Home BANK INDONESIA Benarkah Startup Menyebabkan Kehancuran Bank-Bank di Amerika?

Benarkah Startup Menyebabkan Kehancuran Bank-Bank di Amerika?

787
0
William Yang, Pakar Analis Financial penulis sejumlah Buku/FOTO BY AENDRA MEDITA

ANALISA “NGACO” KEJATUHAN SVB DI HARIAN KOMPAS

Kompas pada tanggal 15/03/2023, memuat artikel tentang kehancuran SVB, dan bank-bank lainnya di Amerika. Analisa yangdiambil dari wawancara dan statement beberapa ekonom dan ahli seolah berasal dari baca berita sekilas, kemudian menebak-nebak sendiri berdasarkan situasi dalam negri. Analisa yang menurut saya menyesatkan dan berbahaya.

Kompas pada tanggal 15/03/2023, memuat artikel tentang kehancuran SVB, dan bank-bank lainnya di Amerika. Analisa yangdiambil dari wawancara dan statement beberapa ekonom dan ahli seolah berasal dari baca berita sekilas, kemudian menebak-nebak sendiri berdasarkan situasi dalam negri. Analisa yang menurut saya menyesatkan dan berbahaya.

So, what he said?
Dari judulnya sudah sangat jelas : dalam artikel kompas itu, diawali analisa seseorang ekonom (sebut saja Agus), yang menyatakan bahwa kejatuhan SVB karena bakar-bakar duit, karena SVB mendanai startup yang terus merugi, dan beresiko. Hingga saatnya The Fed menaikan suku bunga, semua itu rontok. Maka itu menurut artikel ini, kita harus menjauhi bisnis bakar-bakar duit. Analisa itu diikuti pendapat ekonom asing lain yang mengungkapkan pernyataan serupa, plus pernyataan eksekutif SVB yang menurut hemat saya terkesan diplintirPada kenyataannya yang terjadi bukan demikian. SVB menurut hemat saya menjalankan bisnis perbankan dengan cukup prudent dan rasanya itulah yang akan dilakukan bank-bank kita dalam situasinya.
Jadi apa yang sesungguhnya terjadi?
1. Yes, SVB memfasilitasi startup dan perusahaan crypto yang beresiko. Tapi yang membuat mereka jatuh bukan hutang yang tidak tertagih oleh perusahaan startup dan crypto itu.
2. SVB dalam suatu waktu mendapat limpahan dana tabungan yang sangat teramat besar. berkali-kali lipat dari yang biasa mereka tangani.
3. Dalam kondisi demikian, menyalurkan dana pinjaman seperti biasa tidak memungkinkan. Tapi dana sebesar itu harus disalurkan, karena jika tidak mereka akan kesulitan menanggung beban bunga. Maka itu yang mereka lakukan adalah melakukan pembelian terhadap Bonds, atau surat utang. Dan bukan surat utang sembarangan, tapi surat utang berating tinggi seperti Government Treasury Bonds yang ratingnya AAA.
4. Lalu kemudian terjadi peristiwa, dimana pemerintah Federal berusaha mengendalikan inflasi dengan menaikan suku bunga. Dari 0% (yang merupakan terendah dalam sejarah), dengan target sampai 5%. Pada situasi itu, yang terjadi adalah sebagai berikut :
Sekarang bayangkan anda adalah bank yang membeli bonds AAA senilai 100 dengan bunga 1%. Jika Fed menaikan suku bunga jadi 2%, maka jika anda menjual bonds itu dengan harga 100, tidak akan ada yang mau membeli, karena bunganya hanya 1%. So, agar laku maka harus bunganya 2%. Dan untuk itu, bonds harus dijual 50. You know what it’s mean? Nilai turun 50%!! Kenaikan 1% saja membuat nilainya turun separuh.
5. Terus apa dampaknya bagi bank? Bank memiliki apa yang disebut sebagai CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal, sebagai cara bank sentral mengawasi perbankan agar tidak menyalahgunakan uang nasabah mereka.
6. Untuk menjelaskan apa itu CAR, saya akan ceritakan sebuah contoh  :
Jika misalkan CAR bank sentral adalah 4%, dan modal bank itu 4000, maka, dia bisa membeli Bonds ataumenyalurkan pinjaman sampai dengan 100.000. Jika bank itu melakukan seperti dalam contoh ini, kemudian terjadi gagal bayar senilai 1000 saja, maka bank harus membayar kehilangan 1000 itu dari modalnya (ya mereka harus tanggung jawab 100% atas uang yang mereka salurkan)Dalam contoh ini, modal bank yang sebesar 4000, diambil 1000 sisa 3000. Yang artinya, CAR bank itu adalah 3%dari 100.000, yang artinya dibawah 4%, yang artinya menurut aturan bank sentral, si bank yang rugi itu harus tambah modal. Jika gagal tambah modal, maka bank akan masuk BTO (bank takeover) atau dilikuidasi
7. Sekarang mari kita bayangkan situasi yang terjadi di bank-bank di Amerika :
Jika sebuah bank (sebut saja Bank X) memiliki modal senilai 4000, dan investasi seluruhnya di Bonds dengan harga beli 80.000, maka CAR dari bank itu adalah 5% (diatas ketentuan bank central).
Sekarang bayangkan, bank itu invest di Bonds dengan bunga 1% per tahun (karena bunga acuan the Fed saat itu adalah 0%), dan tiba-tiba suku bunga naik jadi 2%, maka bayangkan sendiri apa yang terjadi pada CAR nya. Dan pada saat artikel ini ditulis suku bunga acuan The Fed adalah 4,75%. Bayangkan apa yang terjadi pada CAR mereka. Jika itu terjadi, maka bank dianggap rugi dan harus menambah modal sampai memenuhi ketentuan 4%.
Tapi ada trick untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan tidak menjual bonds itu, dan mencatatkan nilai PAR dari bonds itu dalam pembukuan. Yang artinya, jika PAR bonds itu senilai 100, maka saat jatuh tempo, bank pasti akan dapat 100. (one problem solved, and it’s a smart thing)
Tapi masalah besar terjadi saat tiba-tiba nasabah melakukan penarikan uang jumlah besar dari bank itu dan si bank kekurangan uang. Saat kondisi kekurangan cash ini terjadi, maka si bank akan menjual bonds mereka dengan harga rugi. Dan sesuai aturan yang berlaku di Amerika : perbuatan itu harus diumumkan ke publik. Saat ini diumumkan, publik yang melek keuangan (biasanya institusi yang punya uang banyak) akan kaget, dan langsung tahu kalau bank itu kekurangan cash, yang akibatnya mereka akan memerintahkan seluruh uangnya untuk di tarik dari bank itu. Dan itu merembet ke nasabah-nasabah lain, hingga bank kehabisan uang sungguhan. Saat itu terjadi, bank akan dinyatakan gagal, dan ditutup atau masuk BTO
8. Kembali ke situasi SVB dan bank lainnya di USA : saat penutupan itu terjadi, dana yang dijamin oleh LPS (lembaga penjamin simpanan) Amerika, hanya $. 250.000. sementara bank seperti SVB menyimpan dana dari banyak perusahaan startup yang jumlah uangnya mungkin jutaan dollar sampai ratusan juta dollar per nasabah. Akibatnya, banyak perusahaan startup yang menjadi nasabahnya tidak bisa membayar gaji dan kewajiban lainnya. Yang kemudian memicu kepanikan lebih jauh.
9. Hal ini diperburuk dengan pernyataan Janet Yellen yang menyatakan bahwa pemerintah tidak akan melakukan bail out. Pernyataan itu sama konyol dan gilanya dengankebijakan pemerintah Indonesia di tahun 1997, untuk menutup 16 bank sakit, tanpa menjamin nasib uang nasabahnya, yang segera menyebabkan panic rush, danefeknya langsung menjerumuskan kita dalam krisis multi dimensi.
10. Yang terjadi berikutnya? Sama persis seperti kita di tahun 1997 : Rush di bank-bank lain, dan secara beruntun bank-bank berguguran.
11. Untung disaat genting, pemerintah federal, the fed, dan LPS Amerika menyatakan menjamin 100% uang nasabah. Dan berita terakhir saat artikel ini ditulis, menyatakan tensi nasabah bank Amerika menurun, dan situasi mulai tenang.
Kesimpulannya : memang startup dan crypto yang dilayani SVB beresiko, tapi dalam kasus ini, tidak bermasalahIni dapat dibuktikan dengan fakta : bank-bank lain yang ikut terancam dalam situasi ini tidak hanya mereka yang bermain di Startup dan crypto.
Yang terjadi adalah serangan dari titik yang benar-benar diluar kuasa mereka : “The Fed”
1. The Fed membanjiri Amerika dengan cash
2. Cash masuk ke bank
3. Bank beli bonds sebagai salah satu cara menyalurkan dananya
4. Lalu Fed menaikan suku bunga dengan sangat cepat
5. Dan bank-bank ambruk
Lalu kenapa saya katakan bahwa berita di KOMPAS itu sangat berbahaya ?
Karena opini – opini itu mengalihkan tersangka dari pemerintah yang sembrono menjadi startup yang notabene tidak bersalahThe Bad Guy dalam rentetan kasus iniadalah the Fed yang dengan sangat sembrono dan tidak bertanggung jawab mengabaikan dampak sistemik dari kebijakannya. Dalam kejadian ini, analisa yang diberikanseharusnya bukan memperingati bank agar menjauhi startup dan bisnis bakar duitnya, tapi lebih pada menyadarkan pemerintah :
Bahwa setiap keputusan yang kamu buat, beresiko menimbulkan dampak sistemik yang dapat meruntuhkan seluruh sendi perekonomian negara.”
Sebagai penutup, ijinkan saya menyampaikan salah satu kekonyolan dalam sejarah :
Dalam suatu masa di perang dunia kedua, diadakan analisa oleh para ahli, tentang bagian mana dari pesawat yang paling sering tertembak. Dan dalam pengamatan dari pesawat-pesawat yang kembali dari medan perang, tampaklah peluru paling banyak mengenai ekor pesawat. Maka itu, solusinya adalah memperkuat ekor pesawat. Keputusan ini belakangan terbukti sangat ngaco, setelah disadari bahwa : “Pesawat yang gugur di medan perang bukan yang tertembak ekornya, melainkan tertembak kepala dan badannya”
Inilah yang terjadi jika kita membiarkan sesat pikir yang sepele dianggap kebenaran. Kita akan mencari solusi kearah yang sangat salah. Justru bank-bank kita harus belajar pada SVB, tentang bagaimana bisa jadi bank yang memfasilitasi para startup (terutama bidang digital). karena startup digital adalah salah satu ujung tombak dari satu peradaban menuju peradaban yang lebih maju, dan ke masa depan, bisnis akan semakin digital (konyol kalau bank malah menjauhi bisnis digital).
William Win Yang, KABID Digitalisasi KADIN Indonesia
Business Strategist & Best Selling Book Writer

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.