Pada dasarnya perusahaan perkebunan yang baik akan bertumpu pada kemampuannya di dalam menggali potensi produksi. Dengan semakin tingginya produktivitas, maka harga pokok akan semakin rendah dan Laba akan meningkat lebih tajam. Dengan pendekatan low cost oriented (cost price) dan Teknologi Agronomi (Agronomic Engineering) produktivitas siap didongkrak ke level yang lebih tinggi.. Hanya saja mengingat industri perkebunan merupakan biologycal industry, tentu memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun setelah perlakuan untuk melihat keberhasilannya.
Kesimpulan dari perhitungan diatas adalah Protas naik 33%, Laba naik 64%, Protas naik 60% Laba naik 101 %, Protas naik 100 %, Laba naik 178%
Masalah kesejahteraan bukan hanya terletak pada kenaikan produktivitas saja, , sehingga pendapatan meningkat, akan tetapi masih diperlukan “keadilan pada kebijaksanaan dan pelaksanaan”, misalnya saja pada akses pendanaan dan harga pupuk. BUMN perkebunan kelapa sawit juga terlihat dikerdilkan, tidak diberi kesempatan untuk berkembang menjadi perusahaan besar apalagi menjadi perusahaan dunia, sehingga luasannya masih sekitar 4 % saja dari total luas kelapa sawit di Indonesia. Sebenarnya jika diberikan kesempatan BUMN perkebunan yang menjadi pionir perkelapasawitan ini dapat menjadi perusahaan tingkat dunia. Jika saja pemerintah punya keinginan agar BUMN ikut berperan dalam pengelolaan perkelapasawitan di Indonesia, tentu perusahaan BUMN ini harus diberi kesempatan untuk berkembang.
Tabel 2. Perkiraan Pendapatan Negara Akibat ada Kenaikan Produktivitas TBS.
Catatan : BK & PE yang dugunakan adalah yang pertengahan- akhir Januari
Dalam simulasi peritungan diatas ternyata peningkatan pendapatan BPDPKS lewat Pungutan Ekspor dan Bea Keluar sangat signifikan jika ada kenaikan produktivitas, sehingga sangat dimungkinkan memberikan subsidi pupuk pada petani dan BUMN (bukan pada perusahaan asing). Dengan asumsi luas areal kelapa sawit 15.08 juta ha dan kenaikan produktivitas minyak sawit dari 3.557 ton/ha menjadi 5.100 ton/ha atau sebesar 43.35 %, maka pendapatan Negara meningkat dari 80.30 trilyun menjadi 136.47 trilyun atau meningkat sebesar 69.95 %. Kenaikan pendapatan tersebut berasal dari Bea Keluar menjadi 59.76 trilyun dan dari Pungukan Ekspor sebesar 76.71 trilyun. Jumlah itu akan meningkat lagi manakala kenaikan produktivutas lebih besar lagi
Kerugian subsidi pada perusahaan asing adalah adanya cah outflow dimana uang hasil subsidi tersebut tidak memperkuat perekonomian Indonesia. Belum lagi seluruh laba yang diperoleh oleh perusahaan asing tersebut seluruhnya menyangkut di luar negeri entah berapa ratus trilyun setiap tahunnya. Pemerintah disatu pihak ingin menghemat devisa dengan mengurangi impor solar, tapi dipihak lainnya justru, devisa milik Negara kita seperti sengaja disuruh disimpan luar negeri. Sehubungan dengan hal tersebut BPDKS sebagai bagian dari Departemen Keuangan harus ikut membantu Menteri Keuangan sebagai Pemegang Saham BUMN perkebunan, agar dana tetap ada di dalam negeri. Para petani dan BUMN yang selama ini dikerdilkan perlu diperhatikan. Jika BUMN dikembangkan tentu dapat berperan mendukung pendapatan Non Pajak dan Pajak pada Negara. Ada tiga jalan keluar untuk hal ini yakni :
Tabel 3. Perkiraan Alokasi Subsidi BPDPKS dari Pungutan Ekspor
Untuk petani & BUMN Perkebunan, subsidi sebesar Rp 2.500/Kg (Urea, RP dan KCl), sudah sangat membantu. Bagi pemerintah juga menguntungkan karena cara ini akan mengurangi “ketimpangan ekonomi antara sikaya dan simiskin” dan atau “mengurangi angka kemiskinan” serta “memperkuat posisi BUMN Perkebunan untuk membantu RAPBN atau berkembang”. Sebagai catatan subsidi dari Pungutan Ekspor ini sekitar 80 % masih digunakan untuk Biosolar, bukan untuk membantu petani datau BUMN. Dengan demikian pendapatan petani dan BUMN akan meningkat, artinya ada peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak dan PPh
Bandung, 14 Februari 2023