TANDA-TANDA HANCURNYA EKONOMI INDONESIA
Oleh Dr Memet Hakim,Pengamat Sosial, Ketua Wanhat APIB
Dari diskusi bertopik “Catatan Awal Tahun 2023 Dari Ekonom Senior Indef” (Energyworld.co.id https://energyworld.co.id/2023/01/06/inilah-catatan-awal-tahun-2023-dari-ekonom-senior-indef/) ada beberapa catatan penting yang merupakan tanda2 rusaknya perekonomian Indonesia.
Tanda-tanda itu jelas sekali telihat dari paparan para ahli ini yakni :
1. Semakin tingginya ketimpangan (gap/rongga) antara di kaya dan si miskin. Hal ini menyebabkan iklim sosial memburuk terutama isu pri dan non pri.
2. Uang hasil penjualan SDA disimpan di LN. Bukan mustahil uang hasil komisi/korupsi pejabat juga disimpan di LN. Ini penyebab devisa berkurang.
3. Konglomerat dibiarkan merajalela sebagai investor politik sehingga mendikte urusan politik dan ekonomi negara, untuk kepentingan mereka. Hal ini menyebabkan keadilan semakin jauh dari harapan dan posisi pribumi pemilik negeri ini sakun lemah.
4. Parlemen posisinya sangat lemah, diatur oleh penguasa. Sejak kedaulatan rakyat bergantienjadi kedaulatan partai, inilah yang terjadi.
5. Ekonomi dunia diprediksi memburuk. Dampak resesi global bisa saja masuk ke Indonesia.
Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan dan rangkuman atas uraian yang disampaikan oleh para ahli senior dari Indef sbb :
“Prof Didin S Damanhuri” menyatakan bahwa meski 200 konglomerat itu menguasai 62% PDB tetapi tidak mendikte Politik. Orba berhasil dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang terjangkau dan stabil serta perekomian relatif merata. “Pada Era Reformasi” demokrasi politik berjalan tetapi oligarki ekonomi mengendalikan politik. Dampak nya sangat buruk terhadap rakyat.
Bayangkan harta 4 orang terkaya sama dengan harta 100 juta penduduk Indonesia paling miskin (credit Suisse). 1 % penduduk terkaya sama dengan 46,6% {DB dan 10% terkaya sama dengan 75,3% PDB, menurut index oligarki/Material Power Index (Jeffrey Winter). Jumlah 40 orang terkaya rata-rata dibagi income per kapita pada 2014 = 678.000 kali dan di tahun 2022 menjadi 1.065.000 kali (Forbes data),”
“Demokrasi gagal mensejahterakan rakyat”. Oligarki merajalela, dibiarkan menjadi investor politik di semua tingkatan pemiihan gubernur, pilwakot, pilbupati, dan Pilpres. “Dibutuhkan reformasi mendasar sistem politik yang dapat menjamin tercapainya demokrasi ekonomi.”
“Prof Didik J Rachbini” Kebijakan APBN, kuota dan lainnya adalah ranah politik. Politik Asimetris yang ditandai dengan semakin mundurnya demokrasi. Asimetris dimana penguasa, politisi menentukan keputusan atas sumberdaya ekonomi dan politik. Akses rakyat terhadap sumberdaya kecil. Parlemen lemah, tidak berkutik. Artinya keberpihakan penguasa tehadap pengusaha & rakyat tidak seimbang. “Gejala ini dapat dibaca bahwa penguasa sudah menjadi kacung konglokerat, apalagi mereka umumnya termasuk golongan non pribumi. Para pejuang memberi nama sebagai penghianat bangsa, penjual negeri.”
Tanda2 semakin jelas dari hasil survei politik yang memperlihatkan adanya ketakutan rakyat terhadap rejim, aparat. 60% responden menyatakan takut bicara politik. Mereka merasa takut kepada aparat yang kejam dan semena-mena. Publik juga takut untuk ikut dalam organisasi dan menjadi takut juga dalam menjalankan ibadah agamanya. Sayangnya, terjadi pembiaran terhadap langkah semena-mena tersebut oleh ororitas politik dan kekuasaan”
Iklim politik luarbiasa merusak demokrasi. Check and balance tidak terjadi dan transisi politik menjadi amat tidak mudah. Situasi rusak tersebut justru diambil keuntungan oleh intelektual rongsokan yang menjadi penyokong kekuasaan. “Oposisi nihil dan tidak berjalannya fungsi kontrol parlemen”. Penguasa ini menebar ketakutan, sehingga demokrasi tidak berjalan, bahkan menjalankan agamanya saja menjadi takut. Ini merupakan produk rejim saat ini.
Defisit anggaran APBN 2023 Rp 598,2 (triliun), utang Rp 7.500 triliun plus utang BUMN, sehigga total utang menjadi belasan ribu triliun.
Dari uraian diatas ternyata perilaku rejim di bidang keuangan sungguh mengkawatirkan dan membawa dampak buruk bagi rejim yad. Belum lagi 70 % anggaran dibebankan pada pajak, dilain pihak penerimaan negara non pajak, dibiarkan dibawa lari ke LN. “Padahal jika dikelola negara dengan baik, rakyat bisa bebas kesehatan pendidikan, Pajak Bumi dan Bangunan, PPh dan lain2.”
“Dr Faisal Basri” melihat telah terjadi pelemahan fondasi ekonomi nasional , sehingga ekonomi tumbuh tetapi kerdil. Sementara para calon presiden saat ini belum kunjung menawarkan akan membawa Indonesia seperti apa.
Pemulihan ekonomi yang terjadi luar biasa timpang, antara sektor jasa dengan sektor barang. Padahal, kalau sektor industri lemah maka kelas menengah juga akan lemah – buruh formal sedikit. Kita semakin bergantung pada ekspor komoditas.
Pada 2022, 77 % ekspor batubara dilakukan oleh segelintir grup-grup usaha yang hasil eksportnya tidak dimasukkan ke dalam negeri dan memperkuat cadangan devisa, tetapi memarkir dana hasil eksport di Luar negeri, sehingga rupiah tetap melemah.
“Pertumbuhan ekspor didominasi oleh :
1. CPO – 58%,
2. Nikel, dinikmati oleh hampir semua perusahaan smelter china.
3. Komoditas sawit dan batubara yang menyumbang 52% total ekspor komoditas. Hasil ekspor komoditi ini, uangnya tidak semua masuk DN, sebagian besar nyangkut di LN. “Artinya perusahaan asing menghasilkan komoditas diatas tidak bermanfaat buat bangsa dan negara”
“Dr Fadhil Hasan” menguraikan adanya ramalan buruk ekonomi dunia 2023. Hal ini besar atau kecil akan berdampak pada Indonesia. Tekanan inflasi dalam negeri diatur pemerintah secara tahunan masih tinggi. Tekanan infasi komponen inti tahunan masih terkendali. Intensitas bencana alam semakin meningkat dan mungkin akan terus berlanjut, akan berpengaruh ke sektor pertanian.
“M Nawir Messi” melihat dari sisi moneter dunia, akan terjadi kecenderunan global inflasi yang melandai. November 2022, setidaknya sudah 33 negara yang membatasi ekspor pangan dan hal itu meningkatkan harga pangan dunia. *Jika produktivitas, maka akan terjadi ancaman krisis pangan pada 2023 yang jauh lebih besar di dalam negeri*.
Tahun politik 2023-2024 di dalam negeri akan mengganggu fluktuasi harga-harga. Masih tetap akan ada tantangan inflasi lebih tinggi dari yang dicanangkan,”
Nilai Tukar. Tetap akan mengalami tekanan dari gonjang ganjing politik, juga oleh faktor lainnya. Cadangan devisa relatif kecil dan terus menurun. Ekspor terus meningkat tapi dana hasil ekspor tidak masuk ke Dalam Negeri, sehingga hasil ekspor tidak masuk untuk memperkuat cadangan devisa. “Banyaknya capital outflow membuat cadangan devisa berkurang”.
Bandung, 8 Januari, 2023