RAMALAN 2023: RESESI DI 1/3 NEGARA DI DUNIA
(Review uraian Dr Fadhil Hasan Ekonom Senior Indef
January 6, 2023, Energyworld.Co.id)
Dr Fadhil Hasan, seorang Ekonom senior Indef melihat adanya rangkaian peristiwa sebelum pandemi covid 19 pada 2020 sampai tahun 2022 yang “dampaknya mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara”.
Terdapat pengaruh dari dana kebijakan Quantitatif Easing (QE) USA. “sebagian dana yang mengalir dari QE telah mengakibatkan kenaikan harga komoditas CPO*. Ketika itu semua negara memakai dana QE. di 4 negara terbesar dana QE mencapai 14,5 T USD.
*Kenaikan harga energi dan pangan juga diakibatkan oleh perang Rusia – Ukraine dan embargo terhadap Rusia*. Kenaikan harga-harga itu direposan oleh bank sentral USA dengan menaikkan tingkat suku bunga. *Hal itulah yang menyebabkan munnculnya resesi dunia*.
“Quantitative Easing atau pelonggaran kuantitatif merupakan kebijakan moneter nonkonvensional yang membuat bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar”. Semakin banyak uang beredar, daya beli semakin kuat, kemudian harga naik, tetapi perputaran uang semakin lancar dan cadangan devisa juga meningkat. Saat ini di Indonesia uang banyak disimpan di LN oleh para pengusaha asing sawit dan tambang, sehingga perputaran ekonomi agak seret. *Ini tantangan tersendiri bagi pemerintah, mampukah mengendalikan cash outflow ke LN (impor) dan ekspor tapi uangnya nyangkut*.
“Ada ramalan buruk ekonomi dunia pada 2023″. IMF meramalkan 1/3 negara di dunia akan mengalami resesi. USA, Uni Eropa, Inggris, dan china telah mengalami resesi dari 5% ke 8%. Bahkabn 4 negara mengalami pertumbuhan negatif USA -0.1 %, Inggris -0,2 %, Jerman -0,5 % dan Chili -0.6%.
Semua tekanan inflasi dalam negeri komponen harga diatur pemerintah secara tahunan masih tinggi, yang didorong kenaikan harga BBM, bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan udara, dan tarif angkutan dalam kota setahun terakhir. Tekanan inflasi komponen inti tahunan masih terkendali. Inflasi di Desember 2022 mengalami penurunan karena penurunan beberapa komoditas pangan.
Tantangan Pangan jangka menengah-Panjang bagi dunia:
1. Lebih dari 2/3 penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada 2050. Pada 2021 terdapat 828 juta orang terdampak kelaparan, dengan kenaikan 46 juta orang dibandingkan 2020 dan meningkat 150 juta orang dibanding 2019 (FAO, 2020).
Urbanisasi adalah tren kependudukan di dunia, sesuai dengan semakin baiknya pendidikan. Bekerja di sektor pertanian dianggap tidak menarik, karena sifat pekerjaaannya dan upah rendah. Padahal sektor pertanian ini sangat strategis untuk ketahanan pangan, tapi sayangnya pemerintah masih menganggap remeh sektor pertanian ini. *Harga produk pertanian harus murah*, sehingga petani tidak mampu membayar upah pekerjanya secara wajar. Jika naik saja sedikit, segera impor. *Pola pikir seperti ini sebenarnya membunuh petani di DN*.
2. Peningkatan GDP per kapita menjadi sebuah ketidakpastian bagi sektor pertanian. Reaksi konsumen terhadap perubahan pendapatan diperkirakan lebih kuat pada negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Sebenarnya sektor pertanian itu merupakan sektor yang tahan banting, kuncinya di produktivitas dan biaya produksi. Harga bahan2 produksi meningkat, tapi harga jual relatif tetap, sungguh memberatkan petani, akibatnya mereka slowdown. GDP dari sektor pertanian tergantung harga jual, makin banyak untungnya, makin tinggi produktivitasnya kemudian tentu makin tinggi pendapatannya. Di sektor manufaktur juga sama, tapi lebih tergantung pasar.
3. Meningkatnya pendapatan akan mengubah pola atau komposisi pangan seseorang. Tren kuat terjadi pada konsumsi daging dan produk susu yang lebih tinggi.
Statement Dr. Fadhil ini tepat sekali, semakin tinggi pendapatan, semakin rendah konsumsi karbohidratnya, tapi konsumsi proteinnya lebih tinggi. Pada masyarakat dengan rerata GDP tinggi seperti Singapura & Jepang misalnya konsumen tidak terlalu memperhatikan lagi harga jual produk dipasar.
4. Terjadi Kompetisi untuk sumber daya alam. Lahan pertanian harus bersaing dengan hutan karena kelangkaan lahan. Pertanian diperkirakan menjadi pendorong sekitar 80% deforestasi dunia. 33% lahan pertanian global terdegradasi sedang dan tinggi. Kualitas kehidupan masyarakat lokal dan kesehatan ekosistem jangka panjang menjadi terhambat untuk untuk ketahanan pangan.
Yang pasti dg adanya pertambahan penduduk dan urbanisasi, banyak lahan sawah/ladang berubah menjadi kawasan perumahan & industri. Kebutuhan pangan bertambah, artinya butuh lahan tambahan, tentu bergeser ke hutan. Penggerusan hutan bisa dihambat dengan adanya upaya peningkatan produktivitas yang masih sangat terbuka.
5. Pada 2010 emisi sektor agriculture, forestry and other land use mencapai 10,6 gigaton setara karbon dioksida atau sekitar 21 % dari total emisi GRK global. Dampak perubahan iklim diperkirakan merugikan negara miskin tempat jutaan orang bergantung pada pertanian dan rentan terhadap krisis pangan. Perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada pasokan pangan, tetapi juga kualitas pangan serta stabiitas ketahanan pangan. Perubahan iklim dapat mempengaruhi sifat gizi beberapa tanaman.
Memang adanya perubahan iklim sangat merugikan bidang pertanian. Banyak gagal panen akibatnya seperti banjir dan kekeringan. Kerusakan lingkungan akibat industri kehutanan dan pertambangan telah banyak mengganggu lingkungan. Peran perkebunan juga ada, tapi umumnya perkebunan memanfaatkan lahan hutan yang sudah rusak.
6. Intensitas bencana alam semakin meningkat dan mungkin akan terus berlanjut, dampak perubahan iklim. perlu mendapat perhatian karena ketergantungan sektor pertanian pada iklim dan tingkat produksi. Belum lagi dampaknya seperti longsor, rusaknya tanaman pangan, terganggunya transportasi, dll.
Sebagai negara eksportir dan importir pangan dan energi, Indonesia mendapat peluang dan kesempatan, jika dikelola dengan benar. Perlu juga kajian menyeluruh dan detail dari harga pangan dan energi.
Andalan ekspor Indonesia yg konvensional adalah hasil perkebunan seperti karet, kopi kakao dan kelapa sawit. Paling besar adalah minyak sawit dan turunannya. Di sektor pertambangan batubara dan nikel yg utama, lainnya seperti timah, emas, perak ikut berperan. Sayangnya kita masih impor pangan dan besi baja, sehingga uang DN ikut mengalir keluar. Uang hasil ekspor juga banyak nyangkut di LN karena memang pemiliknya perusahaan asing.
Policy response yang tepat dan kredibel dibutuhkan untuk bisa memanfaatkan secara optimal peluang dan kesempatan dengan peningkatan produktivitas, perbaikan infrastruktur dan perlindungan kelompok rentan.
Impor akan semakin mahal dan tekanan inflasi secara umum di dalam negeri yang berpengaruh pada daya beli. “Akan ada distributional economic and benefit yang tidak merata antara sektor dan daerah.
Ramalan adanya resesi dunia ini, seharusnya diantisipasi oleh pemerintah a.l
1. Memperkuat ketahanan pangan, subsidi pupuk, bebaskan PBB lahan dan berbagai pungutan lainnya. Stop atau kurangi impor pangan agar ekonomi di pedesaan bergeliat kembali. Hal yang sama untuk UKM.
2. Menerapkan Bea Keluar dan tarif yang memadai untuk *ekspor komoditi tambang* sesuai perkembangan harga, agar pemerintah bisa mengendalikan arus pendapatan non pajak ini
3. Turunkan suku bunga bank untuk UKM serta perbesar alokasi kredit untuk UKM ini. Jangan sampai rakyat kecil mensubsidi pengusaha besar lewat bank.
4. Kenakan Visa, pajak orang asing dan pajak pendapatan yang lebih tinggi dibandingkankan WNI.
5. Permudah uang masuk DN dan persulit dana mengalir ke LN, bukan sebaliknya.
6. Batalkan UU Cipta Kerja dan buka peluang kerja untuk tenaga di DN, persempit TKA masuk.
7. Prinsip dasarnya perbesar ekspor, perkecil impor, jaga agar seluruh uang masuk ke DN dan perketat pengiriman uang ke LN
Bandung, 10 Januari, 2022
Memet Hakim
Ketua Wanhat APIB