Dr Memet Hakim
Ketua Wanhat APIB
(Review uraian Prof Dr Didik J Rachbini , Ekonom Senior Indef
January 6, 2023, Energyworld.Co.id)
Prof Didik J Rachbini mengamini bahwa 90 % dari ekonomi adalah politik, demikian pula sebaliknya, 90 % dari politik adalah ekonomi. Konflik-konflik di timur tengah tentang minyak itu sebetulnya adalah konflik politik. Demikian pula dengan kebijakan APBN, kuota dan lainnya adalah juga ranah politik. Artinya semua urusan bisnis termasuk RAPBN adalah ranah politik, ini dapat dipahami mengingat bisnis dan kekuasaan itu harus saling mendukung.
Masalahnya, saat ini terjadi politik Asimetris yang ditandai dengan demokrasi semakin mundur dengan indeks yang terus mengkhawatirkan. Asimetris dimana penguasa, politisi menentukan segala keputusan atas sumberdaya ekonomi dan politik untuk kepentingan terbatas. Akses rakyat terhadap sumberdaya kecil.
Dengan demikian Asimetris diartikan sebagai adanya ketidak seimbangan keberpihakan penguasa terhadap pengusaha & rakyat. Padahal UUD 45 jelas mewajibkan penguasa pro rakyat (sekarang yang digunakan UUD 2002). Seharusnya SDA kita seperti minyak sawit, karet, rempah2, nikel, batubara, emas, timah dll “semuanya dijadikan alat politik untuk memperkuat posisi Indonesia, bukan malah menjual Indonesia”. Pasti ada yang salah, entah ahlaknya entah ilmunya gak sampai.
Para akademisi meneliti kondisi tersebut dan menyimpulkan bahwa rezim yang dibangun dengan demokratis saat ini justru yang merusak demokrasi itu sendiri. Politik asimetris terjadi dengan gerak oligarki yang menjadi pemutus semua persoalan dengan tanpa adanya kritik dan kontrol oleh parlemen yang menjadi parlemen paling lemah.
“UUD 45 jelas dan clear berpihak pada rakyat. UUD 2002 jelas berpihak pada korporasi,” sehingga penggunaan *UUD 2002 merupakan bentuk pemghianatan DPR dan Penguasa terhadap rakyatnya sendiri.*
“Survei-survei politik memperlihatkan ketakutan rakyat terhadap regim, aparat. Survei tesebut menunjukkan bahwa telah terjadi situasi ketakutan publik untuk bicara politik. 60% responden menyatakan takut bicara politik. Mereka merasa takut kepada aparat yang kejam dan semena-mena. Publik juga takut untuk ikut dalam organisasi dan menjadi takut juga dalam menjalankan ibadah agamanya. Sayangnya, terjadi pembiaran terhadap langkah semena-mena tersebut oleh ororitas politik dan kekuasaan,”
Sangat mengerikan membaca uraian ini, tapi memang faktanya begitu. Lihatkan para mahasiswa jika turun ke jalan, mereka banyak yg ditangkap walau segera dibebaskan, para tokoh yang vokal langsung dipenjara, para ulama yg dianggap berseberangan sikap dengan penguasa langsung ditahan dan dipenjara, bahkan ada yg sampai tewas di penjara. Menebar ketakutan ala komunis, telah nerlangsung di negara kita, benar sekali pendapat Prof Didik.Sebaliknya jika pihak mereka dilaporkan aman aman saja. Menghina agamapun tidak dipermasalahkan.
“Implikasi kepada ekonomi politik menjadi amat berat”. Iklim politik luar biasa merusak demokrasi. Check and balance tidak terjadi dan transisi politik menjadi amat tidak mudah. Selain mahal di ongkos politik dan ongkos perkelahian dalam peralihan kepemimpinan yang penuh risiko-risiko politik dan sosial. Namun situasi rusak tersebut justru diambil keuntungan oleh intelektual rongsokan yang menjadi penyokong kekuasaan. Oposisi nihil dan tidak berjalannya fungsi kontrol parlemen.
Pernyataan diatas susuai fakta dilapangan. Pihak oposan, siapapun mereka yang turun ke jalan, aspirasinya tidak digubris. Cara vulgar yang tidak demokratis ini, hanyalah produk dari kebijakan yang pro korporasi.
“Pada masa SBY pertumbuhan ekonomi bisa mencapai hampir 6%, dan sebelum krisis mencapai 7%. Periode Jokowi, dijanjikan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% tetapi yang terwujud 5 persen. APBN, terjadi rencana APBN yang semena-mena ketika terjadi covid 19 pada awal 2020. Defisit APBN di bawah 3 % dan utang direncanakan hanya sekitar Rp640 triliun. Tetapi karena otoriter, maka ketika pemerintah memutuskan apa saja, DPR RI manut saja dan tidak memberikan reaksi apa-apa,” bebernya.
“DPR memang bukan perwakilan rakyat tapi perwakilan partai,” sehingga wajar saja mendukung apa saja yg diinginkan oleh petugasnya yang jadi presiden atau menterinya. Fungsi check and balances yg diharapkan tentu tidak akan terjadi. *Penghianatan terhadap rakyat disini terjadi juga, bahkan mereka yg mengesahkan UU yang merugikan rakyatnya.*
Sisi keseimbangan primer APBN, yakni penerimaan dikurangi pengeluaran minus utang baik unsur pembayaran utang atau penerimaan utang dikeluarkan. Maka ada defisit primer negatif, yang artinya pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai keperluan-keperluan negara. Terjadi ketidakmampuan untuk membiayai keperluan dan utang yang bertimbun.
*APBN memang lebih besar pasak dari pada tiang*. Pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Penerimaan Negara 70 % dari pajak sisanya dari non pajak. Dari Bumn yang diandalkan dari Bank dan PLN, aneh sekali. Kedua bumn tsb harusnya dikelola buat kemakmuran rakyat. SDA yg potensinya ribuan trilyun , malah tidak dimanfaatkan buat negara. SDA hanya dinikmati oleh bbrp gelintir korporasi dan sangat mungkin oleh para birokrat korup juga. Struktur pendapatan pajak idealnya cuma 40 % bukan 70 %. *Belum pernah terdengar ada upaya penghematan dari pemerintah untuk memgurangi defisit anggaran.*
“Ada perencanaan yang lemah mengakibatkan munculnya selisih Rp400 triliun dan utang belanja menjadi perencanaan yang serampangan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kalau selisih hanya Rp 3 – 4 triliun itu masuk akal, tetapi jika sudah demikian besar maka menjadi permasalah serius di bidang perencanaan anggaran. Bank Indonesia menjadi tidak lagi independen karena diwajibkan membeli SBN,” ungkapnya.
Selisih sebesar 400 trilyun mungkin kesengajaan, tapi tidak dibuka. Entah kenapa.
Ketika SBY berutang Rp 2.600 triliun dikecam habis-habisan oleh para relawan yang semestinya tidak lagi dipelihara. Kini, utang menjadi Rp 7.500 triliun plus utang BUMN sehigga total utang menjadi *belasan ribu triliun*, utang yang diwariskan kepada pemimpin yang akan datang.
“APBN ke depan akan terpengaruh buruk karena habis untuk membayar utang dan bunga utang,” jelasnya.
APBN dibuat berdasarkan asumsi pajak masuk yg besar, tapi pemasukan non pajak kecil. Mungkin ini kesengajaan untuk menutupi bisnis dibawah tangan ? Wallahu a’lam bishawab. Mempelajari sistem perpajakan sekarang memang mengerikan, lebih kejam dari penjajah Belanda.
Semoga uraian Prof Dr Didik J Rachbini , Ekonom Senior Indef ini dan reviewnya dapat memberikan wawasan tentang buruknya manajemen Keuangan di negeri Indonesia.
Bandung, 9 Januari 2023