Oleh Salamuddin Daeng
Hasil analisis keuangan Pertamina berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten di Singapura menyebutkan ternyata cukup kuat dan bagus. Liquiditas, saldo kas, dan kemampuan bayar utang ternyata cukup baik. Meskipun perusahaan harus membayar utang jangka pendek cukup besar. Mungkin merupakan pembayaran utang terbesar di lingkungan BUMN.
Pertamina dikatakan memiliki saldo kas sebesar USD11,7 miliar per Juni 2022 dan akses pendanaan yang kuat. Ini mungkin akan diambil pertamina sebagai sumber pembiayaan bagi suksesnya program solarisasi sawit dan gasifikasi batubara yang telah diputuskan pemerintah. Program ini akan mencakup pasar bagi 13, 5 juta ton sawit senilai 12.5 miliar dolar atau senilai Rp. 200 triliun.
Kemampuan liquditas pertamina tersebut cukup untuk membayar kewajiban pembayaran utang jangka pendek sebesar USD7,6 miliar, termasuk USD3,7 miliar pinjaman jangka pendek. Tampaknya Pertamina akan mempertahankan aksesnya yang kuat ke pasar bank dan obligasi melalui penerbitan global bond, dengan mempertimbangkan keterkaitannya dengan negara, dan Pertamina akan mampu memenuhi kewajiban utangnya dan memperoleh pendanaan atau pembiayaan untuk ekspansi.
Pengumuman peringkat ini tampaknya berkaitan dengan rencana lanjutan sub holding yang dilalakukan Pertamina sehingga investor diharapkan akan berbondong bondong masuk ke pertamina. Sebagai perusahaan penghasil minyak mentah terbesar di tanah air, pemilik kilang dan penjual BBM 80 juta KL tentu ini adalah kekuatan pertamina yang menarik bagi investor.
Hal yang luar biasa adalah belanja modal Pertamina tahun 2023 sekitar USD9 miliar pada tahun 2023 (perkiraan tahun 2022: sekitar USD9 miliar) dan selanjutnya berkisar antara USD10 miliar-15 miliar; ini di bawah ekspektasi jangka menengah manajemen. Diperkirakan belanja modal akan terbagi rata antara mempertahankan produksi dari lapangan minyak dan gas Pertamina yang sudah tua dan meningkatkan kapasitas dan kompleksitas kilang selama dua tahun ke depan. Beberapa blok produksi besar, termasuk yang baru diakuisisi, membutuhkan investasi besar untuk mempertahankan produksi dan merupakan pendorong utama ekspektasi belanja modal hulu yang tinggi.
Tinggal mencermati arah revisi UU migas. Jika ini kembali akan diserahkan hulu migas dibawah kontrol pertamina dan skk migas menjadi BUMN khusus yang nanti bermitra dengan pertamina maka ini akan menjadi potensi besar di atas rencana produksi minyak satu juta berel yang sangat diidamkan Presiden Jokowi.
Revisi UU migas penting untuk menyongsong dinamika situasi ke depan yang sangat dlugtuatif. Butuh kepastian hukum, kelembagaan yang kuat, dan integrasi yang baik diantara seluruh elemen pertamina berkaitan dengan perkiraan situasi sebagai berikut :
– Harga minyak berdasarkan dek harga Brent sebesar USD85/barel (bbl) pada tahun 2023, USD65/bbl pada tahun 2024 dan selanjutnya USD53/bbl
– Volume hulu tetap datar pada 2023 karena Pertamina mengintegrasikan Rokan. Setelah itu, produksi menurun sebesar 2% per tahun
– Volume penjualan minyak naik 1%-2% per tahun. Sementara harga eceran yang tidak berubah untuk sebagian besar bahan bakar eceran
– Pembayaran penggantian subsidi tetap sebesar USD4,4 miliar-4,8 miliar pada 2023-2024, turun menjadi USD3,2 miliar setelahnya karena harga minyak yang lebih rendah
– Sekitar 70% dari pembayaran kompensasi yang akan diterima pada tahun berikutnya. Klaim kompensasi turun menjadi USD9 miliar pada 2023 karena asumsi harga minyak yang lebih rendah.
– Capex sekitar USD9,0 miliar di tahun 2023, USD10,8 miliar di tahun 2024, USD11,8 miliar di tahun 2025 dan USD12,2 miliar di tahun 2026.
Merespon perkembangan harga minyak yang tidak pasti, belanja modal yang harus selaras dengan transisi energi, termasuk kesepakatan G20 bali kemarin, serta berbagai masalah yang berkiatan dengan keuangan pemerintah, subsidi dan kompensasi, membutuhkan banyak terobosan, dan itu harus dimulai dengan revisi UU nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. UU yang sudah usang dan tidak sejalan lagi dengan situasi nasional dan internasional yang sangat dinamik.***