KONGLOMERAT JADI INVESTOR POLITIK ?
(Review uraian Prof Dr Didin S Damanhuri, 06.01.2022, Energyworld.co.id)
Inilah catatan awal tahun 2023 dari Ekonom Senior Indef, Prof Dr Didin S Damanhuri (Energyworld.co.id) yang akan kita bahas sbb:
Prof Didin melihat bahwa oligarki menjadi trendsetter di Indonesia dalam 5-10 tahun terakhir. Oligarki sendiri dimengerti sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam bisnis atau politik di Indonesia. .
“Oligarki ditandai akan tumbuh subur dalam sebuah sistem politik yang tidak demokratis dengan mengendalikan kontrol ekonomi dan politik sebuah negara. Terjadinya koalisi gemuk di parlemen adalah bukti bekerjanya oligarki. “Dia bekerja dengan mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik dalam proses legislasi, sebagaimana diminta oleh Undang-undang”.
Sampai disini Prof Didin melihat bahwa Oligarki ini sebagai lebih dari sekedar *pressure group* pada kekuasaan di Indonesia. Mereka mengontrol penuh urusan bisnis dan politik. Memang betul oligarki tumbuh subur pada pemerintahan yang tidak demokratis, korup, penuh intrik, fitnah dan kejam. Penebaran rasa takut ini yang menjadi andalan kekuasaan.
Di era Orba, oligarki ekonomi dikontrol Suharto yang otoriter dan tidak demokratis. Meski 200 konglomerat ketika itu menguasai 62% PDB “tetapi tidak sampai mendikte Politik” dan “Orba berhasil dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat”. Rasio gini pengeluaran rata-rata 0,32.
Baca: https://energyworld.co.id/2023/01/09/tanda-tanda-hancurnya-ekonomi-indonesia/
“Pada Era Reformasi demokrasi politik berjalan tetapi “oligarki ekonomi mengendalikan politik, karena substansi demokrasi (ekonomi dan politik) tidak berjalan.” Rasio gini pengeluaran rata-rata sekitar 0,39.
Dalam uraian ini terlihat bahwa Era reformasi demokrasi berjalan, padahal tidak. Rejim ini sama sekali tidak demokratis, tapi dicitrakan demokratis. Lihatlah aspirasi apapun tidak ada yang didengar, bahkan banyak yang masuk penjara.
Penguasaan asset oligarki ekonomi dibandingkan mayoritas penduduk sangat timpang. Harta 4 orang terkaya sama dengan harta 100 juta penduduk Indonesia paling miskin (credit Suisse). 1 % penduduk terkaya sama dengan 46,6% {DB dan 10% terkaya sama dengan 75,3% PDB, menurut index oligarki/Material Power Index (Jeffrey Winter).
Data diatas ini sungguh mengerikan, apalagi yang disebut 4 orang terkaya itu semuanya non pri. Penduduk yang 1% dan 10% itu mayoritas non pri. Mereka tentu ingin makin kaya lagi, pasti kerjasama atau menyandera birokrat korup. Karena itulah banyak pejabat yang disandera kasus, sehingga akhirnya seperti kerbau dicucuk hidung.
Merajalelanya oligarki pada era reformasi disebabkan karena dibiarkan menjadi “investor politik di semua tingkatan pilgub, pilwalkot, pilbup, dan Pilpres.” Dari sinilah malapetaka pengelolaan negara dimulai. Semakin gencar peran mereka sebagai investor politik, semakin hilang kedaulatan rakyat.
Rekomendasi yang diajukan : Political Reform, Yakni dengan menekan ongkos proses politik berupa penyederhanaan prosedur kampanye dan menghilangkan berbagai modus pemberian “mahar” politik, korupsi politik dalam setiap penentuan calon dalam Pilpres, Pileg, Pilkada. Sanksi berat harus disiapkan bukan hanya hukum, juga finansial, politik dan sanksi sosial.
“Dibutuhkan revisi UU Partai Politik dan UU lainnya yang menciptakan suburnya oligarki ekonomi dan politik,” ungkapnya.
Rekomendasi dari Prof Didin, tampaknya sangat normatif. Bagaimana mungkin ada perubahan UU yang menguntungkan oligarki ? Semoga Prof Didin tidak merasa sungkan untuk menyampaikan yang sebenarnya. Solusi yang tepat adalah “kembali ke UUD 45 yang asli” dan ganti rejim yang berani melawan oligarki.
Bandung, 8 Januari, 2022
Dr Memet Hakim
Pengamat Sosial
Ketua Wanhat APIB