ENERGYWORLD.CO.ID – Hasil Survei CELIOS terkait pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 milir atau Rp314 triliun belum dipahami, minim pengetahuan soal JETP membuat ruang partisipasi publik menjadi terbatas. Meskipun JETP mengangkat terkait urgensi pensiun dini PLTU batubara dan percepatan transisi energi bersih, namun isu JETP masih belum dipahami sebagian besar masyarakat Indonesia.
Riset yang dilakukan oleh CELIOS dengan melibatkan 1.245 orang responden yang tersebar secara nasional mengungkapkan terdapat 76% masyarakat yang tidak mengetahui adanya JETP. Berdasarkan sebaran wilayah, informasi terkait JETP lebih dipahami oleh masyarakat di Bali dibanding daerah lain.
Hal ini mengindikasikan bahwa informasi JETP lebih dikaitkan event G20 sehingga persebaran informasi tindak lanjut komitmen transisi energi berkeadilan dipersepsikan belum merata.
“Hasil survei menunjukkan pemahaman masyarakat mengenai JETP masih sangat rendah dan cenderung terpusat pada masyarakat di wilayah dan kelas ekonomi tertentu. Padahal masyarakat yang terimbas dengan adanya penutupan PLTU misalnya di Kalimantan sebagai pemasok batubara dan di daerah tempat PLTU beroperasi perlu terlibat aktif dalam merumuskan program JETP. Idealnya sebelum Comprehensive Investment Plan (CIP) diluncurkan, masyarakat terdampak bisa memahami dan ikut aktif dalam perumusan program,” kata Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira.
Survei CELIOS juga menunjukkan bahwa mayoritas atau 53% perempuan memiliki kecenderungan mendukung penutupan PLTU batubara dan transisi ke EBT secara paralel. Sayangnya program transisi energi bisa terhambat karena masyarakat menilai terdapat sumber energi yang masih dominan. Sebanyak 32% menyebut batubara sebagai sumber penghambat transisi energi utama, disusul 26% minyak bumi, 26% nuklir dan 11% gas.
Peneliti Unitrend, Ignatius Ardhana Reswara menegaskan ”Hambatan utama transisi ke energi terbarukan adalah masih besarnya ketergantungan energi fosil, sehingga persepsi tentang JETP berkorelasi kuat dengan keinginan masyarakat untuk menutup PLTU. Tanpa adanya penutupan PLTU dalam waktu cepat, dikhawatirkan percepatan transisi EBT akan tertunda. Dua hal tadi harus jalan paralel.”
Dalam proses transisi masyarakat juga menilai penggunaan nuklir, co-firing PLTU, gasifikasi batubara dan geothermal sebagai solusi yang harus dihindari. Salah satu alasannya terkait proses transisi energi perlu dijaga agar menerapkan prinsip berkeadilan dan tidak menimbulkan permasalahan lingkungan baru yang berisiko bagi masyarakat.
Temuan menarik lain dari survei opini JETP adalah ketertarikan perempuan dalam pekerjaan yang berkaitan dengan transisi energi cukup rendah. Sebanyak 48% responden perempuan mengatakan tidak tertarik bekerja di sektor yang terkait transisi energi seperti energi terbarukan. “Ada bias gender dalam transisi energi yang perlu dicermati oleh pemerintah karena seolah transisi energi adalah pekerjaan laki-laki yang sifatnya teknis. Padahal perempuan bisa terlibat juga misalnya dalam pengembangan instalasi panel surya skala rumah tangga dan pembangkit mikro-hidro.” kata Bhima.
JETP juga diharapkan mendorong ekonomi masyarakat khususnya yang berada di sektor pertanian. “Sektor pertanian menurut hasil survei menjadi sektor yang paling optimis atas kemampuan pemerintah dalam mengembangkan regulasi energi terbarukan karena diproyeksikan EBT lebih rendah biaya dan efektif membantu pertanian skala kecil”. kata Ardha. Pada akhirnya, segala kebijakan JETP kedepan perlu menempatkan masyarakat di berbagai profesi dan wilayah sebagai aktor sentral yang mengawal dan memberi masukan kepada Pemerintah, BUMN terkait dan lembaga internasional (IPG dan GFANZ) dalam memastikan program transisi energi berjalan secara transparan dan berkeadilan. EDY/EWI