ENERGYWORLD.CO.ID — Pengamat Pertambangan Dr Lukman Malanuang menyampaikan bahwa ada prinsip-prinsip yang harus dipegang bersama yaitu satu, Pertambangan adalah sumber daya alam yang tidak terbarukan sesuai dengan sifatnya. Mengapa tidak terbarukan karena ia tidak memiliki kemampuan regenerasi bilologis. Tidak bisa melakukan perkembangan, beda dengan peternakan, perikanan yang bisa berkembang biak, beranak pinak.
“Sementara, pertambangan kalau kita melakukan eksploitasi pertambangan maka kemudian hari akan habis. Pertambangan tidak bisa melakukan regenarasi secara geneologis,” ujarnya pada diskusi publik yang diselenggarakan KOPI Party Movement, dengan tajuk Komplotan Korporasi Tambang, Kibuli Negara dan Rakyat ?(Membongkar Penipuan Penerimaan Negara dan Manipulasi Penyaluran CSR di Sektor Pertambangan), di Jakarta Selatan (14/12/22)
Kemudian yang yang kedua kata Lukman, tambang itu punya yang namanya man lifetime usia dari tambahan tergantung dari sumber daya dan cadangannya. Apabila tambang memiliki cadangannya yang besar maka usianya akan lama.
“Sebaliknya, jika cadangannya mengecil maka usianya juga pendek. Seperti freeport hingga saat ini sudah mencapai usia 50 tahun lebih. Yang ketiga, konsep yang harus kita pegang bahwa suatu daerah harus tumbuh berkembang dan maju dengan sumber daya yang dimilikinya itu konsep dasar. Apabila ada daerah yang dia tidak maju berkembang yang tumbuh dengan sumberdaya alam yang dimilikinya maka pasti ada terjadi suatu kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut,”paparnya.
Lukman menyoal modal pembangunan bahwa yang menjadi modal pembangunan bukan hanya pertambangan yang unregenerasi resources itu, ada juga sumber daya yang terbarukan, ada juga sumber daya manusia, ada juga yang namanya sumber daya buatan yang disebut infrastruktur, social capital (modal sosial), modal itulah modal pembangunan.
“Negara yang berkembang meski tidak punya tambang contohnya Singapura, menjadi negara modern menjadi negara yang sangat maju padahal dia nggak punya sumber daya alam. Jepang, Korea yang mengandalkan sumber daya manusianya,” imbuhnya.
Lukman pun memaparkan prosentase pembagian hasil kerja tambang, “Kita negara berkembang yang sumber daya manusia kita ini belum dalam kategori belum baik ya kita mengandalkan yang namanya sumber daya alam. Apabila kita mengeksploitasi sumber daya pertambangan maka itu harus kita lakukan dengan sangat hati-hati karena apabila tidak hati-hati maka kita akan menyesal seumur hidup karena dia tidak beranak pinak,”jelasnya.
Kita bisa mengaturnya dengan PNBP, pajak dengan cara diatur oleh undang-undang, undang-undang perimbangan yang mengatur pusat dan daerah. Undang-undang tersebut sekarang disebut atau bernama undang-undang hubungan keuangan yang mengatur pusat dan daerah.
“Berapa porsi daerah penghasil 32 %. 32 % ini untuk kabupaten, kota yang ada di daeah provinsi setempat. Kemudian 16 % untuk provinsi , sisanya 20 % untuk pusat. Clear kan?.”
Terkait pendapatan yang sifatnya langsung ini, kepala daerah tidak perlu bersudah payah, tidur saja. Tidak ngapa-ngapain, barang itu masuk ke kas mereka. Clear kan?
Lukman menyampaikan soal pembahasan di DPR terkait bagi hasil tambang, Kok sedikit 32 % ? Kenapa tidak ,50 % saja untuk daerah penghasil. Hal ini pernah saya lakukan gugat di DPR ketika pembahasan undang-undang ini. “Saya katakan mengapa tidak 50 % saja untuk kabupaten penghasil, 20% untuk kabupaten kota yang ada di dalam provinsi, 10 % untuk pusat. Kenapa tidak begitu saja? Dan tidak ada yang bisa jawab.
masih kata Lukman perbedaan bagi hasil yang berbeda anta migas dengan batubara- tambang, Andai kita semua tahu bahwa untuk urusan migas bagi hasilnya kebih menyedihkan lagi. Makanya Muhammad Abil Bupati Meranti itu sampai teriak. Karena bagi hasil migas tidak sama dengan mineral, batubara. Padahal sama-sama unreonable resources. Jadi totalnya antara kabupaten penghasil, kabupaten kota di dalam provinsi dan provisi hanya 15 % untuk migas. Lalu 85% nya kemana? 85% itu ke pusat. Kenapa tidak transparan? Ini kan pendapatan langsung.
“Pendapatan tidak langsung dari mana ? Pendapatan langsung itu dari pendapatan tenaga kerja, barang dan jasa lokal yang bisa dicreat oleh pemangku kepentingan, bukan saja oleh perusahaan tambang tetapi juga oleh pusat. Urusan mineral, batubara tambang itu urusan pusat bukan urusan daerah.
Terkait kerusakan lingkungan, degradasi lingkungan, permasalahan-permasalahan lain yang berurusan dengan eksploitasi tambang itu memang seluruhnya ditanggung oleh kabupaten penghasil. Makanya wajar kabupaten kota banyak yang mengkritik soal ini.
Dikatakan Lukman perlunya beberapa unsur terlibat dalam urusan minerba, tambang, “Kalau yang tadi tadi itu didapatkan dengan cara yang tidak dengan berkeringat, maka pendapatan yang tidak langsung itu harus didapatkan dengan berkeringat. Contohnya tenaga kerja, tenaga kerja ini dalam undang-undang minerba – mineral, batubara, dan tambang ini disebutkan mengutamakan menggunakan tenaga kerja setempat. Undang-undang itu untuk semua kelompok kepentingan, bukan saja untuk korporasi. bahkan sekarang ini sudah ada konsep yang namanya Kolaborasi 5 Unsur. Rumusnya adalah ABCGM, A itu Akademisi, B Bisnis, C itu Community, dan G itu Goverment, M nya Media Massa. Semuanya harus terlibat. Meria massa ini kan memberikan informasi, sekaligus edukasi.
“Di dunia pertambangan sering timbul pertanyaan kenapa daerah yang kaya dengan sumber alam dan batu bara apabila diukur dengan produk domestik brutonya, sangat dominan di bidang pertambangan, sebagai contoh Freeport dimana Freeport kontribusinya terhadap kabupaten Mimika hampir 95 % didominasi oleh tambang batubara. Newmont itu dulu 90%, sekarang turun menjadi 80an % karena sekarang sudah ada barang dan jasa lokal yang digunakan.”jelasnya.
“Sekarang pertanyaannya begini, kok PDBR nya besar banget hampir 20 T tapi kenapa masih banyak rakyat yang miskin, masih banyak pengangguran, masih banyak desa-desa tertinggal di wilayah daerah pertambangan. Ini keadaan yang paradoks sementara PRDB nya sering dibanggakan,”tegasnya.
Perlu diketahui yang dimaksud dengan product regional domestik bruto itu adalah barang dan jasa yang tercatat selama 1 tahun, dia tidak menguraikan tidak membreakdown dari mana asal muasal barang dan jasa tersebut. Semakin besar barang dan jasa menggunakan local content maka akan secara signifikan juga berkurang yang namanya pengangguran dan kemiskinan. Contohnya, sekarang ada barang tambang alat beratnya dari mana, pasti bukan dari daerah setempat, alat komunikasinya kita pastikan bukan dari daerah setempat, segala kebutuhan-kebutuan tambang didatangkan dari luar. Muncullah kebocoran regional. Inilah yang saya kira harus kita minimalisir dari tahun ke tahun.
“Siapa yang berperan? Lagi-lagi elit, bukan saja perusahaan. Kalau perusaan dengan pemerintah atau pemerintah lokal tidak ada komunikasi, akhirnya kerjanya dusta ‘each other’, tidak saling percaya satu sama lain. Untuk itu perlunya ada pertemuan, silaturahmi agar tidak terjadi ada dusta diantara kita,” beber Lukman.
Pertambangan ini adalah menerima dana bagi hasil, menerima PCR maka dana itu harus digunakan untuk belanja publik, tidak digunakan untuk beli mobil dinas yang mewah. Bukan untuk banyak-banyak perjalanan DPRD, bikin kantor mewah dengan eskalatornya.
“Seharusnyan dari hasil kekayaan tambang daerah ini dari segi pembelanjaan digeser ke belanja publik maka akan terjadi transformasi dari tambang underresources ke sumberdaya stategis seperti transportasi, jalan raya, bendungan, infrastruktur lainnya, seperti memperbaiki bangunan sekolah-sekolah, menyekolahkan putra daerah, meningkatkan kesehatan masyarakat lokal dll. Jangan sampai daerah tidak siap jika terjadi tambang habis, lalu kaget,” pungkasnya. (YOS/JAKSAT)