Oleh: Salamuddin Daeng
Kalau punya uang, semua rencana bisa dijalankan dengan mulus, termasuk membangun 10 terminal penampung BBM atau depo penganti Depo Plumpang imbas kebakaran yang menelan korban jiwa dan belakangan diminta agar direlokasi karena tanah lokasi depo sudah dipadati penduduk.
Namun semua bisa dijalankan kalau pemerintah menolong Pertamina sehingga Pertamina bisa dapat uang dari keuntungan dalam menjual BBM. Dengan demikian Pertamina bisa punya uang dan dengan uang tersebut maka bisa membangun depo depo baru, merawatnya, memeliharanya, dengan level safety tertinggi sebagaimana layaknya penampungan bahan bakar dalam jumlah miliaran liter.
Pertanyaannya apakah pertamina bisa dapat uang dari untung berdagang BBM? Mari kita lihat sekarang ini, semua yang dinamakan keuntungan Pertamina dari hulu sampai ke hilir dalam bisnis BBM semuanya diatur dengen regulasi. Jadi tidak ada laba atau untung dalam definisi yang sebenarnya dari sisi hukum bisnis dan teori dagang.
Pada dasarnya pemerintah telah mengambil terlalu banyak uang dari rantai suplai BBM. Dengan berbagai macam pajak dan pungutan, pemerintah mengambil sebagian besar uang untuk dimasukkan ke APBN dan hanya sedikit sekali atau secuil yang disisahkan bagi BUMN Pertamina.
Bayangkan dari jual BBM, pemerintah langsung memungut 15% dari nilai perdagangan BBM dalam bentuk PPN dan PBBKB. Artinya pemerintah langsung untung Rp. 120 triliun lebih per tahun dari bisnis BBM yakni dari jual solar, pertalite, pertamax serta LPG. Ini belum termasuk pajak dan pungutan di bagian hulu, kilang dll. Pemerintah bisa meraup Rp. 240-300 triliun setahun. Bayangkan kalau pedapatan bersih Pertamina sebebesar pajak dan pungutan BBM. Pertamina akan menjadi perusahaan paling kaya di dunia. Nomor 1.
Berapa yang bisa didapat pertamina sekarang, ya hanya secuil, karena semua diatur dengan regulasi dan tekanan politik lainnya. Harga solar dan pertalite dijual rugi dengan Janji adanya uang pengganti subsidi dan kompensasi kepada Pertamina. Bagaimana dengan jenis BBM lainnnya, tekanan politik tidak memperbolehkan pertamax ron 92 disesuaikan harganya agar masuk akal dari sisi dagang. Pertamina kadang rugi. Tahun lalu bisa untung sedikit dilaporkan Rp. 29,7 triliun. Itupun berasal dari subsidi dan kompensasi. Itupun kalau benar dibayar oleh pemerintah tepat waktu.
Lalu bagaimana Pertamina dan depo deponya bisa dapat uang untuk menjaga pipa pipa yang bocor, rusak atau berkarat, lalu bagaimana pertamina menjaga keamanan pipa pipa yang melintasi kampung kampung agar tidak dobocorkan oleh orang orang yang kurang waras. Semua perlu uang, perlu biaya, perlu ongkos. Jadi daripada jadi masalah serahkan saja plumpang untuk dikelola oleh menteri ESDM dan menteri keuangan yang selama ini menikmati hasil yang paling besar dari penjualan BBM di Jakarta dan sekitarnya.
Kalau semua uang yang diperlukan bagi safety tidak dapat disediakan, maka ke depan perlu segera dipikirkan agar BBM tidak lagi diperdagangkan di Jakarta. Karena keamanan penampungan BBM itu nomor satu, karena aspek safety tidak bisa ditawar tawar.
Sehingga kalau tidak cukup uang untuk menjaga safety, baik secara internal di dalam maupun di luar lingkungan depo atau sekitar lokasi terdampak, maka mulai saat ini pemerintah segera berfikir berhenti menggunakan BBM dan mengembangkan mobil listrik termasuk mobil esemka listrik agar menjadi mobil listrik kelas dunia dengan memetapkan captive marketnya Jakarta. Sudah saatnya! Biar wilayah luar Jakarta saja yang memakai BBM. Jakarta sudah tak ada tempat lagi membangun terminal storage penampungan BBM kapasitas besar miliaran liter. Bahaya!