pengawasan akibat investasi jutaan dolar di raksasa teknologi. Rest of World adalah situs berita yang kredibel. Ia adalah organisasi pers nonprofit yang berfokus pada teknologi, kebudayaan, dan pengalaman manusia berkaitan dengan teknologi.
Semboyannya: “Reporting Global Tech Stories”. Kalau tidak percaya, buka saja situsnya sendiri. Rest of World mengutip tulisan saya dan Yanuar Rizky. Angle-nya tentang afiliasi dan benturan kepentingan pejabat negara dalam investasi Rp6,4 triliun Telkomsel di GOTO.
Satu langkah maju ada media asing yang mengangkat sudut pandang Good Governance dalam liputannya tentang GOTO. Saya masih menunggu respons dan desakan agar US Securities and Exchange Commission (SEC) mengambil langkah tegas atas laporan saya beberapa waktu lalu yang berkaitan dengan kasus GOTO itu, mengingat induk Telkomsel, yakni Telkom juga listing di bursa New York dengan kode TLK. Apa yang terjadi di Indonesia?
Saya amati hampir setiap hari ada saja operasi berita di media-media nasional yang arahnya membagus-baguskan keputusan investasi di GOTO tersebut yang narsumnya adalah akademisi, pengamat, politisi, konsultan dsb. Tak usah naif, itu pasti ada bandar dan operatornya.
Terakhir (kemarin), ada diskusi Polemik Spesial Trijaya FM yang bertema: “Isu Investasi Telkomsel, Fakta atau Fitnah”. Arahnya jelas menghajar pendapat saya dan bikin cakep urusan investasi di GOTO di media. Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Muchlis Ainur Rofik bahkan berkata, “Akun-akun yang ada di balik isu investasi Telkom ke GOTO ini hampir semuanya punya agenda politik. Mereka fokus ke sisi negatifnya.
Kalau perlu bisa digoreng. Padahal selama pandemi Covid-19, Gojek termasuk salah satu perusahaan yang bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia. Itulah juga kenapa Telkomsel masuk ke GOTO,” kata dia.
Anda bisa terka sendiri maunya pernyataan itu apa! Trijaya adalah MNC Group. Salah satu komisaris Telkom merangkap staf khusus Menteri BUMN pernah berkarier di grup itu sebagai eksekutifnya. Narasumber pimpinan East Ventures (Venture Capital) yang hadir di Panja DPR bersama dengan saya pekan lalu, juga bekas eksekutif di grup itu. Tanya wartawan saja, Polemik biasanya diadakan akhir pekan, tapi rupanya kali ini perlu diadakan Polemik Spesial demi GOTO di hari biasa. Beberapa pihak menonjol-nonjolkan kinerja harga saham GOTO di bursa.
GOTO ditutup Rp388 pada 30 Juni 2022. Artinya, pada Laporan Keuangan Telkom per 30 Juni 2022 (yang akan terbit), disebutlah Telkom mendapat keuntungan yang belum terealisasi sebesar selisih antara acuan periode LK sebelumnya yakni harga 31 Maret 2022 atau dalam hal ini harga IPO yaitu Rp338. Nanti pada LK periode September 2022, acuannya adalah Rp388.
Tapi, kita tentu tak sebodoh itu untuk menelan mentah-mentah narasi di atas. Kita musti kritis dan bisa membedakan mana yang merupakan harga di bursa, mana yang merupakan fundamental perusahaan berupa laba dari operasional usaha yang kemudian pada akhir periode diperhitungkan sebagai dividen, mana yang didapat oleh investor seperti Telkomsel berupa dividen atau capital gain, apa yang dimaksud dengan kedaulatan digital, mana modal disetor berupa uang dan mana tambahan modal disetor yang berasal dari perhitungan valuasi, dan apa yang kita permasalahkan yakni aspek Good Governance dan perlawanan terhadap KKN dalam peristiwa investasi itu yang menyangkut perbuatan para penyelenggara negara dan pihak swasta. Siapa saja boleh bilang macam-macam tentang potensi bisnis digital, sinergi, value creating, opportunity, kolaborasi… Tapi itu semua adalah masa depan yang belum pasti.
Yang pasti fakta adalah apa yang ditulis GOTO di prospektus bahwa perusahaan ini rugi sejak didirikan dan di masa depan tidak bisa menjamin profitabilitas; perusahaan ini sangat membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah menyangkut status kekaryawanan para mitranya, izin pembayaran digital dari Bank Indonesia, regulasi tentang jasa angkutan umum roda dua, status badan hukum perusahaan aplikasi dan bukan perusahaan angkutan…
Saya juga tahu apa yang terjadi secara teknikal. Bahwa sejak 17 Mei 2022, ketika isu ini mulai ramai, terjadi rejection dari harga terendah Rp182 hingga sempat mencapai harga Rp416 (15 Juni 2022) atau naik 120,14%. Pada tiga hari berturut-turut sejak 17 Mei 2022 itu terjadi pembelian besar-besaran yang secara cepat mengerek harga (mark up).
Selama 17 Mei – 12 Juli 2022, total transaksi saham GOTO mencapai Rp42,4 triliun. Pembelian terbesar dilakukan melalui broker lokal yakni PD (Indo Premier) Rp4,2 triliun, MG (Semesta Indovest) Rp3,8 triliun, dan LG (Trimegah) Rp2,4 triliun. Penjualan terbesar melalui broker MG Rp3,8 triliun, PD Rp3,4 triliun, dan CC (Mandiri Sekuritas) Rp2,3 triliun. Jika menggunakan Volume Profile, terlihat bahwa POC (Point of Control)/transaksi terbanyak selama 17 Mei – 12 Juli 2022 terjadi di harga Rp384.
Artinya apa? Ya, saya tak peduli turun-naik harga itu. Saya juga bukan dukun yang mau tebak-tebakan harga. Saya bukan pompom boys juga. Yang saya peduli, terlepas dari berapapun harga saham GOTO, afiliasi dan benturan kepentingan—atau secara lebih jauh lagi potensi pidana KKN dan pasar modal—dalam kasus GOTO semestinya diusut oleh penegak hukum!
Terakhir, saya suka sekali dengan perkataan peniup peluit Uber Files di The Guardian: “I’m exposing a system that sold people a LIE!”
Catat: MENJUAL KEBOHONGAN! Jika Macron saja dipermasalahkan pasal ‘hanya’ sebatas membantu lobi regulasi Uber, bagaimana ceritanya dengan yang sudah ‘sukses’ mencairkan Rp6,4 triliun itu?
Salam.
Agustinus Edi Kristianto